Chereads / Lady in Red (21+) / Chapter 26 - Let's Break Up

Chapter 26 - Let's Break Up

Let's Break Up

- Vishal Dadlani -

O Teri Yaari Badi Pyari

But I am also a player

You love me all day long

So, let's break up, O Mary Jan

Never let me be yours

Basically, basically, i'm basically a bastard

Let me go

===========================

Karena perasaan bersalah itulah, Ruby balik badan dan memberi sinyal ke suaminya untuk bersetubuh.

"Aku bahagia memilikimu, Ben..." bisik Ruby sambil pekuk leher sang suami ketika Benetton menyatukan diri dengannya.

"Dan aku beruntung mendapatkan kau, Xuehua. Sangat beruntung," balas Benetton.

Ruby makin tenggelam pada penyesalan. Malam itu ia melayani Tuan Hong sepenuh hati.

Di ruang tengah, Vince mengamati pelayan wanita yang membawa tas-tas belanjaan Ruby tadi siang. Tas-tas tersebut diletakkan di sofa.

"Punya Ibuku?"

"Iya, Tuan muda. Nyonya tadi minta ini diletakkan di sini saja."

Setelah pelayan pergi, Vince meraih tas-tas tadi, hendak berikan ke Ruby di kamar ayahnya. Namun kakinya mendadak terhenti dengan tubuh mengejang kaku di depan pintu kamar sang ayah.

"Haangh... Beenn... kau hebat-anghh.... terus begitu-arnghh... aku mencintaimu, Benhh... anghh... kau paling tau dimana aku suka disentuh."

"Haghh... iya Hua'er. Haghh... karena aku sudah mengenalmu... haaghh... dari dulu... aghh..."

Vince bisa mendengar sayup-sayup suara erotis pasangan pengantin baru itu. Bibir bawah digigit kuat beserta bara amarah di dada.

-0-0-0-0-0-

Dua minggu berlalu.

Siang ini Vince menjemput Feiying di kampus. Ia ingin membawa gadis manis itu ke sebuah tempat.

Saat Vince datang, banyak teman-teman fakultas Feiying yang melongo tak percaya. Rupanya banyak di antara mereka yang tau siapa Vince.

"Vin!" Feiying lambaikan tangan, gembira, tak menyangka Vince mau mendatangi kampusnya. Padahal biasanya Vince menolak jika Feiying mengajak ke kampus.

Gadis itu lekas hampiri Vince. Langkahnya riang. Teman-teman kelasnya susah percaya gadis sederhana seperti Feiying berhasil menggaet pria setampan Vince.

Apalagi ketika Vince mengecup kening Feiying saat keduanya sudah berdekatan.

Kepulan debu terbang setelah Vince memacu mobil sport-nya, menyisakan batuk-batuk kecil teman-teman Feiying yang berdiri dekat di situ.

"Vince, tumben kau mau ke kampusku." Feiying senyum lebar tulus seraya tatap sayang Vince.

Pemuda itu menoleh ke Feiying, ikut tersenyum, meski senyum palsu. "Aku ingin ajak kau ke suatu tempat."

"Ke mana?"

"Nanti kau akan tau sendiri, sayank."

Mobil dilajukan ke sebuah dermaga, lalu mesin dimatikan. Hanya terdengar debur ombak dan suara camar laut.

Vince putar tubuh, menghadap ke Feiying yang diam menunggu. "Feifei, ada sesuatu hal serius yang harus aku bicarakan."

"Hal serius?" ulang Feiying menggunakan nada tanya.

Vince mengangguk. Tangan Feiying diraih, digenggam. "Tapi ini mungkin tidak mengenakkan untukmu, karena ini juga tak mengenakkan untukku." Wajah Vince muram, tertunduk.

Feiying bebaskan satu tangan dari genggaman Vin agar bisa mengelus pipi pria terkasih. "Ada apa? Katakan saja, Vin." Suara lembut mengalun seiring tatapannya.

Vince mendongak, tempelkan satu tangan Feiying ke pipinya. "Aku bingung bagaimana mengatakannya."

"Vin, tak apa. Katakan saja."

"Janji kau takkan marah?"

Feiying mengangguk. "Janji."

Menghela napas berat sebentar, Vince mulai keluarkan apa yang ingin dia ucap. "Rasanya... kita harus selesai, Fei..."

Feiying naikkan alis saking tak yakin pada yang ia dengar. "Apa?"

Vince kulum bibirnya sebelum kembali bicara. "Hubungan kita harus usai, Feifei. Maaf, ini bukan keinginanku. Sungguh. Ini... keinginan Tantemu."

Tubuh Feiying bagai disambar petir, kaku dan tegang. "Tan...te? Usai?" Pikirannya serasa kosong, hampa.

"Fei..." Vince cekal kedua lengan Feiying karena gadis itu tampak syok. "Feifei, kau tak apa?"

Feiying tatap kosong pria di sebelahnya. "Kita... usai? Selesai? Berakhir?" Mata sang gadis mulai basah. "Putus?" Suara Feiying bergetar.

Vince menunduk. "Iya. Aku... dan tantemu kemarin bertengkar hebat, dan dia ternyata masih tidak mengijinkan kita bersama. Dia... dia bahkan menyodorkan seorang wanita untukku."

Feiying menutup mulutnya. Air mata sudah tumpah ruah di pipi. Tak mengira orang yang dia hormati selama ini ternyata mengakibatkan sakit terdalam di sanubarinya. "Tidak, tidak mungkin Tante begitu..." isak Feiying.

Vince keluarkan ponselnya, dan putar sebuah video pendek. Di sana tampak Ruby mempertemukan Vince dengan seorang gadis muda. Benetton tak ada di video tersebut.

Feiying menangis keras dalam pelukan Vince. Ia gadis penurut, pun kepada tantenya yang turut mengasuh dia sedari kecil. Hatinya sesak akan beribu pertanyaan mengapa dan mengapa.

Susah payah Vince membujuk agar Feiying berhenti menangis. "Bulan depan aku berangkat ke London, Papa menyuruhku mengurus kantor di sana. Mungkin aku harus lama di sana. Entahlah."

Feiying makin terpukul. Dipisahkan paksa lalu ditinggal pergi jauh pula. Ia tumpahkan tangis di pelukan Vince.

Feiying tak tau bahwa itu hanyalah akal-akalan Vince sambil mengancam Ruby untuk berlaku sesuai skenario yang disusun Vince. "Kalau kau tak mau Feiying kusakiti lebih lama, turuti perintahku." Demikian ancaman dia ke Ruby saat itu.

-0-0-0-0-

Selama sebulan sebelum kepergian Vince ke London, dia kerap menghabiskan waktu dengan Ruby. Tentu saja itu dia lakukan secara diam-diam, di belakang sang ayah yang terlalu percaya pada anak dan istrinya,

Seperti bila Benetton pergi ke kantor pada pagi hari, Vince sengaja tidak keluar kamar seolah-olah dia masih tertidur pulas. Begitu mobil sang ayah meluncur keluar dari mansion, maka Vince mengendap-endap ke kamar sang ayah dan menjumpai Ruby.

Mantan penyanyi kafe itu tidak berdaya karena Vince mengancam akan menyebarkan video-video intim mereka ke Tuan Besar Benetton. Dia juga mengancam jika Ruby tidak menuruti kemauannya, Vince akan dengan mudah menjerat Feiying kembali untuk dirusak.

Ruby tidak bisa berkutik jika Vince sudah menyebutkan kedua hal tersebut.

Maka, yang sanggup dia lakukan hanyalah menahan diri untuk tidak terisak setiap Vince mulai menggauli dia sepanjang siang. Memangnya siapa yang berani berlalu-lalang di lantai atas mansion? Tidak akan ada pelayan yang nekat untuk naik ke atas jika tidak dipanggil.

Oleh karena situasi mansion yang seperti itulah, Vince sangat leluasa meluapkan semua birahinya pada Ruby.

"Annghh! Vin! Stoop-aanghh!" Terkadang Ruby sampai kewalahan jika napsu Vince sudah terlalu menggebu dan melampiaskan secara beringas ke Ruby.

Seperti pagi ini usai Benetton pergi ke kantor, Vince mengguncang keras tubuh Ruby di bawahnya hingga wanita itu terhentak-hentak kencang beserta lenguhan tiada henti dari mulutnya.

"Ssshh... jangan terlalu memamerkan suara merdumu, sayank... walau aku tidak keberatan. Hrrghh! Apa kau... tidak apa-apa jika pelayan mansion mendengar? Hmm? Rrkhhh! Ayo, ucapkan namaku, Ru!" Vince memang berlaku kejam pada Ruby. Itu karena dia merasa Ruby lebih dulu kejam kepadanya.

Di lain hari, saat akhir minggu, ketika Vince menyeret Ruby secara tiba-tiba ke kamarnya dan menggauli wanita itu di kamar mandi, Benetton hampir saja memergoki.

"Vin, apa kau tau kemana ibumu?" tanya Benetton sambil mengetuk pintu kamar mandi anaknya. Ruby dan Vince seketika terdiam sesaat. Wajah Ruby sudah tak karuan ketakutan.