Chereads / A Husband Sharing Office / Chapter 1 - 1. A HUSBAND SHARING OFFICE

A Husband Sharing Office

🇮🇩Lisarosita
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 2.5k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - 1. A HUSBAND SHARING OFFICE

Pertama-tama Phoebe menarik nafasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya membuang sial diparu-parunya. Hari ini adalah hari ke-3 nya magang di kantor Sensa Tech. Senjaya Aksa Technologi. Tempat suaminya merintis sebuah teknologi yang digunakan masyarakat luas. Setelah menunggu lama mencoding data dari salah satu karyawan disana akhirnya Phoebe bisa bernafas lega dengan segelas kopi dihadapannya. Wajahnya terlihat tidak segar karena terlalu lama berhadapan dengan layar biru, buru-buru Phoebe meraih kaca kecil dipojok mejanya menatap wajahnya dan mencoba tersenyum kecil agar tidak kaku.

Di kantor ini dipenuhi segala fasilitas, ruangannya nyaman namun sayang dilarang berisik karena takut menganggu karyawan ruangan yang memang harus fokus dalam memprogram data. Karena jurusannya yang berurusan dengan komputer dan programing akhirnya Phoebe berapa disini, dilantai 17 tempat yang terlalu tinggi sebenarnya untuk mahasiswa magang tingkat akhir sepertinya, namun semua ini karena Aksa, CEO dari kantor ini.

Tidak perlu banyak bergerak turun ke bawah. Di lantai ini disediakan pantry untuk membuat kopi dan minuman ringan. Juga ruangannya bisa berhadapan langsung dengan luar karena kacanya yang transparan dari dalam dan tertutup dari luar. Pada bagian kanan sana semua orang bisa melihat tinggi-tinggi gedung yang bersaingan.

Phoebe menggerakkan kepalanya agar tidak kaku. Ia sudah lima jam duduk dihadapan komputer hingga tidak terasa waktu jam makan siang sudah mendekati.

"Ngelamunin apa hayoo?" tanya Farah tidak sengaja menoleh pada Phoebe yang dari tadi melirik jam tangannya dan kembali menatap luar.

Phoebe tersentak kaget. "Engga Mbak," ujar Phoebe. Farah hanya tersenyum dan mengajaknya untuk turun ke lantai pertama makan siang diluar katanya ada restoran baru didekat sini yang sedang promo.

Selama di lift Phoebe sibuk menatap ponselnya mengecek aplikasi komunikasi diponselnya dan menyembunyikan ponsel itu didalam saku blazernya ketika tidak merasa begitu penting lagi.

"Bukannya itu teman seangkatan kamu?" tanya Mbak Farah membuat Phoebe menoleh.

"Iya betul, tapi selama magang kami jarang komunikasi entah mungkin karena kami sama-sama sibuk," balas Phoebe seraya menoleh pada Carissa yang sibuk menemani Mbak Putri yang jelas adalah sekretaris CEO kantor.

Farah menganggukkan kepalanya paham. Ia lebih tua sembilan tahun dari Phoebe yang masih berusia 21 tahun. Gadis disampingnya yang sedikit lebih rendah darinya itu memiliki rambut sepunggung yang indah sering diikat menjadi satu.

Pertama bertemu, Farah tidak percaya jika Phoebe mahasiswa, tetapi setelah melihat kartu ID-nya. Dengan terpaksa Farah percaya, gadis itu nyaris tidak terlihat wajah dua puluhan. Bahkan jika gadis itu menggerjapkan matanya, Farah yakin jika semua orang akan memandangnya karena matanya benar-benar cantik berwarna hitam pekat, membuat iri hati para wanita.

Phoebe tersenyum setelah melihat Farah yang memberinya segelas teh. "Terimakasih Mbak," ujarnya sopan sekaligus senang.

"Oh iya, tadi kamu bantuin Bryan coding, ya. Gimana rasanya pusing gak?" tanya Farah seraya terkekeh.

"Lumayan pusing, kak Bryan cepet banget codingnya tanpa jeda,"

"Dia itu handalnya masalah ini, gada lawan dilantai 17," kelakar Farah. "Dia lulusan kampus kamu juga loh," ujar Farah lagi.

Phoebe menoleh sedikit terkejut. "Wah, berarti dia senior,"

Adam, Bryan, Farah dan Jugo adalah partner Phoebe selama magang, dengan dibantu yang sudah berpengalaman membuatnya tidak gopoh dalam menyelesaikan magangnya belum lagi partnernya yang ramah dan asik seperti mereka.

Tatapan Phoebe melebar ketika pintu lift terbuka. Ia buru-buru menyingkir mempersilahkan Aksa ikut masuk kedalam lift yang baru saja sampai pada lantai 7 itu.

Suasana yang tadinya nyaman berubah canggung. Jelas, CEO ada didepan mereka.

Farah berbisik kecil. "Ada pak Aksa, jaga sikap ya." pesan Farah pada Phoebe dianggukinya.

Phoebe tidak berhenti menatap Aksa dari pantulan dinding lift, laki-laki tinggi dan kekar bersetelan kemeja hitam. Laki-laki yang menyandang status sebagai suaminya itu terlihat juga ikut menatapnya dari pantulan kaca.

Jika dibandingkan di kantor, mereka seperti upik abu dan berlian. Upik abu adalah dirinya, yang terlihat sangat jauh dari Aksa, namun keanehan selalu ada pada diri Aksa yang tidak dipahami semua orang.

Bibirnya jarang tertarik membuat senyuman. Selama satu tahun menikah pun. Phoebe tidak pernah melihat Aksa tersenyum walau bersama-sama menonton lawakan di televisi. Entah apakah selama ini Aksa mengidap penyakit parah. Phoebe pun tidak tau.

Ditatap penuh intimidasi oleh Aksa membuat Phoebe mengalihkan pandangannya tidak bisa menatap Aksa lama-lama. Phoebe yang tepat disamping Aksa sedikit melirik laki-laki itu. Sedikit susah karena jujur Aksa itu sangat tinggi. Tingginya 189 cm sedangkan dirinya 158 cm kotor yang hanya sebatas dadanya.

Setelah pintu lift terbuka sengaja Aksa menyelipkan secarik kertas didalam saku blazer Phoebe, Aksa membiarkan Phoebe keluar bersama seniornya yang memberinya hormat.

Aksa sengaja ikut turun ke lantai satu padahal tujuannya adalah lantai 48. Ia ingin melihat Phoebe di kantornya selama 6 jam terakhir. Ia juga sudah berusaha semaksimal mungkin agar satu kantor tidak tau hubungannya dengan Phoebe.

Gadis itu bersikeras untuk memintanya agar tidak berbicara pada siapapun perihal mereka yang merupakan suami istri. Aksa menurutinya karena Phoebe merasa tidak keberatan.

Aksa menoleh pada Putri yang menekan tombol lift menuju lantai paling atas. Sebelum pintu tertutup Aksa menatap punggung Phoebe yang menjauh, ia juga melihat Phoebe beberapa kali menoleh kebelakang.

*****

Disini lah sekarang Phoebe menunggu Aksa di dalam mobil. Mereka berjanji pulang bersama ketika waktu sudah menunjukkan akhir sore hari. Ia membaca kertas yang diselipkan Aksa agar menunggunya didalam mobil, Aksa jarang mengirim pesan padanya lebih suka berhadapan langsung padahal hal itu bisa saja memberikan asumsi pada orang-orang.

Bukan karena Phoebe tidak mau mengakui Aksa sebagai suaminya, tetapi jika satu kantor tau mungkin hal itu sangat berbahaya, bisa saja ia mendapat nilai tinggi selama magang disana karena Aksa bukan karena kerja kerasnya. Ia juga tidak mau dipandang segan pada seniornya karena Aksa. Phoebe ingin magang sebagaimana mestinya dengan nilai murninya. Bisa juga setelah magang ia akan menjadi topik kampus karena magang ditempat suami.

Phoebe tidak ingin itu, beruntung Aksa memahaminya walau dengan berat hati. Tanpa Aksa bicara pun. Phoebe tau jika Aksa sedikit keberatan dengan permintaannya, tetapi selama ia menyakinkan Aksa jika ia bisa, maka Aksa tidak akan melakukan macam-macam.

Setengah jam menunggu sambil bermain ponsel, akhirnya pintu mobil terbuka.

Phoebe menatap Aksa yang masuk kedalam mobil. Wajahnya sangat datar membuat Phoebe tidak bisa menebak apa arti wajahnya. Aksa mau dalam keadaan apapun raut wajahnya begitu, tanpa senyum. Tetapi keheranan memang tidak luput dari Phoebe, Aksa tidak tersenyum pun tetap tampan apalagi tersenyum? Phoebe ingin menjadi orang pertama yang melihatnya.

Usianya dengan Aksa terpaut lumayan jauh. Aksa 29 tahun dan dirinya masih 21 tahun. Aksa adalah gambaran CEO sekaligus CTO muda yang memiliki wawasan dan IQ luar biasa. Pencipta teknologi baru untuk khayalak ramai. Bahkan sesekali Phoebe bertanya tentang komputer Aksa akan menjawabnya dengan tepat sehingga jauh lebih mudah dipahami ketimbang dosennya yang menjelaskan di kampus.

Mungkin sejak SD Aksa sudah belajar aljabar dan logaritma, dan statistik kali ya. Jika Phoebe main kerumah mertuanya, orangtua Aksa. Banyak lemari yang terisi penuh oleh piala Aksa yang mendunia. Mulai dari olimpiade non-akademik melukis ketika paud hingga kini. Aksa memang sudah berbakat sejak kecil berbanding terbalik dengannya. Menunggu hidayah datang baru belajar.

"Kenapa?" tanya Aksa menyadarkan Phoebe dari lamunannya yang terus memandang Aksa.

Phoebe buru-buru menggeleng pura-pura mengalihkan pandangannya kedepan. "Tadi, mbak Putri ada ngomongin Bee gak?" tanya Phoebe. Phoebe memang begitu, mempersingkat namanya dengan Bee hingga terbiasa hingga dewasa.

"Memangnya ada apa?" Aksa menoleh, sebelum menjalankan mobil terlebih dahulu ia menghidupkan AC agar Phoebe tidak merasa tidak nyaman. Sekali lirik saja Aksa tau jika ada yang menganggu Phoebe, gadis itu tidak bisa menyembunyikan sesuatu, jika gadis itu berbohong maka telapak tangannya akan memerah. Nada suaranya sendu membuat Aksa berpikir apa Phoebe ada membuat masalah.

Phoebe memainkan jari-jarinya lalu menoleh pada Aksa memohon. "Tadi Bee gak sengaja nabrak mbak Putri di lobi, mukanya merah banget karena mapnya jatuh isinya berhamburan, waktu Bee bantu mbak Putri nya nyentak biar gak usah bantu dia. Tapi Bee maksa tetap bantu karena engga nyaman dilihat banyak orang, Bee yakin pasti kertas-kertas itu untuk Kakak," cerita Phoebe. Jangan lupakan jika Phoebe memanggil Aksa menggunakan Kakak tidak menggunakan namanya langsung atau Mas. Karena awal mereka bertemu Phoebe tidak tau harus memanggilnya apa hingga terlintas untuknya memanggil Kakak karena tidak tau jika Aksa akan menjadi suaminya pada hari pertama bertemu itu juga.

Aksa menjalankan mobilnya membiarkan Phoebe bersedih hati menatapnya. "Dibelakang ada minuman," ujar Aksa.

Phoebe menoleh sedikit kebelakang, lalu kembali bertopang dagu menatap Aksa lagi.

"Bee bakal dapat nilai rendah, ya?" tanya Phoebe.

"Tergantung bagaimana kamunya,"

"Tadi Bee udah minta maaf, mbak Putri maafin gak ya?" Phoebe menghela nafas lesu. Tidak berselang lama ia terkejut karena kepalanya disentuh oleh Aksa. Usapan canggung terasa dikepala Phoebe.

"Jika engga di maafin. Ngulang magang lagi," ucap Aksa membuat Phoebe semakin gundah.

"Hish!" Phoebe menyingkirkan tangan Aksa dikepalanya dan berbalik memandang jalanan dari kaca mobil.

Ia menempelkan hidung dan jidatnya dikaca mobil itu menenangkan diri. "Engga muka engga perilakunya, flat!"

******