Chereads / My Hand In Yours / Chapter 2 - SESAL YANG TERLAMBAT

Chapter 2 - SESAL YANG TERLAMBAT

Sebuah gelas berembun dengan cairan berwarna cerah di dalamnya, tiba-tiba diletakkan di hadapan Anita. Sebentuk senyum tercipta di bibirnya, dan dia menoleh lalu mendapati wajah tampan Samudra yang menatapnya.

"Makasih, Mas Sam," ucapnya sambil meraih gelas itu dan menyesap isinya. Jus jeruk manis kesukaannya.

"Sama-sama, Nita. Jadi kita keluar malam ini?"

Anita mengangguk. "Memangnya Mbak Dewi enggak di rumah?"

"Ada. Seperti biasa, mana dia peduli?"

"Oh …."

Samudra duduk di depannya, dan mulai menikmati makan siangnya, sementara Anita termangu memandangnya. Beberapa saat lamanya dia diam sampai Samudra menyadari tatapannya dan mengangkat wajah untuk melihat gadis itu.

"Ada apa?" tanyanya.

Anita mengerjap. "Uhm … sebetulnya, kita ini … apa?" Dia balik bertanya.

Samudra tercenung. "Maksud kamu?"

Berat Anita menghela napas. "Aku merasa bersalah sama Mbak Dewi. Maksudku, aku mengambil waktu yang seharusnya kamu habiskan dengan dia. Rasanya seperti jadi pengganggu dalam pernikahan kalian."

"Kamu bukan pengganggu. Tanpa ada kamu pun perkawinanku dengan Dewi sudah tidak baik-baik saja."

"Tapi, bukannya kalian saling mencintai? Untuk bisa bersama kalian sudah melewati banyak rintangan, kan?"

Samudra tersenyum pahit. "Iya. Tapi entah sejak kapan, kami mulai berhenti saling peduli. Saat kami bersama, rasanya jarak di antara kami justru malah semakin membesar. Mas tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk mengatasi itu. Entah kesalahan apa yang pernah Mas lakukan sebelumnya sampai Dewi selalu menatap Mas dengan penuh kebencian."

Anita terdiam.

Saat itu Samudra meraih jemarinya dan meremasnya hangat. "Maaf ya, Nita. Mas juga enggak suka membuat kamu berada di posisi ini. Tapi, saat ini Mas butuh seseorang untuk bisa membuat Mas tetap waras. Mas sayang sama kamu, dan butuh kamu untuk bisa membuat Mas nyaman."

Sepasang sungai bening mengalir di pipi Anita. "Aku merasa jahat, Mas."

Jemari Samudra menghapus air matanya. "Bukan kamu yang hadir dalam pernikahan kami, Nita. Mas dan Dewi yang kini saling memunggungi. Kamu enggak salah sama sekali."

************

Untuk beberapa saat Anita menangis dalam pelukan Risma, sampai akhirnya dia merasa lelah, dan menjauhkan tubuhnya, lalu terduduk di lantai. Bersimpuh di hadapan sang ibu yang mulai ikut menangis.

"Mbak Dewi enggak pernah membahagiakan Mas Sam ... dia enggak mau memberikan yang dibutuhkan Mas Sam. Dia selalu saja sibuk dengan hidupnya sendiri dan tidak mempedulikan suaminya. Nita yang selalu ada di sisi Mas Sam, Ma." Anita berkata lirih. Nadanya penuh pembelaan diri.

Risma menghela napas. "Meski begitu, Mbak Dewi tetap istri Mas Samudra, dan kamu tetap orang luar," sahutnya tak terbantah.

"Mas Sam mencintai Nita ... dan Nita ... juga mencintai Mas Sam."

Risma kembali menghela napas. Perlahan dia ikut duduk di lantai, berhadapan dengan putrinya. Wajahnya menyiratkan kesedihan yang luar biasa.

"Nita ... Mama enggak bisa bicara banyak tentang hal yang kamu pikir sebagai cinta. Apa pun yang Mama katakan, pasti akan kamu bantah. Di saat hatimu dipenuhi cinta pada seorang laki-laki, tidak akan ada yang salah tentang itu di matamu. Seandainya Mama bicara sebaliknya, dan bilang bahwa itu salah, justru Mama yang akan salah di mata kamu. Tapi … Mama cuma ingin kamu pikirkan satu hal. Bagaimana jika Mama yang ada di posisi Mbak Dewi? Sebagai ibu rumah tangga yang tidak memiliki skill kantoran, Mama tidak mampu memberikan dukungan yang diberikan oleh partner kerja Papa kamu, yang pastinya lebih mengerti dirinya dalam pekerjaan. Jika karena itu Papa berpaling pada wanita itu, apakah menurut kamu itu adil bagi Mama?" tanyanya.

Anita terisak. "Tapi, Ma. Nita enggak bisa memilih, kan, kepada siapa hati Nita jatuh? Kalau Nita mencintai Mas Sam ... apakah Nita salah? Bukan niat NIta untuk jatuh cinta, kan?" sahutnya keras kepala.

Risma menggeleng. Air mata mulai membasahi kedua pipinya. "Mama hanya minta kamu pikirkan yang barusan Mama katakan, Nita. Karena seperti Mama bilang tadi, akan percuma Mama mengatakan kamu salah atau benar, karena kamu akan tetap membantah. Maaf kalau Mama mengatakan kalimat ini, Mama tahu berat untukmu semua yang sedang kamu tanggung, dan Mama tahu kalau Mama dan juga Aiden sudah jadi beban bagimu selama ini. Mama mengerti kalau kamu merasa menemukan sosok pelindung dalam diri Samudra. Kamu melihat sosok Papamu dalam dirinya.

"Tapi … sosok itu adalah milik orang lain, dan kamu tidak berhak atas dia. Sekali lagi, tempatkan diri Mama di tempat Mbak Dewi. Atau ... kalau Mama tidak sepenting itu untuk kamu, tempatkan diri kamu sendiri di tempat seorang istri yang dikhianati suami atas nama cinta. Atas nama cinta yang tidak memilih jatuh pada siapa, lalu tanyakan pada diri sendiri, apa kamu akan setuju dengan argumenmu barusan? Bisa kamu lakukan itu?"

Anita tergugu. Tangisnya makin keras, perpaduan antara sesal dan kekeraskepalaan.

Saat itu Risma berdiri, dan mengusap rambutnya. "Tapi … kalau kamu sudah mencamkan apa yang Mama katakan, dan tahu betul kalau Mama benar, hanya saja kamu tetap bertahan pada sesuatu yang salah, Mama harus berikan kamu pilihan ini. Mama dan Aiden, atau Samudra. Mama tahu Mama sudah membebanimu, tapi Mama rasa, Mama masih berhak untuk berharap kamu mendengarkan Mama dan melakukan apa yang benar, bukan?"

Anita terpaku mendengar ultimatum yang disampaikan Ibunya dengan tegas itu, dan belum hilang kekagetannya, Risma melangkah meninggalkannya bersama dengan pilihan yang untuk Anita, serupa dengan pisau yang diletakkan di lehernya. Apa pun pilihan yang dia ambil, kondisi itu akan sama buruknya.

"Aku harus bagaimana, Mas Sam? Kamu atau Mama dan Aiden?" lirihnya sambil memegang dadanya yang terasa sesak.

Sementara itu Risma melangkah tertatih ke kamarnya. Meski berusaha tenang, tapi kecurigaannya tentang hubungan terlarang putrinya dengan Samudra, yang kemudian dibenarkan oleh Anita, telah membuatnya merasa terpukul. Dia merasa hancur, kecewa, sedih, dan marah, tapi tak berdaya di saat bersamaan. Ya Tuhan, keluhnya, sudah sejauh mana putrinya melakukan kesalahan laknat itu?

Saat kakinya yang gemetar melewati ambang pintu kamar, sebuah rasa sakit luar biasa seolah menghantam kepalanya, dan ada remasan tak kasat mata seolah ingin menghancurkan jantungnya. Matanya berkunang-kunang, dan sambil berpegangan pada ambang pintu, dia mencoba berteriak memanggil putrinya, tapi tidak sedikit pun suara terdengar dari mulutnya.

Hingga sedetik kemudian dia merasakan tubuhnya terbanting ke lantai yang keras dan dingin. Matanya terbuka dan perlahan mengabur saat jiwanya melayang menjauh dari raganya, menuju pada kedamaian yang jauh lebih baik dari dunia fana.

Di saat bersamaan, Anita yang mendengar bunyi sesuatu yang berat jatuh, berderap mendatangi arah bunyi. Alangkah terkejutnya dia melihat tubuh ibunya yang terbaring di lantai dengan wajah pucat dan hidung tak henti mengeluarkan darah.

Anita membeku. Rasa cemas bercampur kesedihan yang menghancurkan jiwa langsung menyerangnya, membuat dia jatuh berlutut di sisi ibunya.

"Mama," bisiknya ketakutan.

Tidak ada respons dari Risma.

Gemetaran Anita mengulurkan tangannya dan menyentuh sang ibu. "Ma?"

Masih belum ada respons. Saat dengan panik Anita memeriksa keadaan Risma dan menyadari kalau sang ibu sudah tiada, dia pun menjeritkan tangis penuh sesal karena rasa bersalah yang menggumpal dan meraih tubuh ibunya yang masih hangat lalu memeluknya erat.

***********

Anthony menatap tubuh mulus wanita yang menjadi kekasihnya hampir selama empat tahun itu. Rasa marah menggelegak dibenaknya mengingat nama siapa yang disebut oleh Vera saat mencapai klimaks di percintaan mereka tadi. Nama orang yang sangat dekat dengannya. Adrian, kakak kandungnya.

Sambil menahan rasa marah, Anthony turun dari ranjang, memunguti pakaiannya yang berserakan, dan mengenakannya. Gerakannya yang tergesa-gesa mengusik Vera yang semula terlelap.

"Hei ... mau kemana, Babe?" tanyanya dengan suara serak. Matanya berkabut karena masih belum sepenuhnya terbangun.

Anthony menoleh, dan mendadak merasa gusar. "Pergi. Kita putus!" jawabnya dingin.

Vera mengerjap. Cepat dia duduk, membuat tubuh telanjangnya terekspos tanpa malu. "Apa-apaan...."

Anthony berdiri dengan pakaian yang sudah lengkap di tempatnya, begitu menjulang karena tubuhnya yang jangkung.Wajahnya yang putih tampak memerah hingga ke telinganya. Berat dia menghela napas saat menatap Vera lekat.

Dia sangat mencintai wanita ini, tetapi apakah kesalahannya kali ini bisa dibilang sepele? Meninggalkan Anthony karena dijodohkan ayahnya, masih bisa dimaklumi, mengingat Vera tidak mungkin melawan ayahnya sendiri. Menjadikan Anthony sebagai selingkuhan juga masih bisa diterima karena mereka saling mencintai, dan tidak bisa berpikir untuk berpisah. Tapi … menyebut nama kakak Anthony saat orgasme bersamanya? Itu keterlaluan! Memangnya Vera menganggap dia apa? Benda mati tanpa perasaan?

Dengan wajah mengeras Anthony pun melangkah mendekat, lalu membungkukkan tubuhnya. "Menikahi orang lain, menjadikan aku simpanan, dan sekarang menyebut nama laki-laki lain saat bersamaku. Kakakku sendiri! Di mana perasaanmu?" bisiknya dengan nada getir.

Wajah Vera memucat. Benarkah itu? Jadi dia sudah meneriakkan nama orang lain tadi tanpa sengaja? Double shit! Ke mana dia taruh otaknya?

Anthony menyentuh dagunya, membuatnya mendongak.

"Aku rasa sudah cukup, Ver. Aku memang bodoh. Bukan salahmu...."

Dengan saksama Anthony memperhatikan wajah cantik itu, seolah ingin mengingatnya, lalu dengan wajah kalah dia melepaskan pegangannya di dagu indah itu.

"Semoga kau bahagia dengan suamimu ... jangan pernah mencariku lagi," katanya sambil berjalan keluar. Meninggalkan Vera yang termangu dalam penyesalan.