Chereads / YOUNG MOM / Chapter 1 - Prolog

YOUNG MOM

🇮🇩Re_Uri
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 7.4k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Prolog

NOTE: CERITA INI SAYA BUAT PERTAMA KALI DI WATTPAD, MOHON UNTUK BERSABAR DALAM UPDATE YANG TIDAK MENENTU.

SEMOGA SUKA

SALAM HANGAT DARI SAYA

~REURI~

"Ya ampun, baby. Siapa yang meninggalkanmu di sini?!"

-Bia Maxime-

*****

"Kita putus!"

"Apa?! Gak, aku gak mau putus!"

Setetes air mata jatuh membasahi pipinya dengan kurang ajar, sebegitu tak berharga kah dirinya hingga sang kekasih lebih memilih meninggalkannya hanya demi seseorang dimasa lalu? Jika memang dia hanya sebagai pelampiasan, mengapa mereka harus menjalin hubungan yang kini berusia tiga tahun?

Lucu memang.

Dia yang bodoh, atau kekasihnya yang tega?

Ah sepertinya sama saja.

"Apa karena dia lebih berharga dariku, kau lebih memilihnya? Lalu aku kau anggap apa?!"

Lelaki itu terdiam, ia menyangi gadis di hadapannya yang tengah menangis itu. Namun rasa cintanya pada seseorang di masa lalu lebih besar, hati memang tak dapat dibohongi. "Aku menyayangi mu," ucapnya.

"Sayang? Hanya sayang? Tiga tahun aku menanti kata cinta yang terucap dari mulutmu, tiga tahun, Yo!"

"Maaf, tapi itulah kenyataannya."

Gadis itu berdecih, "Cih, bahkan kata maafmu lebih murahan daripada seorang JALANG!"

Plak..

Dia memengang pipi kanan bekas tamparan lelaki itu, senyum miris terukir, ia menatap datar orang asing di depannya. "Gue terima putus dari lo, mulai sekarang lo bukan siapa-siapa gue. Thanks atas tamparan lo, tunggu pembalasan gue," gadis itu melenggang pergi begitu saja.

"Tidak, tunggu.. Bia, tunggu!"

Bia tak menghiraukan teriakan Dio, mantannya. "Bia, aku minta maaf!" Bia mengulurkan tangannya kebelakang, menjulurkan jari tengahnya, fuck!

Maaf lo sangat murahan, batin Bia.

*****

Tek..

Tek..

Suara kerikil yang memantul dengan jalan, menjadikan kerikil itu sebuah pelampiasan. Berjalan terluntang-lantung tanpa adanya tujuan, air matanya terus keluar tanpa izinnya. Hatinya hancur, bagaikan tertindas truk container.

Bruk..

Tubuhnya meluruh kebawah, ia merarapi nasib cintanya yang kandas. Kenapa selalu begini sih? Gue jadi cewek tolol banget, ngemis-ngemis cinta ama tuh bangke. Bego banget! Batinnya.

Oek..

Oek..

Suara bayi mengalihkan kegalauannya dijalanan, ia menengok kesana-kemari namun tak ada orang sama sekali, ia mengikuti suara bayi itu. Semakin ia melangkah maju, suara itu semakin terdengar. Ia melihat sebuah kardus di samping bangku halte bus, ia mendekati kardus itu. Alangkah terkejutnya dia, ternyata suara itu berasal dari bayi mungil yang ada di dalam kardus!

"Ya ampun, baby. Siapa yang meninggalkanmu di sini?!" ia sendiri tak menyangka bisa sampai di sebuah halte bus.

Bia menggendong bayi mungil itu, tubuh yang dibalut dengan kain tebal. Bisa Bia lihat wajah bayi itu masih sedikit merah, "Ini bayi, baru lahir apa?" matanya menangkap secarik kertas di kardus itu, ia mengambil dan membukanya.

Untuk seseorang yang menemukannya.

Tolong jaga bayiku baik-baik, aku tak sanggup menghidupinya. Beri dia sebuah kasih sayang seorang orang tua, aku mohon. Aku tahu jika perbuatanku salah dengan meletakkan bayiku disini, namun aku tak ada pilihan lain. Ayahnya tak menginginkan dia hadir di dunia, namun aku tetap berjuang untuk membuatnya hadir.

Davin, itulah nama bayi ini. Berikan dia sebuah marga dan adopsilah dia, aku tak ingin jika suatu saat ayahnya mencarinya dan membawanya pergi. Aku mohon jaga dia baik-baik, rawatlah ia seperti anakmu sendiri. Aku mempercayakannya padamu, dan maaf jika aku sudah merepotkanmu.

Ibunya.

"Apa-apaan ini, masak bapaknya gak mau ini anak lahir? Gila kali ya? Okey, baby Davin mulai sekarang kamu anak bunda. Nama bunda Bia, kalo kamu udah gede panggil bunda Bia, yah."

Bia segera membawa Davin pulang ke rumahnya, jika orang tuanya bertanya, itu masalah nanti. Yang penting sang bayi aman bersamanya, doakan saja semoga setelah melihat bayi ini, orang tuanya tak menyuruh dirinya untuk mencari sang bapaknya. Hello, yang hamil siapa? Yang disuruh nikah siapa?

Bia menggendong Davin dengan tangan kirinya, tangan kanannya ia gunakan untuk menelpon seseorang.

"Halo, paman. Jemput saya di halte deket rumah, lima menit."

Tut..

Ia memasukkan kembali ponselnya ke saku celana, karena lelah berdiri, Bia duduk di bangku halte. Hawa dingin mulai ia rasakan, ia memeluk erat bayi yang ada digendongannya.

Tin..

Tin..

Sebuah mobil berhenti di depannya, tak lama seorang pria paruh baya turun dari mobil. "Non Bia, maaf nunggu lama" Bia menggeleng, "Gak lama kok, paman."

"Ya ampun, non!! Itu bayi siapa?"

Nardi –supir Bia, kaget melihat Davin yang ada digendongan nonanya, "ntar aja paman, aku bakal jelasin semuanya di rumah."

Nardi mengangguk, ia langsung membukakan pintu mobil dan Bia masuk kedalamnya, Nardi langsung menutup pintu dan masuk ke bagian kemudi. Tak lama mobil itu meninggalkan halte, bahkan mereka tak menyadari jika seseorang mengawasi mereka dari jauh dengan tatapan sendu.

*****

Mobil hitam Bia memasuki area perumahan elit dengan harga fantastis di setiap rumahnya, tak lama mobil itu sampai di rumah yang dituju. Rumah seorang Bia Maxime.



Rumah bergaya meditteranean yang ia bangun dari rancangan seorang arsitek terkenal, dengan sedikit tambahan darinya. Rumah yang ia bangun dengan hasil jerih payahnya sendiri selama tiga tahun memalui usaha restoran hingga sebuah kafe, bukan restoran biasa namun restoran berbintang yang tersebar di seluruh Indonesia. Makanannya pun tak hanya yang ada di dalam negeri, bahkan restoran dengan masakan luar negeri pun ia bangun.

Holang kaya, maklum dah.

Cklek..

"Non, kamu dari mana saja? Ya ampun bayi siapa itu?"

Bia masuk kedalam dengan diikuti Nardi dan juga bi Nanik —kepala pelayan rumahnya, dua orang tua itu menatap dirinya bingung. Bahkan tak hanya Nardi dan Nanik, keempat pelayan dan juga koki di rumahnya juga bingung.

"Kenapa semua berkumpul disini?"

"Kami semua mengkhawatirkan nona," ucap Ratih, pembantu berusia 35 tahun.

"Maaf, karena aku, kalian jadi cemas" ucap Bia.

Mereka lega, karena Bia telah pulang. Namun bayi yang ada di gendongannya membuat mereka semua bingung, Bia tahu jika semua orang menatapnya bingung. Bia menghela nafas sebentar, "mulai sekarang, bayi ini anakku. Aku tak sengaka menemukannya di halte bus, tolong bantu aku mengurusnya."

Mereka semua tersenyum melihat ketulusan hati sang nona, dengan senang hati mereka akan membantu Bia menjaga dan merawat bayi mungil itu. "Namanya Davin, Davin Maxime."

"Nama yang bagus," ucap Fadi—koki rumah Bia. Mereka mengangguk menyetujui ucapan Fadi.

"Paman Fadi, tolong hubungi Rendi. Minta dia untuk mengurus surat adopsi," Fadi menganguk, Rendi adalah anak pertamannya. Dia seorang pengacara lulusan UI dengan gelar S2 nya.

"Bi Nanik, paman Nardi, besok ikut aku membeli perlengkapan Davin," mereka berdua mengangguk. "Bi Ratih, tolong mandikan Davin. Paman Nardi, berikan peralatan yang dibeli tadi pada bi Ratih. Tolong ya bi, aku sedikit takut, sepertinya bayi ini baru lahir beberapa hari."

Bia menyerahkan Davin pada Ratih, "kalo udah selesai, ambil baju si Wisnu yang ada di ruang pakaianku. Aku rasa bajunya pas," ucap Bia.

"Nada dan Tara, kalian bantu bi Ratih. Sita tolong siapkan makananku, aku mau mandi dulu. Ah iya bi, pakai kamar mandi yang di bawah dulu ya, besok baru kita siapkan kamar Davin" mereka mengangguk mereka melaksanakan tugas masing-masing. Bi Nanik membantu Sita menyiapkan makanan, Nardi kembali keluar rumah dan ikut nongkrong dengan satpam rumah Bia, lalu menceritakan hal yang ada di rumah tadi.

*****

Sinar mentari kembali menyinari bumi, menyalurkan hangatnya setiap makhluk yang ada. Seorang gadis mengerjapkan mata, menyesuaikan penglihatannya. Pandangannya tertuju pada bayi mungil yang tengah tertidur pulas, tangannya terulur untuk mengelus pipi sang anak. "Morning baby."

Chup..

Diciumnya kening sang anak, dia duduk diranjang. Meregangkan otot-ototnya yang sedikit kaku, setelah merasa nyaman ia kembali melihat anaknya. Dengan perlahan ia bangkit dari ranjang, tangannya terulur untuk menggendong bayi mungil itu. Ia berjalan menuju balkon kamar, hangatnya sinar mentari mulai merambat di kulitnya, udara segar ia hirup dengan perlahan. Dari yang ia ketahui, sinar mentari pagi sangat cocok untuk bayi. Makanya ia melakukan itu pagi ini, karena ia ingin pertumbuhan si bayi sehat.

"You are my sunshine," sebuah lagu ia nyanyikan sambil melihat Davin. Senyum cantik mengembang kala ia melihat Davin yang anteng di gendongannya.

"My only sunshine."

•••••

Jasmine Thompson – You Are My Shunshine

The other night, dear

As I lay sleeping

I dreamed I held you in my arms

When I awoke, dear

I was mistaken

So I hung my head and I cried

You are my sunshine

My only sunshine

You make me happy

When skies are gray

You'll never know, dear

How much I love you

Please don't take my sunshine away

I'll always love you

And make you happy

And nothing else could come between

But if you leave me to allow another

You'll have shattered all of my dreams

You are my sunshine

My only sunshine

You make me happy

When skies are gray

You'll never know, dear

How much I love you

Please don't take my sunshine away

•••••

Bi Nanik, menitihkan air matanya. Sang nona begitu menyayangi anaknya, walau itu bukan anak kandungnya.

Bia terkekeh melihat sang bayi menguap kecil, "uluh.. Uluhh.. Masih ngantuk ya?"

"Non, sarapan sudah siap."

Bia membalikkan tubuhnya, melihat bi Nanik yang menatapnya dengan haru. "Iya bik, tolong siapin peralatan mandi Davin ya" bi Nanik mengangguk, lalu meninggalkan nonanya yang masih ingin bersama tuan muda.

Tak lama bi Nanik keluar, Bia juga keluar dari kamar. Ia berjalan menuruni tangga, para pelayan yang kesana-kemari, serta bau sedap dari arah dapur menggugah seleranya. "Paman, masak apa pagi ini?"

"Ah, non Bia. Selamat pagi," sapa Fadi.

"Pagi juga paman," balas Bia.

"Paman masak nasi goreng kesukaan nona," Bia berbinar, "benarkah?" Fadi mengangguk.

"Non Bia, semua keperluan Aden sudah siap" Bia mengangguk pada bi Nanik, lalu menyerahkan Davin padanya. "Bi aku boleh ikut kan?" bi Nanik tersenyum, "boleh banget non malah, jadi non bisa belajar juga."

09.30 WIB

Bia tengah bersiap untuk pergi ke mall membeli perlengkapan Davin, setelah dirasa sudash siap ia turun ke bawah. Sampai di bawah ia melihat bi Ratih tengah menimang Davin yang menangis, buru-buru ia turun dan meminta Davin dari bi Ratih. "Uluh.. Anak bunda kenapa, hem?"

"Ngantuk non, tadi kan habis minum susu" ucap bi Ratih.

Tak berapa lama, akhirnya Davin tidur dalam gendongan Bia. "Pules banget, sih."

Bia mencium kening Davin, lalu menyerahkannya kembali pada Ratih. "Jaga dia baik-baik, aku pergi dulu."

"Baik nona."

Bia mencium kening Davin lagi, "bunda pergi dulu ya, jangan rewel jagoan bunda."

Setelah itu Bia melangkah keluar rumah bersama bi Nanik, lalu masuk ke dalam mobil dan pergi ke tujuan awal, yaitu mall.

*****

"Beli apa lagi ya, bik?"

"Udah semua, non. Ini udah dua belas tas belanjaan loh, belum lagi yang dipaketin."

Bia melihat barang belanjaannya yang di bawa bi Nanik dan paman Nardi, ia meringis pelan. Hanya keperluan bayi tapi barangnya seabrek, mulai dari baju, keranjang bayi, gendongan bayi, perlengkapan mandi, topi, kaus kaki, sepatu, pernak-pernik kamar, hingga boneka kelinci yang lucu. Gila.. Ini rekor belanja yang paling banyak selama ini. Dalam waktu dua jam ia sudah menghabiskan uang berapa banyak?

"Bentar bi, aku mau nelpon pak Joko dulu" Bia merogoh saku celananya, mendial nomor satpam rumahnya.

"Halo, pak. Tolong beli cat tembok warna abu-abu ya, jangan lupa kualitasnya yang bagus. Abis itu sekalian di cattin ya kamar atas dekat tangga, makasih pak."

Tut..

"Buat apa non beli cat?"

"Kamar sebelah kan mau di pake, catnya udah sedikit kusam karena gak di pake. Jadi kamar itu buat kamar Davin aja," ucap Bia. Bi Nanik hanya ber–oh ria.

"Ayo, pulang."

"Non A—."

Bruk..

"was."

"Aduh, pantat gue" Bia mengelus pantatnya yang mencium lantai dengan mulus, sedangkan orang di depannya memandang Bia yang jatuh dengan tatapan datar. "Kalau jalan bisa pake mata gak sih lo?"

Bia mendongak,  dia menatap pria di depannya sengit, "Heh! Kalo jalan tuh pake kaki, mata buat neliat bego."

"Nah itu lo tahu, ngapain gak di pake matanya?!"

"Ya mana gue tahu kalo lo di belakang gue tadi, kalo tahu gue juga gak bakal nabrak lo!"

"Cih," pria itu berdecih lalu meninggalkan Bia yang masih terduduk di lantai, "mentang-mentang badan gede, main nylonong aje" mendengar umpatan Bia, pria itu berhenti, "Ngomong apa lo barusan?"

"Gue bilang genderuwo lewat!" pria itu menatap Bia datar, lalu kembali melanjutkan jalannya. Bi Nanik menyerahkan belanjaannya pada Nardi dan membantu Bia berdiri. "Non, masih sakit gak?"

"Masih dikit kok, bi. Gak papa," ucap Bia.

Cowok bangke, gue sumpahin lo ntar kesandung! Batin Bia.

Sementara itu, orang yang di sumpahi Bia merasa tubuhnya merinding, "kok merinding gini sih, gue?"