Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Dia Yang Terbaik

Cixa
--
chs / week
--
NOT RATINGS
3.6k
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - Menangis Tak Akan Membuatnya Kembali

"Kamu pasti kembali'kan?" Aku mendongak memastikan ia akan pulang kekota ini kelak.

"Pasti!" Dengan mantap Devan menjawabku tanpa ada rasa sedih ataupun ragu dimatanya. Ia mendekapku dipelukannya sembari mengusap-usap rambutku.

"Dalam 10 menit pesawat Esia akan segera lepas landas penumpang diharapkan segera masuk kedalam pesawat dan bersiap-siap."

Pemberitahuan itu cukup sakit untukku, Kekasihku Devan akan segera pergi ke Eropa untuk mengurus perusahaan peninggalan ayahnya.

Belum lagi masalah percintaan kami beberapa hari lalu aku menemukannya bersama dengan sahabatku, berselingkuh dariku.

Kurang baik apa diriku? Sudah patah hati tapi masih mengantarnya kebandara?

"Aku pergi dulu," Ia melepas gengamannya dan dekapannya kemudian berjalan menuju arah pesawat hingga ia tak terlihat lagi dikerumunan orang.

"Sakit," aku terjatuh karna tekanan yang kualami. Aku terduduk memeluk lulut dan menahan apa yang kualami saat ini.

Kenapa dia tega Memberikan penjelasan saja tidak. Aku kira perkataan mereka tidak benar karna mengira Devan selingkuh dengan sahabatku sendiri

Siapa sangka ternyata hal yang kuanggap lelucon dan tidak benar itu nyata bahkan tak ada yang menepis pikiranku tentang mereka.

"Udah?" Ucap Reza sambil menjulurkan sebuah tisu.

"Kak. kenapa Devan tak berperasaan padaku?" Aku melontarkan perkataan sambil terisak.

"Sudahlah jangan menangis itu tak akan membuatnya kembali memberi penjelasan dan meminta maaf," balas Reza dengan sifat dinginnya.

"Dia ngga baik buat kamu Nerisa, ga guna ditangisin," sambung Reza.

Perkataannya memang tepat tapi, hati ini sangat sakit untuk menanggung hal ini.

"Kita pulang," aku mendahului langkah kaki Reza dan melengos masuk kemobil dan berusaha tidak cengeng.

***

"Dia beneran pergi?" Ucap wanita paruh baya itu menatap sendu putri semata wayangnya.

"Iya Mah," kata Reza dibalas anggukkan oleh Mamanya.

"Jadi sekarang kamu mau gimana Ris?"

"Aku juga ngga tau Mah perasaanku sekarang, seperti mati rasa," ucapku terisak.

"Masih ingin lanjut?" Kata Mama kubalas dengan anggukkan.

"Ngga usah dipaksa'in Ris," Ucap Reza menggenggam tanganku dan menyemangatiku.

"Aku ngga yakin, Risa bingung."

"Terserah kamu, tapi besok akan ada tamu penting karna anaknya Linda bakal pulang," balas Mama seolah cuek.

"Tante Linda? apa Mama mau jodohin aku sama Len?"

"Iya."

***

Brak.

Kubanting pintu kamarku tanda amarah dalam diri, berusaha berpikir positif malah membuatku semakin hancur.

Siapa yang tak hancur karna hal ini? Diselingkuhi pacarnya dan sahabatnya yang merebut pacarnya.

Tapi, 'sepertinya aku harus berterima kasih pada jalang, yang merebuat pengkhianat itu'

Dengan memikirkan itu malah membuatku tertidur disisi ranjang.

***

"Non?udah bangun?" Beberapa ketukan terdengan dan sahutan bibi pembantu rumahku.

"Ah, Iya. Hoam..Masuk aja bii," balasku mengucek-ucek mata yang masih kabur dan terhalang oleh sinar matahari yang menebus gorden jendela.

"Anu, Non tamunya udah dateng."

"Emang udah jam berapa?" Tanyaku yang sambil menyibak selimut dan melanjutkan tidur.

"10 pagi Non."

"Heh? Padahal seperti baru saja tidur, yaudah tunggu dibawah," balasku mengambil handuk yang segera berjalan kamar mandi.

"Permis--"

"Bentar.. Devan ada Nelpon tadi?"

"Iy, ngga ada kok Non."

"Oh, yaudah."

Hmm Aneh, kenapa Bibi tampak gugup? Mungkin cuma perasaanku, sudalah..

***

Saat turun tangga kudapati Mama yang tengah asik berbincang-bicang dengan Tante Linda dan seorang cowok tampan yang melengkapi beberapa jawaban Linda ya siapa lagi?

Dia Len!

"Itu dia Risa," sapa Mama.

"Eh, Risa udah besar ya? Perasaan dulu pake baju sendiri aja ngga bisa sekarang udah cantik pintar ngurus diri pula," puji Tante Linda berhasil membuatku sombong dalam sekejap karna dipuji.

"Tapi Bo'ong," sambungnya. Sukses membuatku kembali muram dan cemberut.

"Hehe," Cowok itu hanya tertawa cekikikan melihat reaksiku. Hal itupun membuatku terpanah melihatnya tertawa dengan mata menyipit yang tinggal segaris itu.

"Lucu ya?" Tanyaku. Omonganku membuatnya kembali diam tanpa ekspresi.

'Ia mirip Reza, Muka datar'

Mama dan tante Linda hanya terseyum sumbirigan menatap kami berdua, setelah itu mereka kembali fokus keperbicaraan mereka hingga arah pembicaraan menuju kekami berdua.

"Bagaiman jika Len dan Nerisa dinikah'kan saja? Mereka tampaknya cocok," tanya Tante Linda menatapku lalu menoleh menatap Mama.

"Aku sih iya, iya aja Lin tapi keputusan ada ditangan mereka."

Ucapan Mama membuatku tenang karna ia tak langsung berkata 'Iya' dan malah menunggu persetujuan Kami.

"Tante Ela, bisa saya berbicara berdua dengan Risa sebentar," Ia menatapku kemudia berganti menatap Mama dan terseyum.

Deg. Apa ini? Dia memanggil namaku? Ia membuat Jantungku hampir jatuh keperutku!

"Boleh, dibelakang ada kolam dan bunga-bunga, cocok untuk kalian berdua saat menyatakan cinta nanti," Mama tertawa sambil mendorong kami.

***

Aku duduk diayunan, dan ia hanya duduk disampingku dan berdiam diri.

"Apa kau benar-benar mengiginkan pernikahan ini?" Tanyanya memecah keheningan.

"Tidak."

"Ehm, aku tahu," Len menggenggam tanganku sambil menatapku.

"Ada apa?!" Aku panik. Saat melihat mulutnya yang berubah menjadi putih dan muka menjadi memucat.

"Hei, ada apa denganmu?" Tanyaku. Aku menguncang-gucangkan badannya, Namun ia sudah tak sadarkan diri, buru-buru kupanggil Mama dan tante Linda dengan panik, tapi Tante Linda berkata "Semua akan baik-baik saja."

***

Saat ini aku sedang menunggu dilorong rumah sakit, sambil berjalan bolak balik dan mengitip sedikit melalui kaca ruang UGD itu.

Aku sangat cemas dan gelisah, seperti seseorang yang sedang menunggu nilai ujian keluar.

Aku bertanya ke Tante Linda 'dia kenapa' tapi tak menjawabku ia hanya terseyum.

Ia menepuk pundaku dan berkata. "Dia emang sering Down gitu, nggapapa kok. Cuma tadi maksa ketemu kamu," Ucap Tante Linda terseyum.

Hah? Aku merasa ia bersungguh-Sungguh ingin menikahiku, mungkin ini keinginannya bukan keinginan orang tua kami.

***