Maaf. Kami tidak bisa membantu. Jika saja anak Anda tidak mengandung, mungkin dia bisa selamat.
Mohon maaf. Kami sudah mencoba sebisanya. Namun, janin yang berada dalam kandungan anak Anda membuat kami tidak dapat menyelamatkan anak Anda.
Dua ucapan dalam kondisi berbeda namun memiliki artian serupa membuat Alarick tak dapat menopang tubuhnya sendiri hingga ia hanya dapat mencengkram besi pada ranjang. Perkataan dokter tersebut terngiang di kepalanya. Napas Alarick memberat. Dia menatap dokter di hadapannya dengan tatapan tajam. "Dokter, kau harus merahasiakan ini dari istriku."
Dokter itu mengerjap kaget dan mengerutkan alisnya dengan bingung. "Kenapa... Saya harus merahasiakannya? Pasien harus tahu dengan kondisinya sendiri."
"Jangan."
"Tapi—"
"Aku ingin menggugurkannya." Kata Alarick sambil menatap tubuh Valerie yang tergolek lemah di ranjang. "Aku ingin makhluk itu menghilang dari tubuh istriku."
"Anda... Ingin melakukan aborsi?"
"Aku juga ingin mengangkat rahim istriku. Agar dia tidak dapat hamil selamanya."
Mata dokter itu melotot kaget. "Anda menyuruh saya melakukan malpraktik??"
"Akan kubayar kau hingga tujuh turunan jika kau mau melakukannya."
Dokter tersebut melotot. "Saya tidak mau! Anda menyuruh saya membunuh janin yang sangat sehat sempurna?? Itu tidak diperbolehkan!"
"Aku tidak peduli. Aku akan tetap membunuhnya."
"Tuan! Yang di dalam perut istri Anda adalah seorang manusia yang berhak hidup!!"
Alarick mendengus sinis. "Kau pikir aku bodoh? Kau pikir, aku tidak tahu jika janin itu bagaikan penyakit tumor ganas yang berbahaya? Obatnya hanya dengan menggugurkannya. Aku tidak ingin kehilangan istriku. Tidak sekarang."
"Tapi, aksi pengangkatan rahim itu sangat tidak masuk akal!! Anda bisa membunuh istri Anda sendiri!"
"Aku tidak peduli!!"
"Sebegitu bencinya kau padaku, Al?"
Suara Valerie sukses mengagetkan Alarick. Dia menatap Valerie dengan pandangan kaget. "Vale..."
"Apa salahku padamu?" tanya Valerie dengan isakannya. "Aku tidak akan meminta tanggung jawabmu, Al. Tidak akan. Kau tidak perlu takut jika anak ini akan menjadi penghalangmu dengan Felicia."
Alarick menghampiri Valerie dan membungkuk di sisi ranjang hanya untuk mendekatkan dirinya dengan Valerie dan mengusap puncak kepala Valerie dengan pelan. "Kau tidak akan mengerti. Aku kehilangan ibuku karena ini. Bibiku pun meninggal karena dia mengandung. Janin ini adalah penyakit, Vale. Aku tidak mau dia membunuhmu."
"Kau menyebut anakku pembunuh???" amuk Valerie sambil terisak kencang. "Aku tidak kuat lagi bertahan denganmu!! Jika kau membunuhku, akan aku maafkan! Tapi tidak jika kau membunuh bayiku!!! Kau berengsek, Alarick!!"
"Apa? Membunuh bayi?"
Pertanyaan itu membuat Alarick dan Valerie menatap ke ambang pintu dan menemukan Felix berdiri di sana dengan raut wajah kaget. "Apa maksudmu, Valerie?" tanya Felix.
Valerie masih terisak kencang. "Alarick mau membunuh bayiku, Felix. Dia bahkan ingin mengangkat rahimku! Kumohon bawa aku pergi dari sini!"
"Tidak! Kau tidak akan ke mana-mana!" seru Alarick sambil menggenggam tangan Valerie.
BUGH!!
Alarick tersungkur di lantai akibat Felix yang memukul rahangnya dengan kuat. "Berani-beraninya kau menyakiti wanita yang kucintai!!"
Alarick tidak dapat berdiri kembali. Matanya menatap Valerie yang terduduk di atas kasur.
"Felix... Kau mencintaiku?" tanya Valerie dengan bola matanya yang berbinar.
Felix berbalik dan menghampiri Valerie. Dia duduk di atas ranjang Valerie sambil menggenggam tangan Valerie.
"Tidak! Lepaskan tangan istriku!!" teriak Alarick yang masih berada di lantai.
"Ya, Valerie. Aku mencintaimu."
"Tidak!!! Jangan mengucapkan cinta pada istriku!!"
"Benarkah itu, Felix?" tanya Valerie sambil menatap mata Felix dalam-dalam.
Felix menganggukkan kepalanya. "Semenjak aku bertemu denganmu, Aku sudah mencintaimu. Valerie... Maukah kau hidup bersamaku selamanya? Akan kubiarkan kau mengandung bayi itu dan mari kita merawatnya saat menikah nanti."
"Tidak, Valerie!! Jangan!!!" teriak Alarick panik.
Valerie menganggukkan kepalanya. "Aku mau."
Alarick lemas seketika. Dia menatap kedua wajah bahagia itu dengan hati merana. Perlahan, Valerie dan Felix mendekatkan wajah mereka, membuat Alarick melotot lebar.
"Tidak! Tidak!" seru Alarick ketika wajah keduanya semakin dekat. "TIDAK!!!"
Alarick terbangun dari tidurnya dengan napas memburu. Dia menghela napas lega saat mengetahui jika itu adalah mimpi belaka.
"Hey, kenapa?"
Alarick menatap Valerie yang baru saja bertanya kepadanya. Tanpa sadar, Alarick ternyata tidur di samping ranjang sambil duduk di kursi. Alarick mengusap pelan puncak kepala Valerie. "Kau sudah bangun?" tanyanya.
Valerie tidak menjawab. Dia hanya mengusap wajah babak belur milik Alarick dengan lembut. "Kenapa kau bertengkar dengan temanmu sendiri? Kau merusak acara pernikahan Anna." Katanya kemudian meringis. "Apa ini tidak apa-apa? Apa sakit? Apa lukanya sudah diobati?"
Alarick tersenyum tipis mendengar ucapan khawatir Valerie. Dia mengecup singkat bibir Valerie, membuat si empunya bibir cemberut karena Alarick belum menjawab pertanyaannya. "Aku tidak apa-apa. Pikirkan dirimu sendiri, Valerie. Sekali saja, jangan mendahulukan orang lain terlebih dahulu. Kenapa kau tidak bisa bersikap normal dengan menanyakan tentang penyebab kau bisa terbaring di sini?"
"Kenapa aku bisa berada di sini?" tanya Valerie.
Alarick mengusap pelipis Valerie dengan lembut. "Kau pingsan akibat kekurangan gizi dan juga stress." Katanya, tidak sepenuhnya berbohong karena dokter mengatakan demikian.
Bagi seorang wanita yang memiliki tubuh lain di dalamnya, Valerie kekurangan gizi. Dan ibu hamil tidak boleh terlalu banyak pikiran.
"Benarkah?" tanya Valerie, dan Alarick mengangguk. Valerie termenung di tempatnya.
Alarick segera naik ke atas ranjang dan menciumi puncak kepala Valerie. "Kenapa kau bisa kekurangan gizi seperti itu? Dokter berkata jika kau mungkin jarang makan atau bahkan tidak makan sama sekali beberapa hari ini."
"Ntahlah, Al. Aku selalu menginginkan makanan lain dulu dan malah membuat aku malas memakan makanan rumah."
Alarick menyelipkan rambut di telinga Valerie. "Kau ingin makan apa? Akan kubelikan untukmu."
Valerie menggigit bibir bawahnya dengan ragu. Dia menatap Alarick dengan penuh pertimbangan. "Aku ingin seblak."
"Seblak? Makanan negara mana itu? Italia?"
Valerie menggeleng. "Makanan yang kebanyakannya ada di Jawa Barat. Atau lebih tepatnya, Bandung."
"Bandung? Di Ci manggo itu?"
"Bukan di Cimanggu. Tapi di daerah Bandungnya."
"Baiklah. Malam ini kita ke Indonesia."
"Tapi aku tidak ingin memakannya di Indonesia. Aku ingin seblak buatan kamu."
"Apa?"
"Aku ingin seblak buatan kamu."
Alarick mengerjapkan matanya dengan cepat. "Seblak buatanku? Kau bercanda? Aku bahkan tidak tahu bentuk makanan itu seperti apa."
Mata Valerie mulai berkaca-kaca mendengar jawaban dari Alarick. "Kau tidak mau membuatkannya?"
"Ibu hamil akan selalu sensitif dalam segala hal, lebih baik Anda menuruti segala keinginan istri Anda dan jangan membuatnya menangis. Itu akan menambah beban pikiran istri Anda."
Ucapan dokter itu terngiang di telinga Alarick. Alarick kemudian tertawa kecil. "Aku akan membuatkannya untukmu. Tapi, bagaimana cara membuat seblak itu? Aku bahkan tidak bisa memasak."
"Membuat seblak tidak harus pandai memasak. Aku akan mengajarkanmu cara membuatnya."
Alarick hanya tersenyum paksa. "Baiklah. Selama itu bisa membuat nafsu makanmu kembali lagi."
Valerie tersenyum senang dan memeluk Alarick dengan manja. "Terimakasih hubby, kau yang terbaik!!"
"Ibu hamil kadang akan merubah emosinya dengan cepat. Mereka akan mudah marah karena hal kecil, menangis karena masalah kecil, atau tertawa kencang karena lelucon garing yang pastinya akan terasa mengganggu. Ibu hamil akan semakin lengket pada Anda dan manja. Tapi ada beberapa ibu hamil yang bahkan ingin jauh-jauh dengan suaminya hingga akan menangis jika masih melihat wajah suaminya."
Alarick menghela napas panjang saat ucapan dokter itu terngiang-ngiang di telinganya. Dia membalas pelukan Valerie dan mengusap punggung istrinya dengan lembut. Setidaknya, Alarick harus bertahan sekarang.
***
"Bawangnya di blender dengan halus, hubby. Ini masih ada yang belum halus."
"Tidak, tidak, bukan seperti itu cara memotong cabainya, hubby."
"Hubby, kau sedang memotong tahu atau menghancurkannya??"
"Hubby!!! Ya Tuhan, aku sudah bilang pelan-pelan saja memotongnya!!"
"Kenapa kau memasukkan kentang, bodoh???"
"Hubby, kau menjatuhkan kerupuknya!!"
"Garam itu terlalu banyak!!! Kau ingin membunuhku???"
"Telurnya belum dimasukkan!!"
"Hubby!!! Kenapa mienya kau belah-belah begitu!!!"
"Aku sudah bilang pelan-pelan aduknya!!!"
"Kenapa tumpah-tumpah begitu sih??? Dasar suami tidak becus!!!"
Dengan darah, keringat, dan air mata, Alarick selesai membuat sepiring seblak. Alarick menatap jijik pada makanan tersebut yang malah terlihat seperti muntahan. Alarick bahkan tidak sudi untuk menatap makanan itu. Makanan yang dia buat sendiri dengan bahan yang aneh-aneh. Bahkan Valerie menyuruh Alarick memasukkan banyak cabai. Entah rasanya akan enak atau tidak. Yang Alarick tebak, rasanya pasti seperti muntahan.
Alarick menyimpan piring itu di atas permukaan meja, tepat di hadapan Valerie. "Selamat dimakan, Tuan Putri."
"Terimakasih, Hubby." Ceria Valerie yang duduk sambil menatap seblaknya dengan mata berbinar.
Sedangkan Alarick sendiri duduk di samping Valerie sambil menatap wajah antusias istrinya. Valerie terlihat bersenandung ria saat mengambil sendok dan garpu lalu mengelapnya dengan tisu. Alarick sempat tersenyum karenanya. Namun saat Valerie bersiap meluncurkan sendok dan garpunya, raut wajah Valerie terlihat sedih.
Alarick mengerutkan alisnya bingung. "Kenapa?" tanyanya pada Valerie.
Valerie menatap Alarick dengan sendu. "Aku tidak tega memakannya."
"Apa?"
"Ini buatanmu. Untuk pertama kalinya, kau memasak makanan untukku. Bagimana bisa aku menghancurkan hasil karyamu ini?"
Alarick mengerjapkan matanya pelan. Dia mulai berpikir. Oke, mari kita berpikir terlebih dahulu, Alabrain. Ibu hamil itu sensitif. Jadi, mereka pasti akan gampang terharu. Pasti, Valerie saat ini berpikir untuk memajang muntahan itu daripada memakannya karena dia sangat terharu jika dirinya adalah orang pertama yang kubuatkan makanan. Ah! Aku tahu harus menjawabnya bagaimana! Batinnya.
Alarick berdeham kencang. "Sebenarnya, ini bukan masakkan pertamaku. Aku pernah memasak nasi goreng untuk diriku sendiri." Katanya.
Raut wajah Valerie berubah murka. "Jadi, kau membohongiku???" amuknya.
Alarick mengerjapkan matanya dengan kaget. "Ti-tidak. Maksudku, aku lupa sebelumnya. Hehe."
Valerie cemberut seketika. Dia menghela napas panjang. "Hubby..."
"Ya sayang?"
"Sepertinya, nafsu makanku akan kembali jika..."
"Jika apa?"
Valerie menatap Alarick dengan lekat. "Jika kau yang memakan seblak ini." Ucapnya sendu.
"APA?? KAU MENYURUHKU MEMAKAN MUNTAHAN INI??"
Valerie tersentak kaget mendengar suara Alarick yang meninggi. Matanya mulai berkaca-kaca. "Kau hanya perlu mengatakan jika kau tidak mau. Tidak perlu membentakku begitu. Hiks!" dan akhirnya Valerie mulai menangis.
Alarick kelabakan seketika. Ia memeluk Valerie dari samping sambil mengambil piring seblak itu. "Syutt, sayang, maafkan aku ya? Aku hanya kaget. Tadi itu refleks."
Valerie menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangisnya mengencang. "Kau pasti marah padaku. Hiks, kau akan menyiramku dengan seblak itu kan? Hiks hiks."
"Apa?? Ahahaha itu tidak mungkin sayang."
"Lalu kenapa kau menggeser piring itu?"
Aku berniat membuangnya, sayang. Alarick mengerjap cepat. Keringat dingin mulai mengucur dari pelipisnya. "Ahaha, aku akan memakannya, Valerie. Sesuai permintaanmu."
"Benarkah?" tanya Valerie dengan tangan yang lepas dari wajahnya. Matanya menatap Alarick dengan berbinar.
Alarick tersenyum paksa. "Ya. Aku akan melakukannya demi dirimu."
Valerie tersenyum senang. "Asiikk! Ayo makan seblaknya, Al." Serunya.
Alhasil, Alarick benar-benar mengucurkan air matanya saat menghabiskan seblak yang amat pedas itu di depan Valerie. Sialan, seblak. Aku akan menghancurkan eksistensimu dari dunia ini. Batin Alarick mendendam pada seblak.
***
Malam pun tiba. Alarick turun dari kasur sesaat setelah Valerie terlelap dalam dekapannya. Dia mengambil ponsel di atas meja kecil di samping kasur dan menghubungi seseorang yang akan selalu siap siaga menjawab telfonnya.
"Theo." Sapa Alarick saat orang di sebrangnya menjawab panggilannya. "Carikan obat penggugur kandungan yang tidak memiliki efek samping apapun, dan rasa sakit apapun. Obat yang membuat seorang ibu hamil bahkan tidak menyadari jika dia keguguran. Aku tidak ingin alasan apapun. Hanya cari dan dapatkan untukku."
Bagi yang belum tahu cerita ini sudah tamat dan bisa didapatkan di Playstore dengan judul Bastard Devil dan nama pena Made In Earth. jangan lupa untuk selalu ikuti aku agar mendapatkan keseruan cerita-cerita yang lain