Ride Wit Me
- Nelly & St. Lunatics -
======================
Sabtu malam jam 11, kafe sudah mulai dipadati pengunjung. Ruby sudah selesai menyanyikan 5 lagu yang dia buat menjadi panjang mendayu seperti biasa.
Itu harus menjadi sebuah kepiawaian seorang penyanyi jika ingin mengulur waktu atau saat dia mulai kelelahan.
Obrolan sedikit dengan pengunjung dilakukan agar dia bisa istirahatkan pita suara sejenak seraya mengakrabkan diri dengan penonton. Toh musisi pengiring juga senang kalau sesi mengobrol tiba. Mereka bisa rehat sebentar sebelum melanjutkan tugas mereka.
"Oke, kita lanjut, yah!" Ruby mulai posisi bernyanyi. Tangan meraih mic. "Lagu ini untuk kalian yang sangat fokus dalam memandang hidup. Atau... memandang saya? Hihi..." Dia memang paling cerdas mengaduk emosi penonton.
Terbukti dengan beberapa erangan dan celetukan jahil dari beberapa sudut. Tentu saja suara itu didominasi suara pria.
Sampai saat ini belum pernah ada wanita yang mengejar Ruby. Kalaupun mereka menonton pertunjukan Ruby, hanya ada beberapa opsi. Pertama, diajak teman lelaki atau pasangan mereka. Kedua, sedang suntuk dan butuh hiburan. Ketiga, dia penikmat musik sejati yang suka berkelana dari satu kafe ke kafe lain yang memiliki live music band.
Sudut mata Ruby terarah ke pria misterius yang lagi-lagi duduk di dekat panggung. Masih juga sendiri saja ditemani bir dan camilan seadanya.
Pria itu amat sangat tampan, sungguh mirip dengan rupawan seorang artis terkenal atau seorang idol yang digilai para gadis.
Si tampan itu selalu saja duduk tenang di mejanya tanpa pernah berkata atau menyuarakan sesuatu seperti layaknya pengunjung lelaki lain yang terkadang kehilangan ketenangan mereka jika dipancing oleh geliat tubuh Ruby atau sekedar kerlingan matanya saja.
Lelaki ini terlalu elit. Atau sebenarnya dia frigid? Atau lebih parah lagi... dia sebenarnya tuli?
Tak lama, lagu My All yang penuh dayu dan syahdu milik Mariah Carey pun mengalun indah meski dibawakan secara santai. Setelah itu berlanjut ke sebuah tembang Cina klasik yang merayu manja dengan pembawaan Ruby.
Mendekati tengah malam, Ruby kembali menggelar sesi bincang-bincang dengan penonton. Ia biasanya tak menanggapi pertanyaan jahil seperti hal-hal berbau privasi. Ia lebih meladeni obrolan umum mengenai apa yang sedang tren atau sedang dibicarakan orang banyak.
Selesai sesi mengobrol, ia melanjutkan menyanyi. Tembang lawas milik ABBA dia nyanyikan dengan apik tanpa cacat.
Ruby pantas menjadi penyanyi ternama. Namun dia sadar, dia sudah tidak secemerlang penyanyi kini yang muda belia. Umur Ruby sudah menapak 35 tahun meski tidak terlalu kentara.
Tentu takkan ada yang mempercayainya jika dia mengungkap umur sebenarnya dia. Itu karena dia pandai merawat penampilan dan selalu menjaga apa yang dia makan secara teratur.
Sebagai penyanyi yang hanya menggantungkan kehidupan dari mengolah vokal, Ruby secara alami tidak menyentuh rokok ataupun minuman alkohol. Dia hanya meneguk sedikit minuman keras bila di momen-momen yang paling spesial saja.
Itu menjadikan dedikasinya pada dunia tarik suara makin membuat dia diakui meski hanya ditaraf kafe.
Apakah tidak ada perusahaan rekaman yang tertarik untuk mengabadikan suara Ruby dalam sebuah pita rekaman? Sudah banyak. Namun, setelah Ruby menimbang segala sesuatunya, dia merasa kurang cocok dengan dunia rekaman.
Bagaimana dengan fenomena artis di sebuah platform ternama seperti Y**t**? Ruby pernah menjajal juga kehidupan sebagai Y**t**er dan ia lumayan menikmati.
Penghasilan dia dari platform tersebut juga sangat menunjang kehidupannya selain hasil dari kafe. Ia banyak mengunggah suaranya dibantu oleh pihak kafe, menyanyikan cover lagu-lagu terkenal. Dan banyak juga hal-hal remeh sehari-hari yang dia unggah ke sana.
Meski tidak memaparkan kehidupan pribadi dia secara terang-benderang pada platform terkenal itu, Ruby masih bisa meraup banyak subscriber dan views. Ia hanya mengunggah acara jalan-jalan dia, atau ketika dia sedang makan di sebuah tempat sambil memberikan review atas makanan tersebut.
Hanya hal-hal ringan tanpa perlu menguak kehidupan pribadi dia di rumahnya.
Mendekati jam 2, kafe mulai sepi. Pengunjung secara teratur keluar dari kafe begitu Ruby menuntaskan lagu terakhir di jam 1 lewat 27 menit.
"Wah, gerimis!" ujar salah satu kru kafe.
Ruby menoleh ke pintu keluar kafe. Tak sampai 3 menit, hujan turun. "Aku harus lekas pulang sebelum hujan makin deras. Yok, bye!" Ia berpamitan ke semua kru dan pegawai kafe. Ia termasuk penyanyi yang ramah pada semua kru kafe.
Melewati pria tampan nan misterius yang masih tenang di mejanya, dia hanya berikan seulas senyum kecil. Sekedar basa-basi keramahan.
Bagaimanapun juga pria itu sudah datang, membayar makan dan minum hanya demi bisa menonton Ruby. Apa salahnya gadis di usia pertengahan tiga puluh itu memulas sebuah senyum kecil untuk pemuda tersebut?
Begitu Ruby masuk ke mobil, hujan turun bagai dituang dari langit.
"Aduduh, derasnya." Ruby menghela napas, kemudian ia jalankan mobil. Ia ingin cepat sampai di rumah. Terbayang secangkir coklat hangat pasti nikmat diseruput saat hujan dingin begini.
Sialnya, belum sampai ke gedung apartemen, mobilnya mendadak terasa aneh. Ruby mengerang. Ban kanan belakang mobil kempes. Ini adalah hal paling menjengkelkan sekaligus menyusahkan!
"Oh please, jangan sekarang!" serunya kesal. Ia mengambil ponsel untuk menghubungi bengkel langganannya. Tak ada jawaban. Wajar saja karena ini sudah terlalu larut.
Kesal, Ruby memukul setir. Dua tangan meremas rambut. Terbayang dia harus susah payah mengganti ban di malam hujan deras begini. Taksi pun tak ada. Benar-benar apes!
Ia pun menyerah, keluar dari mobil, seketika bajunya basah kuyup meski belum ada 5 menit diguyur hujan.
Baru saja dia akan mengeluarkan peralatan dari bagasi, tiba-tiba ada lampu mobil lain menyorot mendekat. Ia terpaksa picingkan mata dan lindungi mata agar bisa melihat siapa gerangan.
Seorang pria lekas keluar dari mobil, setengah berlari ke arahnya. "Mogok?"
Ruby terkejut ketika melihat siapa gerangan pria tersebut.