Pandangan mata Alan seakan tidak mau lepas dari wajah cantik Salsa. Wajah yang membuat hati terasa dingin, dan tentram. Merasa hatinya selalu sejuk, bila di dekatnya. Jatuh Alan bergemuruh tak karuan, napasnya terasa sesak, seperti penderita asma.
Perasaan apa ini? Kenapa? Kenapa aku merasa ada hal yang berbeda di saat aku melihat wajahnya. Hatiku terasa gemetar di saat menyentuhnya.
Alan, mencoba mengontrol apa yang dia rasakan. Rasa ini tidak boleh ada di hatinya. Dan harus segera di jauhkan dari hatinya. Karena dia sudah punya pasangan yang sangat setia denganya. Itu, yang membuat Alan merasa tidak bisa jika mencintai orang lain. Dari dulu dia tidak pernah yang namanya selingkuh, maupun di duakan. Bagi dia wanita adalah sebuah mahkota yang harus di jaga.
Alan mencoba tersenyum, mengatur hatinya yang benar-benar membuatnya frustasi. Perasaan aneh yang baru pertama kali dia rasakan.
"Salsa, entah kenapa aku merasakan hal yang berbeda. Apa kamu bisa merasakannya." ucap Alan, memegang tangan Salsa, yang masih tak sadarkanndiri, meletakkan tangannya di dadanya. Menunjukan jika jantungnya berdebar hebat di saat bersama dengannya.
Dari balik pintu, wanita cantik dengan rambut berombak itu menatap tajam ke arah Alan. Dia berdengus kesal melihat Alan yang begitu perduli dengan Salsa. Bahkan berani terus terang merasakan cinta dengannya. Hatinya tersayat-sayat di saat Alan mencium lembut punggung tangan Salsa, bagai di cambuk dengan duri tajam, membuat tubuhnya terasa lemas, kaku tak berdaya. Dia tidak menyangka jika laki-laki yang selama ini dia cintai memendam rasa dengan istri kakaknya.
Lia, mengeluarkan napas beratnya perlahan. Mencoba untuk terlihat tenang. Pandangan matanya tidak lepas dari apa yang di lakukan Alan pada Salsa. Sifat lembutnya seakan mulai keluar pada wanita itu. Membuat hati dan otaknya terasa sangat gerah.
"Alan! Gimana keadaan Salsa," Lia, berjalan masuk ke kamar. Dan Alan yang terkejut langsung melepaskan tangan Salsa, meletakkan kembali di ranjang. Dia tersenyum semringai, menghilangkan kepanikannya.
"Kamu bawa apa?" tanya Alan. Mencoba menghilangkan kecerigaan Lia.
"Bawa, wedang jahe. Apa kamu juga mau?" tanyanya ramah. Seakan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Meski hatinya terasa tertimpa batu besar.
"Boleh," jawab antusias Alan.
"Oya, gimana kak, Devid. Apa dia akan segera kembali?" Lia, meletakkan wedang jahe di laci samping ranjang.
"Entahlah! Dia mematikan telfonya begitu saja." decak kesal Alan.
Lia menganggukkan kepalanya, sebenarnya dia tidak tahu apa yang terjadi antara Salsa dan David. Karena di lihat dari keseharian mereka terlihat biasa. Tidak terlihat seperti ada pertengkaran di antara mereka.
"Emm.. ya, sudah. Aku buatkan wedang jahe buat kamu, ya?" gumam Lia, senyum terpaksa di balik luka hatinya.
"Iya, aku tunggu kamu di luar nanti," jawab Alan.
"Iya," Lia bergegas pergi, hatinya tak sanggup.lagi melihat kenyataan itu. Dia segera berlari sekuat tenaganya dari kenyataan.
Alan, menatap wajah Salsa, mengusap lembut pinggung tangannya. "Sa! Sadarlah, aku harap kamu tidak kenapa-napa" gumam Alan. Pandangan mata Alan tertuju pada wedang jahe buatan Lia. Alan segera membantu tubuh Salsa untuk duduk, bersandar di kepala ranjang. Dengan gangan kanan meraih wedang jahenya. Menegukkan perlahan di mulut Salsa yang masih terkunci rapat.
"Salsa, minum dulu, ya." gumam Alan.
"Uhukk.. Uhuk..."
Wanita itu tersedak, memuntahkan tepat di pahanya.
"Maaf!" ucap Salsa, yang baru tetsadar, mengangkat kepalanya menatap Alan di depannya. Membuat ke dua sudut matanya mengerut.
"Alan?" panggil Salsa lembut, suaranya sangat serak dan pelan. Ia memegang kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing. Alan, segera menopang tubuh Salsa yang hampir saja terjatuh.
"Sa, lebih baik kamu istirahat saja." Alan, beranjak dari ranjang, membantu Salsa untuk berbaring kembali.
"Kamu masih sangat lemah," lanjutnya.
Salsa hanya diam, memutar matanya melihat sekelilingnya. Dia tidak melihat Devid di sana.
"Mana laki-laki nyebelin itu?" tanya Salsa.
Alan menautkan ke dua alisnya bingung. "Siapa?"
"Kakak kamu, memangnya yang nyebelin selain kamu siapa kalau bukan dia," ejek Salsa, dengan nada lemas dan sedikit lebih rendah.
"Kamu memikirkannya?" tanya Alan memastikan.
"Enggak! Aku hanya tanya,"
"Oo, ya, sudah. Sekarang kamu tidur saja dulu. Aku mau bantu Lia siapkan makanan," ucap Alan terlihat sangat gugup, entah kenapa dia grogi harus berbicara berhadapan dengan Salsa. Apalagi di saat mengingat kejadian kemarin malam. Sebuah kecupan hang tidak terduga untuk Salsa.
"Tunggu!" Salsa meraih tangan Alan, mencegahnya pergi.
"Ada apa?" tanya Alan tanpa menatap ke belakang.
"Apa Devid dengan pacarnya?" tanya Salsa memastikan.
Alan menarik naapsnya dalm-dalam, menahanya, lalu mengeluarkan perlahan.
"Mungkin begitu," jawabnya, menoleh ke belakang. tersenyum paksa di depannya.
Melihat Salsa menunduk lesu, seperti ada pikiran yang mengganggunya sekarang. "Baiklah, aku akan hubungi dia nanti. Sepertinya kamu merindukannya." ucap Alan, menyadarkan Salsa dari lamunannya.
"Tidak, aku hanya ingin tahu di aman dia. Lagian aku juga baru sadar, tubuhku terasa sakit semua. Eh.. Malah dia gak ada di sini,"
Melihat keadaan Salsa yang baik-baik saja. Alan lekas pergi meninggalkannya sendiri di kamar. Dan segera menemui kekasihnya.
Saat kesalahan pahaman itu, pasti membuat Lia salah paham dengannya. Meski dia sebenarnya tidak bermaksud untuk memegang tangan Salsa, bahkan sampai mengecup keningnya. Pasti akan membuat salah paham orang yang melihatnya.
Alan berjalan dnegan langkah ringan, dia sengaja memelankan langkahnya. Hanya demi mengejutkan kekasihnya yan sedang sibuk di dapur. Tapi, entah dia sibuk apa.
Dia hanya diam, dengan tangan memegang gelas kosong. Seperti pandangan ke dua matanya yang kini nampak sangat kosong, seakan banyak pikiran yang menumbuk otaknya.
Jemari tangan Alan merangkak perlahan dari ujung pundaknya, perlahan ke bawah, menggenggam jemari tangan Lia.
"Maaf!" ucap Alan, menyandarkan kepalanya di pundak Lia.
Wajah wanita itu, merah malu. Dia tertunduk, menyembunyikan wajahnya.
"Maaf, untuk apa?" tanya Lia, pura-pura tidak tahu.
Alan, semakin mendekap erat tubuh Lia. "Jangan pura-pura hati kamu tidak apa-apa, aku tahu jika hati kamu sangatlah terluka. Aku tahu tentang itu." Alan, mendekatkan wajahnya, dagunya menyentuh pundak Lia, hembusan napas beratnya merasa masuk ke dalam pori-pori kulit putih salju.
Lia, melepaskan tangan Alan yang melingkar di perutnya. Membalikkan badannya, dalam.satu tarikan napasnya, dia mengeluarkan suaranya. "Aku memang tahu, tapi aku baik-baik saja," Lia, mencoba tersenyum paksa.
Alan mengerutkan ujung matanya, memegang dagu Lia. Sedikit menariknya ke atas.
"Senyum manis kamu sudah sering aku lihat. Tapi kali ini senyum kamu terasa sangat hambar, seperti ada sesuatu yang hilang dari dirimu."
Lia mengerutkan keningnya ke dalam, membuat garis halus di keningnya. "Maksud kamu?" tanya Lia bingung.
Lia mencoba pura-pura tidak paham dengan ucapan Alan. Baginya sakit hati itu akan terus dia pendam sendiri. Dan biarkan hanya dia yang tahu.
"Aku tahu kamu sedih,"
Lia terkekah kecil. "Sedih kenapa? Bukanya aku terlihat sangat bahagia. Sungguh bahagia," jelas Lia, yang masih bersikukuh menyembunyikan rasa sakit hatinya.
Alan menarik pinggang Lia masuk ke dalam dekapannya, jemari tangannya mengusap.lembut wajah Lia. "Apa kamu yakin, jika kanu kehilangan diriku, apa kamu juga tetap tertawa?" Alan menatap ke arah Lia, dan di balas dengan tetapan terkejut, sedikit heran.
Lia menunduk malu, "Alan, jangan seperti ini. Kita belum menikah!" tegas Lia.
"Iya, kita akan menikah setelah wisuda,"
"Masih lama,"
"Apa kamu mau menikah muda?" tanya Alan melepaskan pelukannya. Dan hanya di balas dengan gelengan kepala oleh Lia