"Gila, apes bener kenapa ini ponsel malah bunyi." Tito merasa cemas terkejut dan bahkan takut.
Dengan segera Tito mematikan layar ponselnya, dan dia berpikir keras harus keluar ruangan atau bagaimana, karena pasti Evana dan ibunya pas akan curiga dan melihat ke arah tempat tidur di balik tirai.
Tito sudah tidak bisa berpikir panjang lagi, setelah mematikan ponselnya pria itu bergegas tidur di atas ranjang kesakitan dan membalut tubuhnya dengan selimut seolah-olah beliau adalah pasien yang sedang sakit pula.
"Siapa itu Evana? Apa jangan-jangan ada yang mengintip kita, dan mendengarkan semua pembicaraan kita, cepatlah kamu cek ke sebelah," kata mama Avega kepada sang putri.
"Mama baiklah, akan coba aku lihat, tunggu aja sebenta." Gadis itu dengan segera bangkit dari posisi duduknya, dan membuka tirai di sebelahnya, terlihatlah seorang pria sedang tidur membelakangi dirinya sambil mencoba menerima panggilan telepon.
"Halo Mama cepat ke sini, aku rasa sangat pusing," lirih Tito berpura-pura sakit, pria itu berpura-pura melakukan panggilan telepon kepada ibunya, agar Evana dan mama Avega tidak mencurigai dirinya.
"Cepatlah aku sudah tidak tahan, tapi Suster tidak datang juga, aku harus bagaimana mama. Kepalaku pusing tidak kuat," kata Tito sekali lagi berpura-pura melakukan panggilan telepon.
Evana tersenyum melihat kearah pria yang kini sedang membelakanginya dengan tanpa kecurigaan sedikit pun. Gadis itu menutup kembali tirai tersebut, tirai pembatas yang menghalangi kedua tempat tidur.
"Pasien sebelah Mama, dia sedang menelepon keluarganya," kata Evana dengan suara yang rendah, sambil terus mendengarkan Tito berbicara dengan ibunya.
"Ya sudah Mama, aku mau tidur dulu. Mama cepat datang. Aku sudah tidak tahan rasanya mau mati saja kalau seperti ini," kata Tito sambil menutup panggilan telepon tersebut, tentunya itu hanya berpura-pura menelepon, semuanya hanya akting untuk menyelamatkan diri.
Tito melihat kearah ponselnya ternyata yang meneleponnya tadi ada lagi Zio.
"Brengsekk si Zio, malah menelepon di saat begini, mau apa sih dia?" guman Tito di dalam hatinya.
Dia itu pun kini berpura-pura tertidur sambil menguping kembali, apa yang dibicarakan oleh Evana dan Mamanya.
"Mama pikirk mata-mata, sudahlah sekarang kamu pulang sekarang juga, Mama sudah bosan, harus terus mendengar alasanmu yang tidak jelas, kamu harus banyak bertindak. Kalau bisa rayulah Alexa agar memindahkan Alea kembali ke Indonesia," kata Avega kepada Evana. Evana hanya menganggukan kepalanya lalu wanita itu pun langsung memeluk sang Mama dan pergi meninggalkan ruangan rawat inap tersebut.
Sambil berjalan keluar ruangan, akhirnya Evana menghentikan langkahnya. Wanita itu terlihat kebingungan dan sedih. Sebenarnya Evana begitu merindukan mamanya Avega. Tetapi ternyata Avega hanya mengharapkan Evana melakukan kejahatan untuk Alea.
"Padahal aku datang ke sini karena cemas, karena Mama masuk Rumah Sakit, tetapi ternyata Mama hanya pura-pura sakit saja, dan ternyata Mama hanya berharap aku membalaskan dendam kepada keluarga Papi, Mama ingin Alea cepat pulang ke Indonesia, tetapi aku rasanya ingin Alea tetap berada di Prancis, karena jika tidak ada Alea kasih sayang mami Alexa tercurah kepadaku. Nanti kalau Alea sampai datang lagi ke Indonesia maka kasih sayang mami Alexa akan terbagi lagi, aku sayang sama Mami Lexa, aku sayang sama mama Avega, tapi aku sangat membenci Alea. Bagaimana pun caranya aku harus menyingkirkan gadis yang selalu merebut apa yang menjadi milikku," lirih Evana di dasar hatinya, sambil terus berjalan dengan tatapan mata yang kosong.
Tito sendiri belum sempat keluar dari ruangan tersebut, pria itu menunggu sampai Evana agak menjauh. Karena dia tidak mau terciduk oleh Evana. Setelah 15 menit, pria itu berpikir bahwa Evana sudah jauh dari ruangan itu, Tito pun memutuskan untuk keluar dari ruangan dan menghubungi Zio dengan secepatnya.
Tapi ternyata Evana berjalan begitu pelan lebih dari keong. Akhirnya Tito pun harus mengambil arah yang berbeda, tidak boleh sampai ketahuan oleh Evana.
Tito mengambil arah yang berbeda, dan melangsung menelepon Zio. Tito ingin memberitahukan kabar baik pada Zio bahwa ternyata dia sudah menemukan tempat di mana Alea sekarang tinggal.
"Zio kamu pasti senang mendengar kabar baik dariku, siap-siap saja kasih aku bonus yang besar mendengar info penting ini," ujar Tito dengan senyum manisnya, guman Tito dalam hati, sambil terus berlari kearah Zio, karena sekarang sang sahabat sudah menunggunya di tempat parkir.
Saat Tito sudah melihat tampang Zio, yang sudah bosan dan bete menunggunya. Tito sebenarnya ingin segera melambaikan tangan, dan berlari ke arah Zio, tetapi ternyata disana sudah ada Evana. Evana terlihat mengenali Zio dengan sangat jelas.
"Kamu, kamu Zio kan, yang dulu pernah bertemu denganku di sebuah club malam?" Evana tampak senang melihat Zio.
"Siapa ya?" tanya Zio dengan kening yang mengerut.
"Kita pernah berjumpa dulu, kamu lupa padaku?" Evana tidak mengatakan bahwa dia adalah kakaknya Lea. Evana berpura-pura pernah berjumpa dengan Zio di sebuah klub malam, tetapi Zio bahkan tidak mengingat hal itu.
"Mungkin kamu salah orang maaf, permisi saya pergi dulu," seru Zio sambil meninggalkan Evana. Dia memang tidak suka digoda oleh seorang perempuan, dan tidak sembarang perempuan bisa akrab dengan dia, hanya perempuan yang dia sukai yang bisa dekat dengannya.
Zio Emang pemilih untuk perempuan, dan untuk Evana tidak ada dalam kriterianya sama sekali, karena itulah ia memilih untuk pergi dan meninggalkan wanita tersebut.
Gurat kekecewaan terlihat di mata Evana, wanita itu padahal hanya ingin berkenalan dengan berpura-pura pernah ketemu di klub malam, padahal mereka pernah bertemu saat makan di rumahnya Alea itu pun sudah 3 tahun yang lalu.
Sayangnya Zio tidak memperhatikan Evana sehingga Zio tidak kenal dengan Evana dan tidak tahu Evana itu siapa, pada akhirnya dia pun pergi meninggalkan wanita tersebut, sambil terus menelepon Tito. Pada akhirnya Tito pun menerima panggilan telepon darinya. Tito mengajak Zio ke sebuah kantin yang berada di Rumah Sakit karena menunggu sampai Evana pergi dari sana, akhirnya Zio menyetujui dan dia pun langsung ke kantin Rumah Sakit tersebut.
"Apaan sih kamu itu, aku nungguin kamu di parkiran tadi, kamu malah nyuruh aku ke kantin, memangnya kamu belum makan?" tanya Zio dengan kekesalannya.
"Aku sudah makan bro, tapi ada sesuatu hal yang sangat penting yang harus aku bicarakan kepadamu, ini informasi yang sangat mahal, kamu harus memberikan aku uang yang banyak untuk pembayaran informasi ini," kata Tito dengan senyuman bangganya.
"Uang-uang dasar cowok matre, tidak tau apa, aku sedang pusing memikirkan Asya, harus membayar uang 100 juta kepada Reyvan. Sekarang kamu membahas uang bikin aku kesal saja." Vio menghela napas kesal lalu memalingkan wajahnya.
"Okelah kalau memang tidak mau informasi tentang Alea, tidak apa-apa."
"Apa?"