제 4 장
Je 4 Jang
"Walau jarak membentang, sayangnya aku ke Abang tuh tak 'kan hilang."
⛄⛄⛄
"Apa Bun? Dia tinggal di sini?"
Alfi yang semula menyandarkan kepalanya ke dinding, melebarkan matanya. Untung cairan manis yang sedang Alfi minum sudah tertelan, mengalir ke kerongkongan. Kalau tidak, dia pasti akan menyemburkan isinya karena kaget.
Cowok berambut spike itu bergidik ngeri. Membayangkan apa jadinya rumah ini setelah kedatangan dia, maksudnya---Hani. Entahlah Alfi lupa namanya.
Jika boleh jujur, dia memang kurang srek dengan Hani sejak awal mengenalnya. Ia pikir cewek itu anggun dan malu-malu ternyata malah, ah, Alfi tak bisa lagi mengutarakannya. Simple-nya, ya tidak suka saja.
Melihat raut wajah Alfi yang mudah berubah, Linda menahan senyum. Sudah ia duga, putranya akan protes jika diberitahu tentang keputusan yang suaminya ambil sejak pertemuan dua keluarga kemarin.
Menyadari tatapan tak biasa dari Linda, Alfi mundur satu langkah. Meletakkan gelas kosong yang ia pegang di atas meja dengan perasaan was-was.
"Iya, dia bakal jadi anak perempuan yang paling Bunda sayang, senangnya punya anak gadis, asal kamu tahu Bunda itu bosen banget sama anak laki apalagi potongan kaya kamu. Eh, ngapain kamu gugup begitu?" ujar Linda malah menggoda. "Suka ya kamu sama Hani?"
Perkataan yang barusan dilontarkan Bundanya membuat ia terhempas begitu jauh, sekaligus tercengang. "Aku? Suka sama anaknya Tante Misa? Ewh ... mending Alfi macarin Lele aja deh, Bun," ujarnya sambil melayangkan jari-jarinya meremehkan.
Mendengar nama asing, sontak Linda memicing. "Lele siapa? Mantan kamu yang waktu SD atau SMP? Atau---gebetan kamu? Ya kali belum MPLS udah punya gebetan sih kamu, Al. Buaya banget emang anak laki itu."
Bukan sekedar menafsir. Memang begitu adanya. Ketahuilah mantan Alfi lebih banyak daripada komunitas partai emak-emak Indonesia yang kian menyusut. Linda jadi bingung, wanita mana yang dibicarakan Alfi.
Dari sudut pandang mereka, latar Alfi memang berkesan tinggi dan mewah. Keturunan keluarga pebisnis ternama, memiliki kepintaran di atas rata-rata, juga menjadi pahatan Tuhan paling sempurna di setiap jenjang sekolah yang pernah Alfi lalui.
Kurang apalagi Dewi Foturna berpihak padanya? Gaya hidup warga Jakarta memang paling identik dengan kekayaan dan kesempurnaan, dan semua opsi itu ada di dalam diri Alfi. Hal itu memudahkan Alfi mendapat banyak pujian dari para cewek seusianya.
Kenyataan tersebut membuat Alfi tumbuh menjadi cowok arogan yang kurang perhatian, terutama yang mengejar cintanya. Belum ada yang namanya Alfi menyatakan perasaan. Kalau gak ada yang nembak dia duluan, Alfi juga enggan bermain-main dengan cinta monyet seperti kebiasaan orang. Syukur-syukur diterima, meski harus berakhir kurang dari dua minggu karena kehendak Alfi sepihak.
Alasannya cuma satu, dia terlalu subhanallah buat ciwi-ciwi yang ganjennya astaghfirullah. Itulah yang Linda dengar dari survey beberapa teman sekolah Alfi ketika di berkunjung ke sekolah sekedar mengambil raport per-semester.
Linda meringis kecil, berpikir bahwa Alfi memang murni jiplakan tabiat Saka semasa remaja. Arogan dan sok ganteng. Walau---faktanya memang ganteng.
"Elaaahh bukan mantan Alfi, Bun. Dia kucing anggora tetangga sebelah, namanya Lele Chang," jelas Alfi tidak mau bundanya menduga-duga.
Linda hanya ber-oh ria walau sempat terhenyak juga. "Kirain apa. Oh ya pukul sembilan jangan lupa jemput Hani ke rumahnya, sekalian nitip pesan ke Om Pandu dan Tante Misa, Bunda siang ini ada jadwal persalinan sedangkan Ayah masih berkecimpung sama meeting, jadi gak bisa nganterin mereka ke bandara," amanatnya lalu mengulurkan selembar kertas.
Setelah menerimanya Alfi tampak ragu meng-iyakannya atau tidak. Namun Bundanya sudah melesat dari hadapannya. Sekilas ia membaca kertas yang bertuliskan alamat seseorang yang ia yakini kediaman keluarga Pandu berada, meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.
"Jalanin aja dulu, siapa tahu seru. Datengnya cewek itu juga gak akan buat alur kehidupan gue jungkir balik kali," gumamnya tanpa sadar.
⛄⛄⛄
Begitu mendengar maminya berseru untuk mengemasi pakaian, dengan gerakan cepat Hani memasukkan beberapa lipatan pakaian dari lemari ke dalam mini koper miliknya asal, tanpa merapikannya lagi.
Usai meletakkan koper berwarna merah muda tersebut di tempat yang pas, Hani keluar kamar hendak menghampiri abangnya yang juga tampak berkemas.
Cewek mungil dengan porsi tinggi dan berat badan yang pas-pasan itu melompat ke atas kasur king size milik abangnya, membuat sekitarnya ikut bergetar. Respon yang diberikan sang abang biasa-biasa saja, tidak protes sama sekali. Kemudian dia berinisiatif mencolek bahu Satria menggunakan telunjuk, tak gentar menjahili sang abang.
"Apaan sih Dek? Ganggu bet dah! Sono, ngapain lo ke kamar gue?"
Oh, rupanya Satria dalam fase badmood. Hani menggembungkan pipinya sebal, melirik kaku ke arah Satria. Sedetik kemudian wajahnya berubah sendu. "Baaang jangan tinggalin Hani, entar kangeen berat Baang," rengeknya seperti balita tidak diberi mainan.
Satria menoleh sekilas penasaran dengan ekspresi Hani. Alih-alih terharu malah tawanya berderai pelan, merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, lalu menarik adiknya ke dalam dekapan. "Sshuutt gosah mewek, muka lu ntar makin kisut," ujarnya sambil membelai rambut wangi Hani penuh sayang, berharap atas tindakannya dapat mengalirkan aura ketenangan pada sang adik.
"Sehari ke depan, lo fokus aja sama sekolahan. Nggak perlu tuh mikirin yang aneh-aneh. Nggak usah mikirin Abang di Surabaya lagi ngapain. Gue di sana sama Mami-Papi, lah elo? Lo sendirian di sini, makanya jaga diri," tutur Satria tanpa menyinggung alasannya bisa terlibat sebuah permasalahan di Surabaya.
Hani manggut-manggut mendengar penuturan abangnya."Inget ya, Bang. Walau jarak membentang, sayangnya aku ke Abang tuh tak 'kan hilang," sahut Hani sok puitis yang malah mendapat tonyoran ringan di pipinya.
"Dih, gue gak baper nih. Kurang bucin tuh quotes."
***
Alfi mengambil hoodie zipper berwarna navy dari lemari. Pukul 08.45 telah menggerakkan cowok itu agar menghentikan aktifitas kala teringat kewajibannya untuk menjemput seseorang.
Ketika mencari kunci mobil yang ia letakkan di meja kerja ayahnya, ia bertemu Azizah---asisten rumah tangga yang sedang menyibukkan diri menyapu ruangan. "Lho, Mbak Jijah udah mulai kerja?"
"Iya, den. Mbak barusan dateng," jawabnya seraya membungkuk hormat pada tuan muda majikannya seperti yang dilakukan ketika bekerja selama bertahun-tahun lamanya.
"Mbak Jijah 'kan kemarin cuti hamil, terus anaknya dikemanain Mbak?"
"Mbak tinggal di kampung, udah dijaga sama Ibunya Mbak."
Alfi mengangguk-angguk paham. "Kenapa nggak dirawat sama suami Mbak aja?"
"Suami Mbak tuh kerja di luar kota sama kaya Mbak, den."
"Kalau gitu sering-sering aja Mbak, minta cuti pulkam ke Bunda. Kasian anaknya, ditinggal kerja sama orang tuanya," usul Alfi memberikan saran sambil tersenyum canggung.
Mbak Jijah tertawa kecil menanggapi Alfi. Putra majikannya ini memang suka sekali berinteraksi baik dengan keluarga termasuk pada asisten rumah tangga dan pegawai lainnya. "Iya sih kangen juga jadinya."
"Oh iya, Mbak Jijah liat kunci mobil Alfi nggak, di sini?"
"Itu den, udah Mbak taruh di meja yang itu tuh." Pandangan Alfi jatuh ke arah meja yang mbak Jijah tunjuk. "Nah ketemu! Makasih Mbak. Alfi pamit ya, nanti kalau Bunda nyariin bilang aja lagi jemput calon anak gadis idaman Bunda."
Meskipun terdengar aneh untuk mbak Jijah yang pasalnya belum mengerti hanya mengangguk saja, menuruti apa kata tuan mudanya itu. "Hehe anak idaman Nyonya ya Den? Ya sudah Aden Alfi hati-hati dijalan, nanti Mbak sampaikan ke Nyonya."
"Makasih, Mbak. Dah!" ucapnya meninggalkan ruangan. Bergerak menjalankan mobil dengan kecepatan rata-rata seperti pengendara normal lainnya hingga benar-benar menjauh dari pelataran rumah keluarganya.