Chapter 18 - Daftar Investigasi

Di malam hari, Anne duduk berpikir di meja kerjanya di kamarnya yang begitu luas.

Ia memakai gaun tidur putih dengan kain berkualitas terbaik. Rambutnya tergerai indah layaknya terbuat dari sutra yang berkilau. Wajahnya terlihat kesal dengan ekspresi menggemaskan, pipi digembungkan menatap isi tulisan perkamen di atas meja.

Hal-hal yang harus diselidiki:

1. Profil keluarga Anne

2. Kerajaan Devereux (kerajaan tempat keluarga Barnett berkuasa)

3. Keadaan ibukota dan rakyatnya

4. Kekaisaran Leclair dan para penghuninya

5. Para bangsawan kenalan Anne

6. Kehidupan pribadi Anne sendiri

Daftar pendek itu membuat isi kepala Anne seolah ingin meledak.

Ia tak tahu harus memulai darimana.

Sepanjang hari ini, Runa meninggalkannya sendirian di mansion. Tanpa gadis pelayan itu, ia merasa terasing dan aneh. Puncak halus pena bulunya dimainkan di bagian bawah hidungnya, membuatnya merasa tergelitik hingga membuatnya bersin.

"Kemana, sih, Runa?" gumamnya seraya mengusap-ngusap telunjuknya di bagian bawah hidungnya, mata menyipit tak senang.

Perkamen itu diraih dengan perasaan malas, ia menyandarkan punggung sembari menatap isinya.

"Keluarga Anne, ya? Kapan, ya, kakak Anne pulang? Eh? Maksudku, Kak Theo!" kedua bahunya naik, seolah sedang tertangkap sedang mengutil di toko. "Seperti apa kepribadiannya?"

Sesaat, Anne termenung memikirkan sosok Theodorus Barnett dalam pigura. Sosok yang begitu membuat hatinya luluh seperti es krim di musim panas. Ia menggeleng cepat, menghapus pikiran gila itu.

"Kakak! Theodorus adalah kakakku! Kakak! Kakak! Dasar otak mesum!" tangannya memukul-mukul pelan dahinya dengan mata dipejamkan begitu kuat.

Hembusan napasnya panjang, lalu ia beranjak dari kursinya, memasukkan perkamen itu di bagian laci bawah terdalam.

Kakinya melangkah cepat menuju tempat tidurn yang luas. Tubuhnya dihempaskan seketika. Pandangannya menatap langit-langit indah dan menawan di atas sana.

"Sebulan di sini membuat otakku tak bisa berpikir seperti dulu," keluhnya dengan helaan napas berat, "mungkin di ibukota nanti aku bisa mendapat bahan-bahan untuk memulai investigasi dunia aneh ini. Umur Anne yang asli berapa, ya? Kenapa aku tak pernah menanyakannya? Apa dia punya kekasih? atau orang yang disukai?"

Anne yang berjiwa wanita ahli psikolog kriminal itu bangkit dengan penuh semangat. Ia mondar-mandir di dalam kamar yang sangat luas itu, memeriksa setiap sudut kamar sebelum berakhir menggeledah isi lemari dan laci.

"Ahhhh~~~ Aku malas melakukan investigasi sendirian! Dulu, sih, enak, ada rekan yang pintar mencari bukti. Sekarang? Haaah..." perempuan itu duduk di lantai dengan isi laci berantakan di sekitarnya.

Waktu sudah hampir tengah malam, tapi perempuan modern itu sama sekali tak menemukan hal istimewa mengenai putri bangsawan yang tubuhnya dipakai saat ini.

"Apa Anne tidak punya buku harian? Dia, kan, perempuan bangsawan? Masa cinta terlarang saja juga tidak ada?" ia bertopang dagu dengan siku bertumpu pada telapak tangan kirinya, berpikir.

Sebuah pikiran liar dan menggelitik rasa penasaran membuat jantungnya berdebar.

"Eh? Masa Anne jatuh cinta pada kakaknya sendiri? Itu, kan, hal tabu!"

Anne terbahak keras sendirian di ruangan luas itu, untungnya dua penjaga di depan pintu tak mendengar apa-apa dari dalam, malah salah satu penjaganya tertidur dengan posisi berdiri disertai kepala bertumpu pada tombak yang dipegangnya.

Puas terbahak, ia berdiri dan menyapu sudut-sudut matanya menggunakan kedua telunjuknya. Air mata ketawanya sungguh banyak keluar.

"Tidak aneh jika kemungkinan besar Anne yang asli benar-benar menyukai kakaknya sendiri. Dia memang sangat tampan dan luar biasa. Kenapa aku terbangun di tubuh Anne? Kenapa bukan di tubuh salah satu pelayan keluarga ini saja? Huhuhu...."

Anne ngenes memikirkan nasibnya.

Namun, jika ia terbangun di tubuh salah seorang pelayan, apakah ia punya peluang menjalin kasih dengan lelaki tampan itu? Mungkin malah bakal berakhir dipenggal seperti ucapan Runa yang selalu ditakutinya itu.

Kemudian, pikiran aneh kembali menyerangnya.

"Tunggu! Apa jangan-jangan Anne malah menyukai Runa?" tubuh perempuan itu membeku, keringat dingin menuruni pelipisnya, tawa aneh menghiasi wajahnya, "Ahahaha... tidak mungkin.

Mereka, kan, sudah saling berikrar sebagai saudari?"

Bulu kuduknya merinding seketika mengingat kesetian Runa sejauh ini.

"Kurasa loyalitas seorang pelayan di zaman seperti ini adalah sebuah hal yang wajar. Tak ada yang aneh dengan itu."

Ujung kakinya menggeser beberapa buku dan perkamen di lantai, meregangkan tubuh sejenak dan sekali lagi menghempaskan diri ke kasur.

"Hah.... aku tidak tahu kalau melakukan investigasi sendirian ternyata begitu melelahkan dan memusingkan. Rasanya aku mau berendam air hangat dan garam mandi ditambah bunga mawar... tempat ini kekurangan garam mandi. Sikat gigi di sini pun tidak begitu bagus. Dasar jaman kuno!" keluhnya dengan posisi tertelungkup di antara bantal-bantal empuk dan wangi.

Perlahan, kedua kelopak matanya terasa berat, ia pun menuju alam mimpi.

***

Pagi-pagi sekali, Runa menghampiri Anne yang tengah meminum tehnya sendirian di beranda ruangan melukis.

"Runa! Kau sudah kembali?"

Anne memberikan isyarat pada para penjaga pintu untuk menjauh dari ruangan, mereka pun mematuhi perintah itu dan pergi tanpa membantah.

"Nona Anne!" pelayan bertubuh kecil itu muncul dengan wajah sumringah.

"Bagaimana?" Anne berbisik saat mengatakan hal ini, matanya melirik was-was ke arah pintu.

"Beres, nona! Saya sudah menyiapkan segala keperluannya!" ia mengacungkan jempolnya diam-diam di balik apron seragam pelayannya, sebelah mata mengedip nakal.

Anne tersenyum kaku. Dalam hati ia merasa risih dengan pikiran anehnya semalam.

Apa ini adalah pola pikir Anne yang memang aneh dan unik atau ia yang mulai serba curiga dan paranoid di dunia asing itu? Ia tak tahu pasti.

"Nona, sini saya bisikkan rencana kita!" Runa mendekat dengan satu tangan menutupi sudut mulutnya.

"Y-ya?"

Gara-gara pikiran anehnya, kini ia merasa cangguh berdekatan dengan Runa. Segera ia menyingkirkan hal itu dari kepalanya, dan mulai fokus mendengarkan bisikan sang pelayan.

Kedua bola matanya melebar mendengar rencana brilian itu, kepalanya dianggukkan berkali-kali dengan wajah serius mencoba memahami.

"Apa nona Anne suka dengan rencana itu?" Runa memperbaiki posisinya, tersenyum kecil

Senyum lebar Anne mengembang di wajahnya.

"Tentu saja! Aku jadi sangat bersemangat, Runa! Terima kasih!" Anne menggenggam kedua tangan sang pelayan kuat-kuat, dan secepat kilat melepasnya dengan ekspresi memucat. Senyum nyengir kudanya terpampang jelas.

Ini membuat Runa memiringkan kepalanya, heran.

Haduh! Aku lupa! Status hubungan Anne dan Runa belum kupastikan 100% seperti apa! pekik Anne dalam hati.

"Nona Anne?"

"Ah? Ahahaha! Aku, aku, itu... hmmm... bagaimana dengan jalan-jalanmu kemarin? Apa kau tak membawa sesuatu dari ibukota?"

Ia segera mengalihkan perhatian Runa, dan berhasil.

Pelayan polos itu dipersilahkan duduk, tapi sebelum memulai ceritanya yang seru penuh semangat, air liur Runa nyaris menetes saat melirik hidangan camilan pagi itu.