Chereads / Sleep and See / Chapter 3 - Curhat Pria Di Sampingku

Chapter 3 - Curhat Pria Di Sampingku

"Nona, kita berada di Hongkong. Kita akan transit selama empat jam." Kata seorang pramugari membangunkanku.

Rupanya aku tertidur. Entah sejak kapan. Aku melihat layar di depanku. Acara yang tadi aku tonton sudah selesai. Pria disebelahku, melipat selimutnya. Ia memakai kacamata dan berdiri keluar dari pesawat ini.

Aku pun keluar dan melihat keadaan sekitar. Hongkong, aku selalalu penasaran dengan tempat ini. Ada empat jam, aku bisa melakukan eksplorasi.

"Kami sudah menyiapkan makan malam anda. Ada di meja sebelas. Kata pramugari mengantarku ke meja sebelas. Meja itu kosong hanya aku sendiri. Di sebelah meja itu ada pria yang tadi bicara padaku. Makanan datang, tapi aku seperti tak berselera. Dari sini, aku mendengar pelayan restoran bicara pada pria itu.

"Mr, Chao here is the bill. Please sign here!"

Aku mengambil tasku. Dan melangkah keluar restoran.

"Kau tak makan?" tanya pria disamping mejaku.

"Tidak, aku tak lapar Tuan Chao" kataku.

"Kalau mau jalan-jalan jangan lupa tiket. 4 jam cukup buat keliling sekitar sini. Tasmu terlihat berat, taruh saja di kursiku. Aku tak akan kemana-mana."

Aku tersenyum dan meletakkan tasku.

"Terimakasih, Tuan Chao" kataku.

"Sama-sama. Palinggila aj Om. Tuan itu kayak orang yang gak kenal sama sekali. Hati-hati ya. Jangan lupa pasang alarm"

Pria itu, cukup bawel. Mungkin karena ia adalah seorang ayah yang baru saja kehilangan anaknya. O iya, seharusnya aku menanyakan siapa nama anaknya. Memang aku ini tak sopan dan kurang ramah.

Secara garis besar Hongkong mirip China, bedanya semua orang berbahasa inggris di sini. Jadi lebih mudah. Aku melirik jam. Sudah malam, tapi masih ramai. Aku mencari balkon dan menghirup udara di sini. Panas tak beda dengan Jakarta.

Aku melihat kelap-kelip lampu pesawat lalu-lalang. Tuhan aku harap keputusanku tidak salah. Lagi-lagi doa itu terucap dari hatiku.

Di sini tak ada bedanya dengan di pesawat, Sleep and See mempromosikan progrm mereka secara beras-besaran. Aku mulai penasaran, apakah Sleep and See akan membuka cabang-cabang di kota-kota besar asia?

Diam-diam aku membuka ponselku. Aku mengecek beberpa e-mail masuk. Hanya ada pesan terakir dari persusahaan tempat yang akan aku tuju. Aku juga hanya menemukan E-greencard yang dikrimim beberapa waktu lalu. Aku mulai berfikir, bagaimana jika aku salah langkah?

Bagaiman jika ini berakibat fatal? Tiba-tiba saja semua hal memenuhi pikiranku. Ini memicu asam lambung. Ditambah, aku tak makan apapun dari siang. Aku memutuskan kembali ke restoran dan mengambil makanan.

Saat aku tiba, Tuan cho masih duduk dimejanya dengan secangkir kopi. Ia melihat ke arahku. Spontan ia lirik jam tangan bermerk yang ia pakai.

"Sudah kembali?"

Aku ternyemum menghampiri tasku yang aku letakkan di kursi tepat di sebelahnya.

"Masih tiga jam. Duduk dan makanlah sesuatu."

Aku meamnggil pelayan dan meminta tolong untuk memindahkan makanan ke mejaku.

"Udah pernah ke US sebelumya?"

"Belum jawabku."

"Kamu umur berapa?" tanyanya

"Dua delapam, Om"jawabku santai.

"Mau kuliah S2 ya? Dimana?" tanyanya lagi.

Aku hanya tersenyum. Aku tak tahu harus menjawab apa. Pria di depanku memang tak terlihat seperti seorang lelaki hidung belang.

"Jangan bilang kamu ke US buat ikutan Sleep and See program, kayak anak Om!" kata pria itu agak kesal.

"Emang kenapa Om?" tanyaku santai.

"You are so young. Fill your life with something usefull. Masih mudah. Jangan Cuma karena masalah sedikit, terus mau bunuh diri dengan cara legal!"

Aku melihat kekesalan mendalam dari pria ini. Ia benar-benar kesal dengan kejadian yang menimpa anak semata wayangnya.

"Om, sendiri?" tanyaku.

"Ada istri, di US. Sejak anak saya meninggal. Istri saya terus meratap di rumah di US. Dia nggak mau balik ke Indonesia. Hasilnya, saya harus mondar-madir sendirian. Sedih rasanya. Om nggak bisa berbuat apa-apa. Sementara bisnis harus tetap jalan. Ya begini, dua minggu sekali mau nggak mau harus ke US-Indo"

Ia menerangkan, dengan sedikit kesal. Kesal kepada keadaan. Kesal pada nasibnya. Satu hal yang mebuat ku salut. Ia tak menyerah dan tetap percaya pada Tuhan.

"Anak Om, siapa namanya?" tanyaku.

"Jeremy Cho" jawabnya. Aku segara membuka instagram dan mencari tahu. Aku menemukan instagram miliknya. Banjir ucapan belasungkawa dari teman dan kerabat di kolom komen.

Ada beberapa gambar, ia terlihat sangat tampan.

"Yang ini bukan?" tanyaku sambil menunjukkan ponselku.

"Iya, itu anak om."

"Ganteng ya" kataku.

"Bapaknya aja ganteng, masa anaknya jelek! Tapi dia pikirannya sempit. Sejak kenalan sama anak-anak pejabat di kampus. Om, nyesel suruh dia kuliah di US. Tau gitu, kuliah aja di Jakarta!"

Aku tertawa melihat espresinya dan meminta maaf.

"Itu apa sih?' tanyanya padaku.

"Instagram. Tau nggak?" tanyaku balik.

"Taunya mie instan!"

Aku tertawa geli. "Om masih nggak rela?" tanyaku.

Dia berfikir sejenak. Ia ambil coangkir kopi di depannya.

"Bukan tidak rela. Om lebih kepada tidak percaya. Hal-hal seperti ini bisa terjadi tanpa sepegetahuan Om. Sebagai pihak orang tua seharusnya kami mengetahui setiap hal yang anak kami lakukan. Termasuk jika mereka mengikuti program seperti Sleep dan see."

"Apa yang Om lakukan?" tanyaku. Ia mengernyitkan keningnya bingung.

"Apa om melakukan sesuatu terhadap perusahaan itu? Seperti meminta keterangan atau membawa mereka ke jalur hukum?"

"Oh, aku sudah lakukan segala cara agar mendapatkan keadalin , namun…."

Seorang pramugari mendatangi kami.

"Kita akan kembali ke pesawat. Apakah Tuan dan Nona sudah siap?"

*****************************************************************************

Berja-jam terbang, kami tiba di US dan langsung menuju ke imigrasi. Setelah melakukan scan dan wanawancara singkat, aku segera bergegas keluar dari bandara.

"Tunggu, tunggu siapa tadi nama kamu?", tanya pria yang baru aku kenal sejak di pesawat.

"Covina Ven"

"Iya, Vin. Kamu tau harus naik apa ke tempat tujuanmu?", tanyanya

"Tau Om, naik taxi aja. Biar lebih gampang"

"Ok, ini kartu nama Om.Kalau ada apa-apa hubungi Om ya. Nanti Om bantu. Sesama orang Indonesia di negeri orang harus saling bantu. Ok?" katanya padaku sambil memberikan kartu nama.

Ia pun segera pergi dan masuk ke mobil yang menjemputnya.

Aku melambaikan tangan. Aku melihat kartu nama yang ia berikan Budayana Chao. Ada nomor telephon dan alamat ia tiggal. Mungkin suatu saat aku akan membutuhkannya. Jadi aku segera memasukkannya ke dalam dompetku.

Tak lama, seorang pengemudi Taxi menyapaku. Ia pasti pengemudi yang tadi aku pesan secara daring.

"Good Morning, welcome to LA, Miss Covina Ven" sapa pengemudi taxi tersebut.

"Thank You." Jawabku.

"Are going to Sleep and See Central Hospital?"

"For sure, Please"

Sebelum melaju,pengemudi itu menanayakan apakah aku membawa koper atau semacamnya. Setealh meyakinkan aku tak ketinggalan apapun kami segera berangkat.