Chereads / Malaikat Gelapku / Chapter 8 - Bab 8 Hanya Dia

Chapter 8 - Bab 8 Hanya Dia

Keesokan paginya semuanya bangun pagi. Tetap saja Xaxa yang paling awal. Ia tidak bisa lepas dari rutinitasnya bangun jam 4 pagi. Villa ini tidak selengkap kediaman utama keluarga Sanjaya, tapi cukup memadai untuk berlatih. Kali ini setelah 1 jam bersenang-senang sendiri, ia memancing Jack dan Vio. Seperti biasa 1 lawan 2, terlihat tidak adil secara sekilas. Vio menyerang tubuh bagian atas dan Jack menyerang tubuh bagian bawah. Sesekali waktu berganti posisi. Dengan ruang yang cukup luas, Xaxa tetap tidak tersentuh. Ia seperti tau dan bisa membaca gerakan lawannya. Prediksinya selalu tepat, ia selalu bisa menghindari semua serangan Jack dan Vio. Kolaborasi dari Vio dan Jack benar-benar seperti ada ikatan batin antara keduanya. Mereka bekerjasama dengan sangat baik, bahkan bisa dibilang pasangan yang sempurna. Walaupun demikian, mereka tetap tidak bisa mengimbangi kemampuan Xaxa. Cara Xaxa menghadapi keduanya seperti orang yang sedang bermain-main.

"Kalian mau main-main sampai kapan?" tanya Xaxa datar. Mereka berdua semakin gencar melakukan serangan dari berbagai sisi.

Papa dan mamanya sementara masih menjadi pengamat, melihat Vio dan Jack yang sudah kewalahan, Papa pun berkata,

"Mundur." kali ini Papanya maju dan memberikan serangan-serangan yang sangat berenergi. Gerakan Papa lebih lembut, tapi lebih mematikan. Menyusul kemudian, Mama menyerang dari dalam. Serangan dari luar berpusat pada Papa. Bukan lagi taekwondo, pencak silat, karate, ini adalah gabungan dari banyak olahraga, bahkan dari tinju bebas pun ada. Gerakan Papa dan Mama lebih halus dan bertenaga. Berpusat pada energi dalam tubuh. Ya, mungkin semacam taichi. Gerakan ini lembut dan bertenaga. Selain membantu menjaga kebugaran tubuh, juga bisa digunakan untuk mempertahankan diri.

Serangan demi serangan ditangkis oleh Xaxa, bukannya terlihat lelah, tapi malah terlihat lebih bersemangat. Walaupun Mama dan Papa dari segi usia lebih tua, tetapi jelas terlihat bahwa Vio dan Jack masih jauh dari kemampuan mereka. Tentunya dalam hal kekuatan, tapi dalam hal kecepatan, Mama dan Papa kalah jauh. Maklum usia cukup mempengaruhi. Sesaat pikiran Xaxa teralihkan, namun sangat cepat ia kembali ke permainan. Mungkin saat ini yang bisa menandinginya hanya dia. Tapi, Xaxa tidak pernah mengungkit tentang dia lagi. Karena dia juga seperti hilang ditelan bumi, jejaknya tidak bisa ditemukan. Xaxa pun tidak pernah mencarinya, sejauh yang diketahui keluarga besarnya. Waktu pun berlalu, tidak terasa sudah pukul 6.30 pagi.

Seorang pengurus rumah masuk dan mengatakan, "Tuan dan Nyonya sarapan sudah siap." tanpa instruksi dari siapa pun Xaxa menghentikan apa yang dia lakukan. Dan mengucapkan, "Terimakasih atas pengajarannya" sambil membungkuk ia memberi salam kepada orangtuanya.

Mama dan Papa pun menghentikan serangannya. Saat ini Papa nampak sedang memikirkan sesuatu. Begitu juga dengan Mama, Vio dan Jack. Dari wajah mereka terlihat biasa, hanya terlihat raut kelelahan dari olahraga yang baru saja mereka lakukan. Tetapi, Xaxa bisa melihat jauh dalam mata mereka. Maka Xaxa pun berkata.

"Mulai besok latihan setiap hari, sampai ada yang bisa mengalahkanku." katanya berlalu dan menuju ke kamarnya.

"Kita disini cuma hari ini, nanti sore kita pulang." kata Jack datar.

"Otakmu kamu tinggal di rumah?" jawab Xaxa dingin. yang disambut dengan tawa Mama dan Papa, dan kebingungan Vio dan Jack.

"Maksud kakak kalian ini, dia bersedia melatih kalian setiap hari dimana pun. Mau itu disini, dirumah, di studio, di mana pun. Tapi waktunya tetap. Yang begitu saja kalian perlu penjelasan. Hahaha" jelas Papanya.

...

Beberapa waktu kemudian.

"Ayo Mah... Pah... Kak... Cepetan. Aku mau ke Grojogan Sewu." kata Vio ga sabar sambil menggandeng tangan Jack yang bersandar di mobilnya.

"Anak ini bener-bener... " jawab Mama sambil geleng-geleng kepala.

Grojogan Sewu tidak jauh dari villa keluarga mereka, jadi hanya butuh waktu sekitar 15 menit berkendara dengan mobil. Dan mereka pun menghabiskan waktu bersama yang berkualitas, bersenang-senang, menikmati suasana alam yang begitu menyenangkan. Waktu berjalan dan terus berjalan hingga waktu tiba tengah hari. Selesai bersenang-senang mereka pun beristirahat di sebuah warung. Mereka membeli beberapa jajanan, Snack untuk sekedar mengganjal perut.

"Ayo pulang, siang ini aku yang masak." kata Xaxa. Dan tidak perlu waktu lama bagi semuanya untuk mengikuti Xaxa pulang.

Tidak ada seorang pun yang mampu menolak masakan olahan Xaxa. Sesederhana apapun itu rasanya pasti lain dari yang lain.

Sesampainya di rumah, Vio mengekor di belakang Xaxa. Xaxa hanya menatap Vio dengan tajam, tapi Vio tau dan paham dengan tatapan kakaknya.

"Aku ga akan gangguin koq, cuma pengen video in aja. Beneran dech, ga bakalan sentuh apapun." kata Vio meyakinkan kakaknya.

Xaxa tidak mengatakan apapun, lalu memakai celemek dan membuka kulkas. Mulai mempersiapkan semua alat dan bahan. Mencuci, mengupas, memotong, semuanya dia kerjakan sendiri. hanya dalam waktu setengah jam semua masakan sayur, lauk, dan irisan buah-buahan selesai disiapkan.

Selesai mempersiapkan semua menu, ia pun memberi kode kepada Vio untuk memanggil semuanya makan siang bersama.

Merekapun makan dengan gembira. Selesai makan siang mereka bersantai di luar rumah.

Bersantai di gazebo. Mama mengupas buah dan memotongnya kecil-kecil. Papa mengambil gitar dan memainkan sebuah lagu kenangan, lagu nostalgia yang membuat wajah Mama merona. Vio menyandarkan kepalanya di dada Jack dan menikmati iringan musik Papa. Dengan suara merdunya menyanyikan lagu nostalgia. Xaxa melihat kebersamaan keluarga ini. Dalam hatinya, andai dia ada disini sekarang. Dengan raut muka yang datar dan tanpa mengucapkan sepatah katapun, Xaxa bersandar pada sudut gazebo, meluruskan kakinya, meletakkannya kaki kanan di atas kaki kirinya, menyilangkan kedua tangannya di depan dada dan menutup matanya. Hanya wajahnya yang melintas, dia... hanya dia... Kenangan lama itu muncul kembali. Hanya dia dan bukan yang lain.

Mama mulai menyuapi Papa, dari sudut matanya Mama melirik Xaxa. Ia tau, Xaxa tidak tidur.

"Xaxa mau?" tanya Mamanya. Xaxa hanya membuka mulutnya dan ia pun mengunyah potongan buah itu tanpa membuka mata.

Keluarga yang lain merasa ada yang aneh dengan Xaxa, tapi mereka enggan untuk bertanya. Tapi akhirnya, Mama mulai membuka suara setelah Papa berhenti memainkan gitarnya.

"Xa, apakah ada yang sedang kamu pikirkan?"

"Hmmm" jawabnya tanpa membuka mata.

"Sayang, yang kamu pikirkan ini masa lalu atau masa depan?" mamanya mencoba untuk membuat Xaxa mengungkapkan perasaannya.

"Keduanya." jawabnya singkat. Kemudian dia membuka mata, kali ini terlihat jelas di mata mereka semua. Dan mereka pun tidak melanjutkan perbincangan itu lagi.

"Aku masuk dulu." kata Xaxa, dari nada suaranya tidak ada yang aneh, datar seperti biasa. Ia pun menuju ke kamarnya, membuka kunci ponselnya dan melihat dalam album foto pribadinya. Di situ ada sebuah foto yang didalamnya terdapat sebuah gambar sepasang pemuda pemudi memakai seragam sekolah menengah atas yang dipenuhi dengan coretan. Sebuah foto kelulusan, dirinya dan dia. Seorang pemuda yang cerdas, dari sekolah yang berbeda. Sama-sama dari sekolah unggulan. Juara beladiri, unggulan dari sekolahnya. Dan dia sendiri, andalan dari sekolahnya. Hubungan yang berawal dari sebuah pertandingan antar sekolah, yang akhirnya berujung pada posisi seri. Mereka pun bersahabat, mulai berlatih bersama. Semakin sering, dari belajar bersama hingga berlatih bersama. Perasaan mereka pun tumbuh. Mereka menjalin hubungan dan saling berjanji untuk menjaga perasaan masing-masing. Hingga suatu ketika, ayahnya ditunjuk perusahaan untuk memimpin cabang perusahaan di salah satu negara di Eropa, dan ia bersama kedua orang tuanya pindah kesana. Sejak saat itu hubungan mereka hanya lewat email, sesuai dengan kesepakatan berdua. Dan sekarang sudah hampir 4 tahun berlalu. Ia melihat gambar dalam ponselnya, dan menatapnya dengan penuh kerinduan. Satu tahun lagi. Itu yang ada dalam benaknya, satu tahun lagi. Sampai saat ini, tidak ada seorang pun yang mampu menggantikan posisi dia di hatinya.