Aku meninggalkan Hansel dengan kekasihnya. Aku yakin, ia cukup pintar untuk menemukan jalan pulang. Aku mengemudi dan melihat petunjuk pada peta digital. Cinta dua orang itu benar-benar tak bisa memilih pada siapa akan berlabuh.
Semoga wanita di café tadi tak berakhir dengan Hansel di kamar tanpa persetujan apapun. kalau pun begitu, itu adalah hak mereka. Mereka sudah cukup dewasa tahu mana yang baik dan mana yang tidak baik.
Peta digital ini mengarahkan agar aku belok ke kanan dan masuk ke jalan tol, tapi kurasa aku memilih jalan lain. Jalanan di sini cukup sepi. Aku ingin tahu, seberapa hebat dan cepat mobil ini. Sebeara hebat ia membuatku larut dan melupakan setiap hal yang tiba-tiba kembali terlintas dikepalaku. Smua kenanagan pahit yang aku alami dan selalau akan membekas di hati.
~PERINGATAN, ANDA MELEBIHI BATAS MAKSIMAL BERKENDARA~
Tak ingin terganggu, aku terus menginjak gas bahkan mematikan suara peta digital. Tidak ada seorang pun di depan. Mengapa harus menurunkan kecepatan? Lagi pula, bukankan akan sangat menyennagkan jika sesuatu yang buruk terjadi padaku. Aku tidak takut mati. Aku lebih takut hidup sebenarnya.
Aku melirik ke pengukur kecepatan. Apa aku bisa mencapai angka itu? Jalanan lurus sangat menggoda dan menggairahkan. Musim yang indah, tak banyak orang berlalau lalang.
Aku menaikkan kecepatanku. Peta digital terus memberitahu bahwa aku melanggar batas maksimum di jalanan. Apa peduliku? Aku hanya ingin lari secepat mungkin. Sampai tiba-tiba.
Tubuhku terbentur. Aku tak bisa bernafas.
Apa yang terjadi? Tunggu? Apa aku menabrak orang tadi?
Perlahan-lahan aku mulai bisa bernafas dan membuka mata. Rupanya tadi air bag, mengembang dan membuatku berada di antara mereka. Peta digital berhenti tak menunjuukan pergerakan, Alarm di dalam mobil berbunyi. Lampu di dalam mobil menyala merah. Apa yang terjadi? Di layar kecepatan tertulis, nol. Padahal aku tadi hampir mencapai kecepatan lebih dari seratus lima puluh.
Setetah air bag kempes sempurna. Aku melepaskan sabuk pengaman. Aku harus keluar dan melihat keadaan. Aku ingat, mobil ini adalah mobil digital yang bisa dikendalikan meski tanpa pengemudi. Kurasa, mobil ini mengambil alih kemudi saat aku panik tadi.
"Kau sudah gila?" kata seorang wanita yang berdiri di depan mobil ini. Ia terlihat bersama beberapa orang. Sama seperti di Indonesia, mereka mengerumuni mobilku dan memintaku untuk memberi penjelasan. Aku lihat satu di antara mereka berbisik, bahwa mereka telah memanggil polisi.
Dari pada memerdulikan mereka, aku lebih tertarik untuk menghampiri orang yang hampir aku tabrak tadi. Banyak orang berkerumun. Aku segera memotong kerumunan dan meminta maaf. Aku berlutut dan menanyakan apakah ia terluka atau bagimana?
"Tuan Budayana?"
Aku kehilangan akal sejenak saat melihatnya. Ia terlihat seperti orang linglung. Ia menatapku dan tak bicara sepatah kata pun. Aku menariknya untuk bangkit dan mencoba membuatanya bicara.
Sia-sia. Apa dia shock dengan apa yang telah aku lakukan? Aku harus berbuat sesuatu. Tak lama, polisi datang dan memintaku untuk ikut mereka. Polisi itu memanggil ambulance. Aku menerangkan apa yang terjadi, dan bersi keras mengantar Tuan Budayana ke rumah sakit.
Di rumah sakit, mereka juga memeriksaku. Kalau-kalau aku terluka atau sesuatu terjadi. Kejutakan lain datang saat Lux tiba. Aku tak tahu siapa yang mengabarinya. Bukankah, harusnya ia tak tahu aku di sini.
"Mobil itu dilengkapi pesan meminta bantuan dahrurat. Kau hampir saja membunuh orang dan melampaui kecepatan batas maksimal. Tentu saja, pesan dahrurat itu langsung terhubung dengan ponselku. Dan aku menelepon polisi. Mereka membawamu. Jadi apa yang kau sembunyikan Vina?"
Belum sempat menjawab seorang dokter menghampiriku. Ia memabawa laporan lap. Lux mengambilnya dan melihat.
"She is totally conscious."
Lux menggeleng. Ia seperti tak habis pikir ada apa denganku. Tak ingin menikmati wajah Lux, aku segera pergi menghampiri dokter yang memerikasa Tuan Yana.
"Secara teknis, pria ini tidak terluka. Tapi sepertinya ia sedang mengalami kondisi kejiwaan. Perlu penanganan lebih lanjut." Kata perawat di samping tempat tidur pria yang tadi hampir saja aku ambil nyawanya.
Aku membungkuk. Ia terlihat seperti kosong. Lebih kosong dariku. Aku menyelidiki wajah pria ini. Pandanganku terganggu, saat aku mendengar suara ponsel. Itu ponsel yang Tuan Budayana miliki. Aku mencoba mengangkat panggilan tersebut setelah menagambil jari Tuan Budayana.
"Apa?"
Aku meminta seseorang dalam panggilan itu mengulang perkataannya.
"Aku turut berduka, atas kematian Kakak ipar. Aku harap, kakak baik-baik saja. Aku tak bisa datang kepemakaman. Maafkan kami."
Lux menghampiri dan merebut ponselku. Ia mulai bicara dengan orang yang ada di sambungan itu.
"Istrinya meninggal dua hari yang lalu." Kata Lux. Ia menutup ponsel dan memberikannya padaku.
"Tapi mengapa?"
Lux menggeleng dan pergi. Seorang polisi memintaku untuk ikut mereka ke kantor polisi. Ia ingin bertanya beberapa hal padaku. Jika tidak ada Lux, mungkin saat ini aku sudah mendekam sementara di penjara.
Tapi, lux memanggil Luke dan memintanya agar tak menahanku. Sebagai jaminan, aku tak boleh meninggalkan kota dan wajib melaporkan diri setiap dua kali dua puluh empat jam.
Saat ini, Luk menduga, Tuan Budayana mencoba bunuh diri. Alasan itu pulalah yang digunakan Luke, sehingga aku dibebaskan bersyarat.
Pulang ke rumah, Lux meminta seseorang menghapus aksesku ke mobil manapun. Jika aku ingin pergi, maka aku harus meminta seorang sopir mengantarku. Ini artinya, Lux semakin tidak membiarkan aku pergi.
Kejadian ini membuatku diam. Semakin diam dan tak bicara pada Lux. Aku tahu aku salah, tapi seperti kata pepatah. Wanita selalu benar.
Di kamar, aku berdiam diri sendiri. Lux, tidak tidur di sini malam ini. Ia lebih memilih tinggal di kamar lain. Ia tak ingin mendekatiku saat ini.
Jam menunjukkan sudah larut sekali, tapi mataku tak bisa terpejam sama sekali. Aku mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Sampai kemudian, Hansel meneleponku.
"Istrinya meninggal dua hari lalu. Ia meninggal karena tertekan di sebuah rumah sakit. Kemarin, langsung dikremasi dan abunya ada di simpan di pemakaman dekat sini. Orang ini kurasa ia sangat depresi. Anaknya meninggal di sleep and see. Sekarang istrinya. Kurasa Luke benar, ia mencoba bunuh diri. Aku baru saja menghubungi pihak rumah sakit. Mereka bilang, pria itu sudah bangun. Ingin menemuinya?"