Menurut selebaran ini, peternakan milik beberapa keluarga di sana mengalami masalah. Entah itu ayam mereka yang hilang, pagar pembatas yang rusak, hingga terdapat jejak-jejak kaki misterius.
Sebenarnya ini adalah masalah yang lumrah sering terjadi. Apalagi pekerjaan mereka ialah membesarkan bahan pangan seperti sapi, ayam, domba, atau hewan lainnya yang dapat menghasilkan sesuatu.
Namun, baru kali ini aku melihat lembaran misi yang usang seperti ini. Tulisannya tampak terburu-buru dan lagi kondisi kertasnya sudah menguning. Aku juga melihat titik-titik merah seperti bercak darah, tetapi kuharap itu hanya imajinasiku saja.
Kami sudah berjalan cukup lama dan seandainya insting serta ingatanku benar, setelah melalui percabangan jalan ini aku akan segera tiba di Desa Kirius. Fear juga tampaknya mulai mengantuk dan menghilang seperti bulu terbang.
Sosoknya lenyap meninggalkan percikan cahaya kecil dan meninggalkanku sendiri di sini.
Yah, aku tidak terlalu mempermasalahkannya. Ini sudah menjadi kebiasaannya sejak dulu. Pastinya aku tidak akan bisa mengubahnya secepat itu, meski pada kenyataannya aku pernah berusaha, tetapi sayangnya tidak berhasil.
Hal itulah yang mengakibatkan sikapnya seperti itu. Gadis manja yang benar-benar ingin dimanja sungguhan.
Ketika aku mengambil jalur kiri, sekilas mataku menangkap cairan merah pada papan penanda arah. "Ini… darah?"
Darah? Di tempat seperti ini? Apakah ada seseorang yang sedang diserang oleh hewan hutan?
"Aku harus cepat," gumamku sambil menekan tumit kaki kanan lalu meluncur cepat.
Menggunakan Mana untuk meningkatkan akselerasi kecepatan kaki dan menyeimbangkannya bersama dengan pernapasan adalah kuncinya. Aku harus bisa bergerak cepat, lebih cepat, sangat cepat agar tidak terlambat.
Aku tidak tahu akan dipandang seperti apa oleh orang-orang. Seorang yang terlalu berlebihan? Terlalu khawatir? Aku tidak peduli. Yang terpenting sekarang adalah aku bisa sampai di sana secepat mungkin karena tidak ada yang bisa menggantikan nyawa yang telah hilang.
Menapaki jalan berumput sedang, aku pun melompat tinggi meraih cabang dahan pohon besar kemudian bergerak cepat melompati setiap dahannya.
Kini mataku tertuju ke depan, fokus, fokus, fokus. Aku tidak boleh ceroboh kali ini dan membuat semuanya menjadi berantakan. Aku juga tidak ingin melihat skenario terburuk ketika aku tiba di sana.
Ketika cahaya penghujung hutan semakin terlihat jelas, pada saat terakhir itu juga aku menguatkan daya terjang Mana dalam tubuhku untuk melompat sangat tinggi ke langit.
Terpaan angin yang menerjang wajahku meledak dalam sekali terjang. Kini aku pun terjun bebas di langit sambil memerhatikan satu bidang petak kecil di bawah. Lahan yang terlihat kecil itu adalah Desa Kirius tempat tujuanku.
"Ventus," bisikku halus.
Sekumpulan angin mulai mengitari kedua kakiku begitu kata itu keluar. Setelah itu enam buah lingkaran bercahaya samar yang di tengahnya terdapat hexagram muncul secara bersamaan.
Begitu tubuhku masuk ke dalam lingkaran sihir itu, kecepatan terjunku menjadi lambat, bertambah lambat, dan semakin lambat hingga akhirnya aku berhasil mendarat dengan aman tepat di depan Desa Kirius.
Sekilas tempat ini terlihat seperti desa pada umumnya. Namun, sekarang desa ini terlihat lebih berantakan, itu yang muncul selintas dalam pikiranku.
Pagar pembatasnya banyak yang rusak, pintu penjagaan yang terlihat lengah dan bahkan mungkin tidak dijaga. Selain itu kondisi tanah yang kering, aku juga bisa melihat banyak bercak hitam di sekitarku.
Sepertinya ini bukan serangan biasa dan tampaknya misi yang aku ambil ini tidak sesederhana apa yang kubayangkan.
Tanpa aku sadari mulutku menyungging sendiri.
"Berhenti!"
Dari samping kananku tiba-tiba saja muncul dua anak kecil yang sedang mengarahkan tongkat panjang ke arahku. Padahal aku baru saja tiba di tempat ini dan langsung disambut oleh mereka, betapa baiknya.
"Bisakah kalian menurunkan tongkat itu?" tanyaku dengan senyum ringan.
"Paman siapa?! Kenapa bisa ada di desa kami?" tanya balik anak berbadan gembul.
"Iya! Kenapa bisa ada di sini? Padahal aku yakin ketua desa tidak pernah meminta bantuan," sambung anak berbadan kurus yang kini memasang wajah tidak yakin.
"Tenang, tenang… aku orang baik, kok. Buktinya aku membawa ini," jawabku lalu memperlihatkan kertas usang kekuningan.
Anak berbadan gembul tiba-tiba saja memasang wajah rumit, ia juga menggaruk belakang kepalanya beberapa kali seperti memastikan sesuatu.
"Bukannya itu kertas punya paman kesatria?!"
"Hehh?! Apa kamu tidak salah lihat? T-tunggu… sepertinya kamu benar!"
Keduanya tampak akrab sekali, selain itu kesatria? Apakah ada orang lain yang mengambil misi ini juga selain diriku? Namun, mengapa ia meminta bantuan lagi ketika tahu bahwa ini adalah misi yang seharusnya ia selesaikan sendiri?
"A-aku baru saja mengingatnya. Paman, ayo!" ucap anak berbadan kurus.
Setelah menurunkan tongkat kayunya, ia pun langsung berlari pergi masuk ke dalam desa bersama dengan temannya.
Aku pun mengangguk cepat dan mengikuti mereka berdua dari belakang. Di sana mereka mengarahkanku langsung menuju ke sebuah lumbung padi yang terletak jauh di belakang bangunan tua besar.
Di sepanjang perjalanan singkat itu mataku tidak pernah lepas dari orang-orang. Aku melihat orang-orang berbadan kurus dengan ekspresi gelap. Mata mereka juga terlihat tampak kelelahan dengan pakaian yang lusuh, ini benar-benar menyedihkan.
Jika apa yang kedua anak ini katakan benar, maka apa yang kesatria itu lakukan selama ini? Berbaring menikmati kue kering? Hah! Kita lihat apa yang dilakukannya saat ini.
Setelah kami sampai di dalam lumbung padi itu, anak berbadan kurus mengetuk lonceng tiga kali dengan tongkat kayunya. Tidak lama kemudian samar-samar aku bisa mendengar suara orang dari dalam lumbung padi, seperti sedang memanggil sesuatu.
"Tunggu sebentar. Aku akan segera ke sana."
Lumbung padi ini juga tidak seperti kebanyakan lumbung padi yang biasa aku temui di desa-desa lain. Tempat ini sudah seperti menjadi benteng. Dengan pintu yang terbuat dari kumpulan kayu alot kehitaman yang berjamur, bagian jendela maupun sampingnya juga dilindungi oleh pagar berduri.
Ini lebih buruk daripada apa yang kubayangkan.
"Ohh. Rupanya kalian berdua? Mengapa kalian membunyikan lonceng?"
Yang keluar dari pintu depan adalah seorang kakek tua. Punggungnya membungkuk dengan rambut putih beruban serta jenggot panjang yang diikat, pakaian lusuh serta kacamatanya yang sedikit pecah, apakah kakek tua ini yang bertanggung jawab atas Desa Kirius?
"Kakek! Aku membawa bantuan," tutur anak berbadan kurus.
Temannya yang gembul juga ikut mengangguk cepat. Meski sekilas, aku bisa melihat ekspresi orang tua ini menjadi lemah. Matanya berkaca-kaca dan seketika itu juga ia berjalan mendekatiku dengan raut yang sedih.
"B-benarkah? Apakah pesan itu tiba di tempatmu, anak muda?" tanyanya dengan nada yang gemetar.
"Maksudmu ini?" Aku pun langsung menyerahkan selebaran misi itu kepadanya.
"A-a-ahhh… ahhh. Syukurlah, sepertinya dewa masih mau melindungi desa kami."
Dewa? Aku ragu jika dewa yang diharapkannya sama sekali tidak pernah terlibat dengan hal ini.
"Kemari… masuklah." Ia pun memasukkan selebaran itu ke dalam saku rompi usangnya, "Ada orang yang sedang menunggumu di dalam"
"M-menungguku?"
Apakah orang ini mengenalku hingga mau menunggu selama ini? Atau hanya sekedar kesatria tak bergerak yang ingin memberikan saran?
Aku pun masuk ke dalam. Tempat yang terlihat luas ini biasanya dipenuhi oleh gulungan jerami atau tanaman siap pakai, tetapi kali ini semua itu menghilang, dan lebih seperti menjadi tempat berlindung sementara.
Setiap sekat bertingkatnya terdapat orang-orang yang sakit, mereka batuk-batuk, dan ada juga yang berbaring dengan selimut kotor. Raut wajah mengerikan, tubuh terlihat sudah lama tidak mandi, dan parahnya semua itu ada di tempat ini.
Fear… sepertinya aku menemukan jackpot yang lebih menegangkan.
Setelah itu kami masuk lebih dalam menuju ujung sudut ruangan ini. Di sana aku sudah bisa melihat dua buah kaki sedang berbaring, itu berarti orang ini sedang bersandar mengistirahatkan tubuhnya.
Begitu sampai, aku mendapati seorang lelaki paruh baya dengan baju zirah hancurnya bersandar pada papan kayu. Lengan kiri diperban dan diapit oleh dua papan kayu, sepertinya patah tulang. Sedangkan tangan kirinya memegang gagang pedang dan seakan-akan bersiap kapan saja untuk mengayunkannya kapan saja jika bertemu dengan bahaya.
"T-tuan… perkenalkan, ini adalah kesatria yang telah membantu kami beberapa hari ini," ungkap si Kakek sambil terbatuk-batuk.
"Pergi… istirahatkan tubuhmu jika tidak ingin menjadi beban," sahut sang kesatria sambil menatapku tajam.
Pria tua itu pun membungkuk pelan lalu pergi meninggalkan kami berdua sendiri.
"Kurus… tidak meyakinkan dan tidak memiliki aura kepercayaan diri. Apa yang dilakukan serikat mengirimkan orang seperti ini, huh?" gerutunya sambil mendecakkan lidah.
"Setidaknya itu lebih baik dari laki-laki lumpuh seperti dirimu, bukan?" tanyaku balik sarkas.
"APA KATAMU?!—ughh"
Aku pun langsung mengacungkan pedang kayu ke arah lehernya. "Diam, jika tidak ingin kepalamu melayang," ucapku lalu memberinya senyum paling "ramah" yang bisa aku berikan.
Sebenarnya apa masalah orang ini sampai-sampai mengejekku? Pernah bertemu saja tidak, teman juga bukan, kerabat? Bahh… mana sudi aku memiliki kerabat seorang penggerutu seperti dirinya.
"Beri aku penjelasan sesingkat mungkin. Aku ingin segera menyelesaikan misi ini dan pergi tidur"
"Menyelesaikannya?" tanyanya dengan nada tinggi. "Hahahahaha! Seorang pemula dengan pedang kayu seperti dirimu hanya akan menjadi makanan mereka. Camkan itu!"
"Mereka sudah baik merawatmu, tetapi rupanya yang mereka rawat hanyalah hewan ternak tambahan," balasku dingin.
"Sial!" Ia pun langsung memukul tanah dengan kepalan tangan kanannya.
"Jika perkataanku salah, maka cepat beritahu aku apa yang kau tahu. Jangan membuat ini semakin buruk."
Wajahnya terlihat kesal, tetapi setelah ia mengambil napas panjang akhirnya ekspresinya mulai berubah.
"Jangan salahkan aku jika kau berakhir menjadi daging cincang"
"Woahh. Rupanya kau masih memiliki jiwa simpati, aku berterima kasih karena kau telah mengkhawatirkanku juga"
"Hmphh. Dasar pemula. Dengar… aku tidak akan mengulanginya lagi, jadi dengarkan aku baik-baik. Aku tidak bertanggung jawab atas keselamatanmu nantinya."
Aku sangat paham dengan kata-kata itu karena aku sendiri datang setelah mengetahui risikonya.
Setelah itu ia pun mulai menceritakan semua yang terjadi padanya dan bagaimana ia mau mengambil misi ini meski bayarannya rendah.
Semua itu berawal dari tawaran temannya yang mengatakan bahwa misi ini akan memberinya bahan pangan sebagai ganti imbalan uang. Hmm… aku sendiri sangat memahaminya dengan betul mengapa kesatria penggerutu ini mau menerimanya, bahan pangan sendiri lebih berharga dari uang. Sebaiknya aku mendengarkannya sebelum ia kembali menggerutu.
Akhirnya ia tiba di desa ini hanya dengan berbekal informasi yang minim. Hanya saja yang ia ketahui adalah peternakan ayam di desa ini mengalami masalah dan sumbernya berasal dari serigala hutan.
Dan benar saja penyerangan serigala itu muncul di malam hari, tetapi naasnya serangan itu terus berlanjut selama tiga hari berturut-turut. Hingga pada akhirnya muncul satu monster yang lebih berbahaya daripada serigala itu sendiri.
Memiliki tinggi lebih dari dua meter dan bertaring panjang. Tubuhnya dipenuhi oleh bulu hitam, tulang punggungnya mencuat keluar tajam, mata merah darah, dan menurutnya yang lebih parah… adalah makhluk ini bisa mengontrol pasukan serigala hutan dengan sesuka hatinya.
Hmm… ini merepotkan. Jadi menurutnya di luar sana ada sesosok makhluk yang dapat menguasai pergerakan serigala hutan dengan sepuasnya. Selain itu jika aku dengar ciri-cirinya, jenis monster seperti ini sangat jarang sekali muncul di sekitar daerah kekuasaan Kerajaan Ronove.
Hal ini bersangkutan dengan kekuatan yang dimiliki oleh sang raja. Pelindung Arkeos—sekumpulan zat Mana yang melebar jauh sekali hingga membentuk selimut transparan. Pelindung ini merupakan penangkal aura hitam yang selalu dimiliki oleh para Tenebris.
Aku sendiri tidak mengerti mengapa makhluk yang berkemungkinan besar ini memiliki aura hitam bisa muncul di dalam Pelindungan Arkeos.
Berbicara tentang kekuatan sang raja, informasi ini bukan lagi sebuah rahasia karena orang-orang yang berada di dalam kota sudah mengetahuinya. Hal ini berkaitan erat dengan pelaksanaan festival kesatria sihir bertahun-tahun lalu.
Bisa aku katakan pelindung ini adalah penangkal mara bahaya ketika festival berlangsung. Tentu saja orang sepenting itu tidak ingin acara tiga tahunan milik kerajaannya kacau balau hanya karena serangan beberapa monster beraura hitam.
Umm… umm. Aku sangat mengerti perasaannya karena aku juga tidak ingin makan siangku terganggu oleh hal-hal kecil seperti dikelilingi oleh seekor ngengat.
"Apa kau sudah meminta bantuan serikat tentang hal ini?"
Ia hanya memberiku gelengan kepala yang lemah. "Sejauh ini hanya dirimu seorang yang datang. Aku tahu selebaran misi itu tidak lengkap karena aku menulisnya terburu-buru, selain kondisiku yang sudah seperti ini… aku tidak tahu harus berbuat apa lagi selain berharap yang terbaik," jelasnya singkat.
"Pernah berpikir untuk melarikan diri?" tanyaku iseng.
"Apa kau menganggapku sebagai pengecut?" tanyanya balik dengan nada tinggi. "Aku adalah seorang kesatria dan sudah tugasku untuk menjalankan misi kemuliaan demi melindungi orang-orang yang membutuhkan pertolonganku. Mau dibawa ke mana harga diriku jika melarikan diri, huh?!"
Aku pun tersenyum tipis.
"Lalu bagaimana dengan penyerangan itu?"
"Sudah ganti lagi? Apa kau benar-benar siap dengan ini, bocah ingusan?"
Sialan juga pria brengsek ini, aku hanya iseng bertanya untuk memastikan apakah ia masih memiliki etika sebagai kesatria atau tidak, tetapi ia malah mengolok-olokku dengan menyebutku sebagai bocah ingusan.
Mungkin sedikit pukulan ringan bisa menjernihkan isi pikirannya.
"Cepat katakan saja sebelum urat kesabaranku putus."
Ia pun tertawa sesaat dengan wajah yang puas. "Mulai malam ini. Setiap malam mereka mengincar ayam dan juga orang-orang desa ini. Aku sudah berusaha sekuat mungkin untuk mengatasinya, tetapi lihat kondisiku saat ini...."
Tentu saja aku bisa melihatnya karena mataku masih sehat.
"Kalau begitu aku akan pergi berjaga. Minumlah obat ini," ucapku lalu melempar ramuan penyembuh ke arahnya. "Anggaplah bayaran informasi tadi, tua bangka"
"Ahahahaha! Bocah ingusan, ternyata kau masih tahu terima kasih juga."
Setelah itu aku pergi keluar untuk melakukan persiapan dan jika ia masih menyebutku bocah ingusan, akan kuberikan terapi syok "terbaik" yang pernah aku pelajari.