Kediaman Ali Abdullah begitu megah dengan gerbang yang menjulang tinggi. Dari semua rumah di kompleks ini, hanya rumah ini yang sangat mencolok dengan dua atap rumah bak kubah dengan corak emas dan ada sedikit corak toska. Ulfa membaca lagi alamat yang tertulis di kertas yang ia pegang, ini sudah benar. Alamat dan ciri-ciri rumah yang disebutkan bude Mun sama persis.
Melihat betapa rapat dan tingginya gerbang, Ulfa kebingungan. Ia tidak tahu harus dari arah mana ia mengetuk gerbang besar ini agar orang di dalam sana tahu jika ada orang di luar ingin masuk. Bude Mun adalah tetangganya, yang kini sudah mulai pensiun karena usia senja. Saat Ulfa menjenguk bude Mun, ia ditawari bekerja sebagai penggantinya. Tentu saja ia sangat ingin, mengingat di kampung ia hanya sebagai pedagang gorengan dan kue keliling.
Tidak ada beban lagi jika ia pergi jauh dari kampung, Mbah sudah meninggal tujuh bulan lalu. Sekarang ia hanya hidup sendiri, tidak punya saudara dan tidak ada tanggungan apa pun. Sedangkan di kampungnya, banyak juragan beristri lebih dari dua ingin meminangnya. Kadang ia sampai takut karena para juragan itu tak segan berkontak fisik dengannya. Mungkin ini rezekinya, mendapat pekerjaan di kota besar dan langsung diterima. Tanpa pikir dua kali, Ulfa langsung menerimanya.
Berbekal alamat dan uang tiga ratus ribu rupiah, Ulfa nekat hijrah ke kota. Untung saja saat itu tukang sayur di kampungnya akan ke kota mengatar hasil panen. Jadi Ulfa bisa menebeng sekalian menghemat ongkos.
Tin!
Ulfa segera menepi saat sebuah mobil yang sangat bagus melewatinya. Gerbang besar itu terbuka dengan sendirinya. Di belakang mobil itu ada mobil tak kalah bagus juga. Ulfa hanya melongo melihat dua mobil di hadapannya. Selama ini ia hanya melihat mobil seperti itu di tivi milik tetangganya yang kaya kala sedang berkumpul untuk menonton tivi.
"Siapa ya?" seorang wanita membuka kaca mobil, ia meneliti Ulfa.
Ulfa menunduk, memegang tas di depannya. "Saya Ulfa, yang gantiin bude Mun," jawabnya gugup.
Walau wanita yang bertanya sangat cantik dan dengan halus, tetap saja Ulfa merasa takut. Ia belum pernah melihat wanita secantik ini di kampungnya.
"Astaga!" wanita itu berseru sambil menutup mulut. "Kenapa nggak masuk? Ayo masuk, Pak, saya turun di sini saja." wanita itu turun dengan hati-hati, perutnya terlihat sedikit menonjol di balik baju blouse warna dongker.
Ulfa masih menunduk, saat mengikuti langkah wanita di depannya. Ia hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang. Rumah ini lebih megah dari perkiraannya ketika dilihat dari luar tadi, sudah seperti rumah dalam dongeng kerjaan. Bahkan, rumah juragan Solihin yang pernah mengajaknya menikah dan ingin menjadikannya istri keempat tidak ada apa-apanya dibanding dengan rumah ini. Mungkin rumah juragan Solihin hanya sebagai kamar mandi di rumah besar ini.
"Ayo masuk," ajakan dari wanita yang belum ia tahu namanya itu menyadarkan Ulfa dari rasa takjubnya.
Sandal jepitnya ia taru di pojok dekat tiang, setelah itu ia buru-buru mengikuti wanita yang sudah hilang di balik pintu. Kesan pertama saat ia masuk, rasanya seperti masuk ke toko yang ada di terminal tadi. Apa ya namanya? Kalau tidak salah maret atau april di ujung nama toko itu. Rasanya dingin, bahkan lebih dingin dari pada toko tadi. Melihat betapa besarnya rumah ini, Ulfa pasti akan kesasar untuk menemukan jalan keluar.
Celingukan, Ulfa bingung harus ke mana. Sedangkan wanita tadi sudah hilang entah ke mana. Masa iya, dia harus berdiri di sini, nanti dia dikira maling bagaimana?
"Tangkap dia!"
Ulfa yang kaget terjatuh begitu tubuhnya ditabrak seorang anak kecil. Ia meringis, jatuhnya sangat kuat. Anak kecil itu meminta maaf dan kembali berlari menuju halaman.
"Gimana sih! Nangkap bocah saja nggak bisa! Minggir!" orang yang tadi berteriak, malah sekarang marah-marah.
"Aduh!" Ulfa meringis, kakinya terinjak orang tadi.
"Udah dibilang minggir juga!" orang itu pergi begitu saja sambil berteriak memanggil nama anak kecil yang sedang dikejarnya.
Dengan hati-hati Ulfa berdiri, rasanya pinggang dan kakinya sangat nyeri. Posisinya yang menungging saat akan berdiri membuat heran, sampai sebuah pertanyaan terdengar.
"Kamu kenapa?"
Buru-buru Ulfa bangun sambil meringis, ia ambil lagi tasnya yang jatuh di dekatnya.
"Jatuh, Bu, tadi ditabrak anak kecil," jawabnya menunduk. Walau anak kecil, nyatanya tubuh anak itu sangat besar untuk ukuran anak seumurannya.
"Ditabrak anak kecil?" Ulfa mengangguk. "Pasti Alfi." gumam wanita itu.
Ulfa juga tadi mendengar orang itu memanggil nama Alfi.
"Mama, aku cariin ke mana-mana tahunya sudah ada di sini." wanita tadi kembali. Melihat Ulfa yang kesakitan, wanita itu menanyakan hal yang sama. "Kamu kenapa?"
"Ditabrak Alfi katanya, pasti kuat sampai jatuh begitu," yang menjawab tentu saja bukan Ulfa, melainkan wanita paruh baya yang masih terlihat cantik.
"Aduh, maaf ya, Alfi memang nakal."
Ulfa tersenyum seraya menggeleng. "Nggak apa-apa, Mbak,"
"Dia siapa, Me?"
"Ya ampun hampir saja aku lupa!" wanita yang dipanggil Me itu menepuk jidatnya. "Ini, Ma, katanya dia yang akan gantiin mbok Mun."
"Saya Ulfa, Bu," Ulfa meringis, saat akan membungkuk pinggangnya terasa nyeri lagi.
"Owalah, mbok Mun semalam sudah kabarin saya, maaf saya agak lupa, maklum sudah nenek-nenek. Saya Yuni, ini anak kedua saya, Megan."
Ulfa kembali tersenyum, ia ingat bude Mun pernah bilang kalau ibu Yuni adalah orang yang baik dan lembut. Tidak pernah membedakan derajat seseorang. Namun, sekali wanita itu marah, semua orang tidak akan pernah menduganya dan pasti dibuat kaget. Begitu pun dengan pak Ali. Ulfa tahu itu, orang yang tidak pernah marah akan sangat mengerikan jika sudah marah.
"Ayo duduk, kamu pasti capek habis perjalan jauh," ajak Yuni.
"Kaki kamu kenapa? Kok, jalannya pincang?" tanya Megan melihat cara jalan Ulfa.
"Um ... ini, tadi keinjak mas-mas yang ngejar Alfi, Mbak,"
"Astaga anak itu." geram Yuni. "Me, kamu antar ke kamarnya Ulfa saja, suruh istirahat. Mama mau cari mereka." Yuni segera beranjak, wanita itu keluar dengan omelan.
"Ayo, kita ke kamar kamu," Ulfa menurut, ia melangkah dengan pelan.
How Can I Love You
Ketika ia bangun, hari sudah siang. Buru-buru Ulfa menuju kamar mandi, ini hari pertamanya bekerja kenapa bisa sampai kesiangan. Sebelumnya tidak pernah ia bangun sesiang ini, saat di kampung sehabis subuh ia segera membuat gorengan dan mengambil kue di tetangga. Mungkin karena ia kelelahan membuatnya bangun terlambat.
Kemarin sore setelah diantar ke kamarnya dan diberi obat pereda nyeri, Ulfa langsung terlelap begitu tubuhnya menyatu dengan kasur. Kasur yang sangat empuk dan besar, tubuhnya bahkan sampai memantul saat menaikinya. Berbeda dengan kasurnya di kampung yang terbuat dari kapuk yang sudah menyatu dan keras seperti batu.
Setelah mandi dan merasa tampilannya sudah rapi, Ulfa keluar dari kamar. Ia belum tahu seluk beluk rumah ini tapi dia masih ingat, keluar dari lorong kamar ini belok kiri lalu lurus, sudah menuju pintu utama.
"Ulfa, ya?"
Ulfa segara menoleh ke asal suara. Seorang wanita lebih tua darinya tersenyum.
"Iya, saya Ulfa," jawabnya balas tersenyum.
"Saya Inah, panggil saja bi Inah," bi Inah dan Ulfa lalu bersalam. "Kamar Bibi di samping kamar kamu, kemarin Bibi ke pasar makanya nggak tahu kalau ada teman baru,"
Ulaf melihat kamar di sebelah kamarnya. "Saya juga datangnya sore, Bi, langsung disuruh istirahat sama ibu Yuni."
Bi Inah mengangguk mengerti. "Kamu belum makan, kan? Ayo, makan dulu," ajak bi Inah menarik tangan Ulfa.
Ulfa tidak pernah merasakan makanan seenak ini di kampung. Nasi putih yang pulen, ayam, ikan dan sayur semua makanan lezat itu tersaji di hadapannya sekarang. Ia bebas menambah berapa saja, bahkan jika ia sanggup ia boleh menghabiskan semua makanan itu.
Hari ini pekerjaannya tidak terlalu berat. Bersama Uwi temannya yang seumuran, Ulfa bekerja dengan senang hati. Sedangkan untuk urusan dapur sudah dipegang oleh bi Inah menggantikan bude Mun, Ulfa dan Uwi hanya membantu mengiris atau mencuci bahan masakan saja jika membantu bi Inah.
Sebenarnya ada empat pembantu di rumah ini sebelum Ulfa masuk. Mbok Mun yang dipensiunkan karena usia dan mendapat tunjangan besar, Tari yang sekarang ditarik ke rumah Megan untuk menjaga anaknya, Alfi. Sisanya tinggal bi Inah dan Uwi, mereka kewalah mengurusi rumah besar ini berdua. Sebelum mbok Mun pulang, Yuni memang meminta dicarikan penggantinya kalau bisa dari kampung yang sama dengan mbok Mun. Ulfa lah yang akhirnya mendapat rezeki memiliki majikan dan teman sesama asisten rumah tangga yang baik.
Setelah mendapat penjelasan dari bi Inah dan Uwi, Ulaf mulai mengerti. Rumah besar ini hanya di huni oleh pak Ali dan ibu Yuni, serta anak bungsu laki-lakinya. Sedangakan kedua anaknya sudah keluar rumah saat berumah tangga. Rumah besar ini lebih banyak dihuni oleh asisten rumah tangga.
Ulfa meraba kedua sisi kasurnya, kamar ini begitu luas menurutnya. Rumahnya di kampung bahkan sangat kecil dari kamar ini. Lampunya juga sangat terang, dia yang biasanya memakai damar merasa sangat asing saat pertama kali tidur dengan lampu yang menyala. Di atas meja nakas, foto Mbah seperti tersenyum melihatnya. Ulfa memiringkan tubunya sambil memeluk guling.
"Kasurnya empuk, Mbah, ada selimut yang tebal dan di sini juga nggak ada jangkrik sama nyamuk." mengusap sudut matanya, Ulfa tersenyum. Andai Mbah ada di sini, tidur sama Ulfa di kasur empuk ini.
How Can I Love You
Selama tiga hari bekerja di sini, Ulfa sudah merasa sangat betah. Selain majikan yang baik, para pembantu lain juga tak kalah baiknya dengan sang majikan. Semua yang berada di rumah ini dianggap keluarga satu sama lain. Namun, rasa betahnya mulai terusik di hari keempat ia bekerja. Saat anak bungsu majikannya---orang yang menginjak kakinya waktu itu pulang entah dari mana.
Semenjak kejadian itu, Ulfa memang tidak pernah melihatnya lagi. Hari inilah dia baru melihatnya lagi atau mungkin sampai hari-hari berikutnya.
"Heh, pembantu baru."
Ulfa yang sedang mencuci buah apel dan jeruk menoleh ke belakang.
"Iya, mas Rifki?" ia tahu nama majikannya ini dari Uwi yang menceritakan tentang bagaimana Rifki dengan segala pujiannya.
"Siapin makan."
Rifki. Nama yang memiliki arti sangat bagus. Namun, sikap dan perilakunya tidak sebagus arti namanya dan tidak sebagus yang diceritakan Uwi. Itu yang Ulfa tangkap dari kesan pertama ia berinteraksi dengan majikannya ini.
"Nasinya satu centong, ayamnya yang dada, kuah sopnya aja, sayurnya jangan."
Ulfa yang akan pergi setelah meletakan mangkok berisis sayur sop dibuat melongo. Maksudnya apa?
"Cepet ambilin, malah diam kayak patung."
"Saya yang ambilin, Mas?"
Rifki meletakan ponselnya kasar. "Iya lah kamu, siapa lagi? Masa aku? Apa gunanya kamu jadi pembantu?" ucapnya ketus kembali mengambil ponsel dan mengetik entah apa.
Ulfa masih diam. Jika dilihat dari sisi manapun, majikannya ini memiliki postur tubuh yang tinggi, jakun yang menonjol serta jambang tipis di kedua sisi wajahnya. Sudah jelas majikannya ini bukan lagi anak kecil seperti Alfi yang masih harus dilayani. Jadi, apa gunanya kedua tangannya itu, dia juga bukan orang lumpuh.
"Lama deh." Rifki menarik piringnya
"Cepet ambilin."
Dengan telaten Ulfa mengambilkan Rifki makanan sesuai ucapan pria itu tadi.
"Suapin."
"Apa?" sebenarnya berapa sih umur Rifki ini? Alfi saja yang baru lima tahun bisa makan sendiri.
Rifki berdecak malas. Ia menatap Ulfa dengan mata memicing. "Selain telmi, kami juga budek ya? Aku bilang suapin."
"Mas kan bisa makan sendiri," balas Ulfa. Ini diluar pekerjaan seorang pembantu menurutnya. Menyuapi majikannya yang sehat wal afiat.
"Nggak lihat aku sibuk?" Rifki mengangkat kedua tangannya yang memegang ponsel. "Cepetan." desaknya sudah membuka mulut.
Mau tidak mau Ulfa menyuapi pria besar itu. Apa pekerjaan bude Mun juga begini ya?
"Um ... puft! Puft!" nasi dan lauk yang sudah masuk ke mulutnya ia semburkan. Rasanya lidah dan mulutnya seperti terbakar. Rifki berdiri dan menunjuk Ulfa. "Tiup dulu dong! Nggak tahu apa itu panas atau kamu sengaja, iya? Dasar pembantu baru aneh! Jawir!"
Masih sambil marah-marah, Rifki berjalan keluar. Ulfa hanya menatap datar, perasaan nasinya hangat kok, panas dari mana? Ia lalu melihat makanan yang masih utuh di depannya, sayang kalau dibuang.
"Situ yang aneh, sudah besar minta disuapin."