Chereads / My Deadly Beautiful Queen / Chapter 38 - Mengerjar

Chapter 38 - Mengerjar

"Apa?" tanya Kaisar heran.

"Aku menolak. Aku bukan orang yang bisa kau kendalikan. Aku hanya akan melakukan apa yang aku inginkan. Jangan pernah memaksaku. Hanya dengan sebuah informasi, kau ingin membuat kesepakatan denganku? Apa kau kira aku sebodoh itu Yang Mulia Kaisar?"

Kaisar membisu.

~Ia benar, apa yang aku harapkan dari orang berdarah dingin sepertinya?~

"Jika kau ingin menyampaikan sesuatu, sampaikanlah. Namun jangan mengharapkan apapun dariku. Aku benci orang yang mengharapkan imbalan. Mereka seperti sampah. Aku heran, mengapa dunia ini dipenuhi orang-orang seperti kalian?"

Kaisar yang mendengar hal itu merasa tak berdaya. Kata-kata Edward ada benarnya. Selama ini, kerajaan berjalan atas kesepakatan demi kesepakatan. Tidak ada ketulusan, bahkan saat Njoo berada di sisinya dulu. Ia juga membuat kesepakatan demi dirinya sendiri.

"Jadi begitu? Baiklah sepertinya tidak ada gunanya juga aku datang." Kata Kaisar memancing.

"Dulu, saat aku mengenalkanmu pada Siane, kau seperti ketakutan melihatnya dan tidak menjawab sepatah katapun. Lalu kembali ke Skanidavia. Kini ia sudah pergi dengan orang lain, Anda malah mencarinya. Sepertinya Yang Mulia Raja Skanidavia ini memang orang yang sulit ditebak" kata Kaisar memberi hormat secara formal, tanda akan pergi meninggalkan tempat.

"Pergi dengan orang lain?"

Kaisar menghentikan langkahnya. Tampaknya umpan yang ia berikan berhasil. Ia berhasil membuat Edward meminta informasi.

"Benar. Saya yakin, Yang Mulia Raja sudah medengar masalah yang terjadi antara aku dan Siane. Ia membunuh Permaisuri dan Putra Mahkota. Aku mengusir dan mengejarnya. Tapi, siapa sangka ia kabur ke Artha Pura Kencana bersama sorang Raja. Ku dengar ia menjadi Selir rendahan di sana sebagai imbalan membantunya kabur. Sungguh menyedihkan, dari Putri Mahkota menjadi selir kelas bawah."

~Oh, Ia kabur dengan pria lain? Wanita ini, apa ia lupa padaku?~

"Zein, pastikan pasukan kita tidak menyentuh Kekaisaran Yang Mulia Yang. Ia cukup baik memberikan informasi." Kata Edward.

Kaisar lega mendangar hal itu. Meski, ia gagal mengembalikan kerjasama dua negara, setidaknya saat ini mereka tidak akan memerangi kerajaannya.

"Terima kasih Yang Mulia Raja atas kebaikan anda"

Zein melihat Kaisar pergi dari kapal dan masuk kembali ke kereta kencana yang ia bawa.

"Apa kita memercai orang itu?" tanya Edward.

"Kurasa begitu Yang Mulia."

"Siane, baiklah. Mari kita cari wanita ini dan membawanya kembali. Setelah itu, aku akan berikan kerajaan ini sebagai hadiah untuknya"

Zein yang mendengar hal itu terkejut.

"Bukankah Yang Mulia meminta pasukan tidak menyerang?"

Edward medekati Zein dan berbisik.

"Benar, tapi bukan berarti kita tidak bisa menguasainya bukan? Kepung kekaisaran ini, jika ada gerakan mencurigakan eksekusi di tempat. Aku ingin, kerajaan ini tetap untuh dan indah, karena Siane pasti akan menyukai hadiah ini. Ayo kita ke Artha Pura Kencana dan bunuh Raja mereka yang berani menjadikan Ratuku, selir kelas rendah."

Zein segera pergi dan memerintahkan kaptain kapal pergi ke Artha Pura Kencana.

Sementara itu di Artha Pura Kencana, Raja baru sedang mengadakan rapat dengan para menteri mereka. Terlalu banyak urusan yang harus diputuskan hari itu. Hanya Raja, yang berhak memutuskan sesuatu. Namun, …

"Yang Mulia Raja, jika kita tidak menyetujui pembangunan irigasi, maka bisa dipastikan akan terjadi gagal panen lagi tahun depan. Hamba yakin…"

Belum selesai ia bicara, Raja baru mereka membentak.

"Aku Rajanya. Pembangunan ini membutuhkan banyak biaya. Ini adalah pemborosan anggaran. Suruh saja, para petani itu mengambil air dengan kendi dari sungai terdekat untuk mengaiiri sawah mereka!"

"Tapi Yang Mulia, jika itu dilakukan maka petani akan kelelahan. Jaraknya terlalu jauh. Hamba…"

"Diam! Jangan jadi pemalas! Katakan, jika mereka masih ingin hidup di sini ikuti aturan yang aku buat. Jika tidak, silakan pergi!"

Semua menteri yang hadir hanya bisa menggelengkan kepalanya. Mereka ingin bersuara namun, saat ini sepertinya diam adalah hal terbaik.

"Ada lagi?" tanya Yang Mulia Raja.

Seorang menteri maju dan membawa segulung laporan.

"Daerah perbatasan sedang bersengketa dengan Kerajaan Bayu Awang, kurasa kita perlu mengirimkan pasukan bantuan dan tambahan tenaga kesehatan untuk perang ini. Kita sudah terdesak Yang Mulia."

"Bayu Awang? Baiklah, kirim pasukan ke sana. Pastikan Kerajaan itu tidak mencapai perbatasan dan merebut apapun dari kita."

"Hamba mengerti" kata Menteri itu. "Ada satu lagi masalah. Kita mulai kekurangan pasukan. Sudah waktunya kita melakukan perkrutan prajurit baru Yang Mulia."

"Oh, lakukan saja. Apa sulitnya mendapatkan prajurit baru?"

"Tidak ada Yang Mulia, hanya saja kita perlu menambah anggaran gaji mereka."

"Apa?" Yang Mulia Raja berdiri dari singgah sananya.

"Gaji? Di mana jiwa patriotism anak-anak muda saat ini. Saat negara memanggil, maka mereka harus bersedia menjadi prajurit. Lakukan wajib militer. Setiap keluarga harus mengirimkan anak mereka laki-laki untuk menjadi prajurit. Tanpa gaji tentunya, beri merka makan saja."

"Itu tidak mungkin, jika seperti itu maka akan banyak rakyat yang bergabung dengan Bayu Awang. Mereka memberikan gaji tinggi pada prajurit-prajurit terbaik mereka."

"Bunuh saja" kata Yang Mulia Raja. "Bunuh saja, siapapun yang berniat keluar dari kerajaan ini."

Menteri itu menghela nafas.

"Hamba mengerti"

Suasana benar-benar tidak baik. Raja baru wanita ini tidaklah mengerti apapun mengenai politik. Yang ia tahu hanya membuat keuangan kerajaan menumpuk dan tidak berkurang untuk dirinya sendiri. Sungguh buruk. Baru sehari menjabat, keputusan yang diambil sudah tidak karuan.

Di gapura kerajaan, Raja Tawang tiba dengan segenap pasukannya. Ia geram mendengar putrinya semakin tidak bisa dikendalikan.

"Yang Mulia, mohon maaf kami tidak bisa membiarakan Yang Mulia masuk. Yang Mulia Raja, akan membunuh kami. Beliau sedang rapat dengan para menteri" kata seorang prajurit yang berjaga.

"Oh, bahkan aku yang ayahnya juga tak boleh masuk? Siapa gerangan raja baru ini? Apa benar ia Putri dari Kerajaan Tawang?"

"Hamba…hamba mohon ampun Baginda" kata Praurit itu sujud sampai ke tanah.

"Bangunlah, aku akan mengatasi ini. Kau tidak perlu takut"

Raja tawang pun menerobos masuk ke tempat rapat. Raja Artha Pura Kencana terkejut. Begitu pun dengan semua menteri yang hadir. Semua menteri segera bersujud memberi hormat hingga ke tanah. Kemarahan tampak jelas di raut wajah Yang Mulia Raja Tawang.

"Oh, apakah Raja Tawang tidak tahu, kami sedang rapat internal?" kata Raja Artha Pura Kencana yang tidak lain adalah putri dari raja Tawang.

"Apa kau sudah lupa aku ayahmu? Sehingga memberi hormat pun tidak? Bahkan Rendra Yang seorang laki-laki pun masih tahu tata krama"

Raja Artha Pura tidak mengindahkan pertanyaan Baginda Raja Tawang.

"Ayah handa, aku adalah Raja saat ini. Kedudukan kita sama"

Mendengar hal itu, raja murka dan menampar Raja Arta Pura Kencana

Plakkk!