Menambahkan, menambahkan, menambahkan, terus membentuk wujudnya.
Menambahkan, menambahkan, terus mencetak bentuknya.
Menambahkan, menambahkan, terus mengisi warnanya.
Menambahkan, menambahkan, menambahkan, dan terus melanjutkan hingga mendekati penyelesaian.
Menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, menambahkan, ko
Menambahkan, menambahkan, menambahkan, sampai kini, selagi menambahkan dirinya, dia masih belum selesai.
"―Hei, tahukah kau namaku?"
Si gadis kecil, Amue Sears, menahan nafasnya setelah bertanya demikian.
Pertanyaan biasa, tanpa ada maksud di baliknya. Semestinya pertanyaan blak-blakan yang tak perlu lama berpikir atau menyiapkan jawabannya. Jika kau tahu, ya tahu. Jika kau tidak tahu, ya tidak tahu. Hanya itu saja.
"―"
Tapi, suara Amue tidak ditujukan pada pertanyaan itu, meskipun ada namanya.
Hidup adalah serangkaian pilihan. Kenyataan yang bahkan Amue pun, yang baru berusia empat belas tahun, tahu betul itu dari pengalaman hidup singkatnya.
Perkara hidup, segala halnya harus diputuskan. Dari hal kecil, hal biasa, atau, mungkin pilihan besar yang berdampak pada hidup kita. Namun, kesampingkan kecil atau besar, hidup seluruhnya adalah pilihan.
Sekarang, sebuah pertanyaan berbobot terbesar yang mengemban hidup empat belas tahunnya ditanyakan kepada Amue Sears. Atau mungkin, pilihan terbesar hidupnya. Pertanyaan membosankan tak berarti banyak itu, tanpa hal spesial di dalamnya, pernah diajukan sebelumnya, hal yang serupa.
"―Hei, tahukah kau namaku?"
Pertanyaan yang diulang-ulang itu mengikat tenggorokan Amue. Namun demikian, seseorang yang bertanya nampaknya tidak ingin merasa begitu. Bahkan berbaik hati untuk mengulangi pertanyaannya, kesediaan semacam itu rasanya tak seimbang.
Kalau itu satu-satunya pertanyaan yang menyiksa Amue, maka itu juga satu-satunya pertanyaan yang paling mencemaskannya. Sesungguhnya, si penanya hanya ingin jawabannya saja. Oleh karena itu Amue mesti mencari solusi yang tepat di antara opsi-opsi yang tersedia, petunjuknya hanyalah apa yang ia renungkan dalam kepalanya.
―Apakah jawaban yang benar itu?
Tahu, atau tidak tahu, mana jawaban yang ia cari? Atau mungkin lebih baik menjawab bahwa ia mengetahuinya, walaupun sebenarnya tahu? Ataukah, jawab saja tidak tahu, walaupun sebenarnya tahu?―hati Amune menjerit atas dua pilihan menyiksa itu.
"―Hei. Tahukah. Kau. Nama. Ku?"
Setiap bagian pertanyaan yang sekali lagi diulang tersisip ketidaksabaran. Meskipun mereka tidak saling memahami, apa yang membuat si penanya girang? Ketakutan yang tersulut di dada Amue. Sejujurnya,
dia bisa saja menjawab Ya atau Tidak, namun takkan mungkin memenuhi harapan si penanya.
Dia tak bisa mengakhirinya tanpa menjawab apa-apa, masih tidak merespon, tidak membuat keputusan. Dia belum merasa lega―Hanya dalam hal itu, tiada keraguan.
" ―"
Suaranya masih tak keluar. Mengembalikan tatapan sepasang mata hitam di hadapannya itu. Amue merenung. Dalam mata hitam tersebut, wajah mengerikan Amune tercermin lesu. Benar-benar tidak ingin dia ungkapkan, tapi pada penampilannya sendiri, dia sadar betul sosoknya, ia telah menjadi bayangan dari pribadi sebelumnya.
Karena benar-benar takut dikuasai si penanya di depannya, dia meringkuk.
Wajah Amue tersentak, kelelahan, seakan-akan dalam sekejap telah menua puluhan tahun. Bila semuanya terus seperti ini, dia bisa-bisa mati oleh pertanyaan yang mendesaknya, serapuh itulah dia―
"―Hei, tahukah kau namaku?"
Tekanan kuat mendadak memberinya kesan kematian, namun di dalam dirinya terbalik, ada harapan besar yang tumbuh. Walaupun Amue mengalami sensasi seolah dicekik sampai dadanya serasa mau runtuh, firasat andai dirinya menjawab saja akan langsung terbebas, telah memberinya harapan. Seketika memikirkannya, dia tersadar perasaan suram yang mendominasi tubuhnya mulai memudar.
Perasaan tercekik datang dari desakan kuat keraguannya mengenai apa yang mesti dia jawab. Karena dia ingin terbebas dari semua ini, dia harus menggigit kerisauannya pada pertanyaan awal. Barangkali semacam naluri pertahanan pribadi, tetapi bagi Amue di saat-saat ini, rasanya bak wahyu ilahi. Karenanya, dengan bibir gemetar, dia sekali lagi menatap mata-mata hitam itu.
"―Hei, tahukah kau namaku?"
Dia akan terbebas dari mati lemah tatkala menjawab pertanyaan itu.
Mengerahkan segenap kekuatannya, Amue akhirnya menggerakkan lidah bergetarnya, kemudian merangkai beberapa huruf.
"T … tidak …."
Sesuai itikad hatinya, Amue menjawab bahwa dia tak tahu. Melepaskan pikirannya dari pilihan-pilihan yang tersedia sampai berhenti sendiri di benaknya.
Dengan sangat jelas menjawab pertanyaannya. Faktanya, dia tak tahu nama ataupun wajah orang yang berdiri di hadapannya.
Perkara dirinya, yang tinggal di tempat perbatasan, sebuah desa terpencil, peristiwa-peristiwa dari Kerajaan, bahkan yang paling penting, semacam rumor dari negeri yang jauh.
Itulah sebabnya, seterkenal apa si penanya, baginya, si penanya adalah orang asing yang tak dia kenal―
"―Begitukah?"
Jawaban singkat. Dia tak tahu apakah emosi mendalam atau kekesalan yang tertuang dalam jawaban itu. Urusan setelahnya adalah persoalan si penanya.
Seandainya hidup adalah serangkaian pilihan dan keputusan, maka hal itu berlaku sama untuk semua orang. Karena Amue telah memilih, si penanya juga harus memilih.
"―"
Seorang gadis kecil berumur empat belas tahun menunggu reaksi lawan bicaranya dalam diam.
―Menunggu jawabannya sendiri di tengah-tengah desa yang tak tersisa seorang pun kecuali dia.