Chereads / Perjodohan Monarki: Menjadi Istri dari Kaisar Berhati Dingin / Chapter 14 - Titisan Iblis dari Neraka Terdalam

Chapter 14 - Titisan Iblis dari Neraka Terdalam

Derap langkah cepat beberapa kuda memenuhi keheningan malam di hutan belantara tak jauh dari perbatasan wilayah kekaisaran Leclair.

Sinar redup rembulan yang bersembunyi di balik awan membuat pemandangan di bawahnya menjadi temaram dan menakutkan.

Seorang pria yang terluka di bahu kanannya menunggangi kuda dengan wajah pucat di balik tudung hijau gelapnya. Giginya digertakkan kuat-kuat menahan rasa sakit berdenyut akibat sabetan pedang yang mengenainya beberapa saat lalu.

"HIYAAA!! LEBIH CEPAT, FERGUSO!" teriaknya pada sang kuda yang diberi nama Ferguso, tangannya menarik tali kekang begitu kuat hingga Ferguso sang kuda meringkik kaget mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, sang penunggang hampir saja jatuh ke tanah, beruntung dia segera memeluk kuda itu dan menenangkannya.

Ferguso dibelokkan ke kiri, mencoba rute yang lebih panjang dan sepi.

Keringat menuruni punggung dan wajah lelaki bertudung itu, pekikan dan lecutan beberapa kuda di belakangnya membuat tengkuknya berdiri, hatinya bergetar oleh kegelisahan mencapai batas.

"Ayo, Ferguso! Jangan sampai kita tertangkap!"

Sebelum lelaki itu menarik tali kekangnya, sebuah anak panah melesat melewatinya, tertancap tepat di batang pohon di depannya.

Jantungnya seakan berhenti sejenak, hawa dingin membungkus tubuhnya.

Ferguso yang kaget dengan panah yang muncul tiba-tiba,menghentikan larinya, mundur dengan gerakan gelisah, sang penunggang mati-matian menenangkannya kali ini.

Jaraknya semakin tipis! Ayo! Ferguso! Jangan mempersulitku! batinnya gelisah.

"Berhenti atas nama Kekaisaran Leclair!" teriak sebuah suara runcing dan tajam di belakangnya, derap langkah kuda-kuda yang berisik mengiringi teriakan itu.

"Hiyaaa! Kerahkan semua kekuatanmu, Ferguso! Kalau tidak kamu bisa ikut mati bersamaku!"

Sang lelaki bertudung kembali memacu kudanya ke kedalaman hutan yang semakin sulit untuk dilewati karena minim pencahayaan dan semak belukar yang tumbuh subur.

Ferguso yang bisa mencium ketakutan sang tuan berlari dengan gelisah hingga pijakannya goyah dan membuat mereka berdua jatuh ke tanah yang keras.

Tubuh sang penunggang terlempar cukup keras dan menabrak batang pohon, dia meringis kesakitan dengan mulut bersimbah darah. Sepertinya tubrukan itu membuat bukan hanya pendarahan dalam, tapi beberapa tulang rusuknya patah.

Ferguso yang bangkit dengan panik dan stres, meringkik beberapa kali dengan kaki dihentak-hentakkan ke tanah kemudian berlari meninggalkan tuannya yang terbaring tak berdaya di kaki pohon.

Derap berat kuda-kuda yang mengejar tadi berhenti di depan tubuh lemah itu.

Para penunggang berseragam putih di atas kuda-kuda perkasa itu turun dengan pedang dicabut dari sarungnya. Beberapa mata pedang mereka berkilau menakutkan di bawah cahaya bulan.

"Katakan, siapa pemimpinmu!" teriak salah satu dari penunggang itu di kegelapan malam.

Lelaki bertudung itu menutup mulutnya dengan tubuh gemetar, punggungnya basah oleh keringat.

"Sepertinya dia tidak akan buka mulut meski kita menyiksanya. Bagaimana ini, Pangeran Arden?"

Salah satu penunggang berambut kuning keemasan memalingkan wajahnya menghadap sesosok lelaki tinggi dan tampan yang wajahnya dihujani oleh sinar bulan dari celah-celah lebar ranting pohon, sebagian tubuhnya ditutupi oleh kegelapan malam.

Sosok yang dipanggil Pangeran Arden ini memiliki fitur wajah yang sangat menarik. Rambut pendek modisnya berwarna keperakan dengan warna mata yang senada. Tatapan matanya dingin sedingin es kutub utara yang memberikan nilai tambah pada pesona yang dimilikinya.

Perpaduan antara ketampanan dan ekspresi dingin di wajah lelaki berambut perak ini menunjukkan tak ada aura belas kasih sedikitpun dari pembawaannya, walau terlihat tenang dan kalem. Bibir tipisnya yang indah melekat rapat tanpa ada secuil keramahan di sana.

Cara berjalannya penuh percaya diri dengan membawa ketakutan yang nyata bagi siapa pun di setiap langkahnya. Pedang berkilau yang tergenggam di tangan kanannya seakan berteriak nyaring meminta darah untuk ditumpahkan, padahal seragam bernoda merah sang pemilik pedang sudah memberikan pertanda bahwa sebelumnya telah menebas daging dan darah.

Lelaki bertudung hijau yang melirik ujung sepatu Pangeran Arden yang semakin mendekat padanya, cepat-cepat menutupi wajahnya dengan cara disembunyikan di balik tudung, kepala dibalikkan menghindari kedatangan si pemilik sepatu.

"Siapa pemimpinmu?" suara pangeran Arden dingin dan tipis, ujung pedang diarahkan pada sosok lemah di bawahnya. Kedua bola matanya memancarkan kilau dingin berbahaya, sedingin nada bicaranya.

"Cepat jawab pertanyaan, Yang Mulia!" hardik si rambut kuning keemasan tadi.

"Kekaisaran kalian akan hancur! Terlebih lagi dengan calon penerus terkutuk seperti dia!" lelaki itu bangkit dengan menahan rasa sakit dan ngilu di sekujur tubuhnya, berusaha merangkak menjauh dengan kedua tangan gemetar menapak di tanah yang dingin dan keras.

Pangeran Arden yang melihat ini tak melakukan gerakan apa pun, matanya yang dingin berubah kelam dan dalam pada sosok menyedihkan itu.

"Berani sekali kau berkata buruk di hadapan, Yang Mulia!" si rambut kuning keemasan tadi hendak maju dengan pedang diangkat tinggi-tinggi di udara, namun pangeran Arden mencegatnya dengan gerakan tangan yang anggun.

"Yang mulia? Akan kita apakan dia?" tanya penunggang kuda berambut hijau.

"Jika tak ada gunanya, sebaiknya dilenyapkan saja. Buat apa menyimpan sampah? Hanya akan membuat lingkungan menjadi kotor dan tidak sehat."

Arden mengangkat dagunya dengan cara yang angkuh, matanya berkilat dingin. Kakinya melangkah pelan menuju lelaki bertudung yang kini berusaha melarikan diri dengan usaha yang menyedihkan, semakin dekat kaki Arden padanya, jantung lelaki bertudung itu berdetak keras sampai memenuhi gendang telinganya dan darahnya berdesir hebat oleh ketakutan yang mencekam.

Tamat sudah riwayatku! batin sang lelaki bertudung hijau.

"Pengkhianat dan pemberontak tak diizinkan masuk ke wilayah Kekaisaran Leclair, meski hanya sejengkal," pedang sang pangeran di angkat tinggi-tinggi dengan ujung mengarah ke bawah, ia tak langsung menancapkan pedangnya di tubuh tak berdaya itu, senyum tipis mengembang di wajahnya yang menawan.

"Kau hanya akan membawa malapetaka kemana pun kakimu berpijak! Itu adalah takdirmu! Kau pikir aku tidak tahu siapa dirimu, hah? Secerdik apa pun kau dan pihak kekaisaran menyembunyikan rahasia gelapmu dengan dalih memerangi pemberontakan dan pengkhianat, aku tahu kalau kau adalah titisan Iblis Merah dari neraka terdalam!" lelaki itu mengucapkan kalimat terakhirnya dengan nada menghina dan mengejek yang hanya diperdengarkan pada sang pangeran, senyum yang terukir di bibirnya sungguh terlihat sombong dan jijik.

Kedua bola mata pangeran Arden membesar mendengar hal itu, rambut keperakannya bergerak anggun oleh sapuan angin malam yang berhembus pelan. Tiba-tiba saja pedangnya diturunkan kemudian berbalik menjauhi lelaki tadi.

"Yang Mulia?" lelaki berambut kuning keemasan keheranan.

"Ada apa, Pangeran Arden? Apa Anda berubah pikiran?" tanya si rambut hijau dengan lirikan pelan ke arah lelaki tersebut.

Para penunggang lainnya tak berani menginterupsi, sebagai gantinya mereka mundur memberi jalan padanya yang berjalan kembali menuju kudanya.

Belum sampai setengah jalan, suara tawa terdengar di belakang pangeran Arden.

"Mau bagaimanapun kau berbuat baik, iblis tetaplah iblis! Jangan membuatku tertawa dengan ampunanmu ini!"

Kaki sang pangeran berhenti, pedang yang semula diamankan kini dicabut kembali dari sarungnya.

Matanya lebih dingin dari sebelumnya, berkilau mematikan dan membuat bulu kuduk penunggang lain berdiri.

"Jaga mulutmu! Berani sekali kau berkata demikian para Putra Mahkota Kekaisaran Leclair!" hardik si rambut kuning keemasan.

"Rollin, diam! Ini urusanku," ucap pangeran Arden dengan pembawaan tenang.

Lelaki berambut kuning keemasan yang bernama Rollin itu membeku di tempatnya, mukanya pucat pasi dengan lirikan tajam dan dingin yang diberikan sang pangeran padanya.

Tubuh sang pangeran dibalikkan menghadap sang lelaki bertudung.

"Berubah pikiran secepat menggerakkan tanganmu mencabut nyawa orang lain! Benar-benar mengerikan!" tawa lelaki itu terlihat kacau, bola matanya bergetar melihat sosok Arden yang kini kembali berdiri di hadapannya dan menendangnya hingga terlentang di tanah.

"Kau tahu kenapa aku membunuh banyak orang selama ini? Karena mereka tahu terlalu banyak hal yang seharusnya mereka tak ketahui, juga tidak tahu bersyukur dengan hidup yang dimilikinya. Lebih memilih ikut campur dalam kekacauan tanpa ujung daripada hidup tenang menyambut hari tua yang damai."

Pangeran Arden memiringkan kepalanya dengan senyum dinginnya, menatap rendah pada wajah lelaki bertudung yang berada di bawah pijakan kuat kaki kanannya.

"IBLIS TERKUTUK!" umpat sang pria bertudung dengan dada menggelora hebat yang dipenuhi oleh amarah dan ketidakrelaan.

Itu adalah kalimat terakhir lelaki bertudung hijau setelah pedang sang pangeran dengan gerakan cepat menebas bagian depan tubuhnya, erangan kesakitan terdengar dari bibir gemetar lelaki itu.

Ujung pedangnya lalu ditancapkan pada dada lelaki itu, membuatnya melotot dengan darah keluar dari mulutnya. Tatapan marah lelaki bertudung itu ditanggapi dingin oleh Pangeran Arden, dan setelah menekan ujung pedangnya di tubuh, ditariknya hingga beberapa bercak darah kecil mengenai wajahnya.

Belum cukup dengan luka yang diberikan, pedang itu kembali meluncur di tubuh lelaki bertudung itu, kali ini pada posisi jantung manusia berada.

"Ah... dan aku juga benci orang yang cerewet..." ungkap pangeran Arden dengan nada dingin, kedua bola matanya berbinar temaram.

***