Hari semakin petang dan Rosaline belum juga kembali ke kamar. Kumainkan gelas kristal berisi wine di tangan sambil memikirkan semua rencana yang sudah berjalan dengan baik. Tidak, kupikir tidak cukup baik.
Pintu kamarku terbuka, memperlihatkan wanita paruh baya yang masih saja memancarkan kecantikannya. Kuletakkan gelas kristal di atas meja dan menatap wanita cantik itu yang kini duduk di hadapanku.
"Tidak seperti rencana, putramu memang bajingan sesungguhnya," ucap Rosaline dengan penuh amarah.
"Maafkan aku, aku tidak tahu jika mereka ingin menghancurkan Ivy," jawabku sambil menunduk.
Ya, rencana kami memanglah meminta Ivy untuk menggoda ketiga putraku. Dan dengan akhirnya mereka bertiga lepas kendali lalu memperkosa Ivy, tetapi sialnya mereka bertiga berniat menghancurkan Ivy, satu-satunya kunci untuk melepaskan kutukan keluarga Verleon. Ingin sekali aku membunuh mereka bertiga, tetapi apa daya mereka adalah anak-anakku.
"Maaf tidak akan menyelesaikan apa pun, Alex. Ivy sudah di hancurkan oleh ketiga putramu!"
"Jangan hanya menyalahkan ketiga putraku, sejak awal kau sudah mengetahui konsekuensinya. Apa pun caranya kita tetap menghancurkan kehidupan Ivy. Di sini kita memiliki alasan tersendiri untuk menghancurkan gadis malang itu. Jadi, jangan salahkan ketiga putraku, tapi salahkan dirimu yang membawa putrimu sendiri dalam masalahmu!" jawabku yang entah mengapa aku merasa kesal karena Rosaline menyudutkanku.
"Semua adalah salahmu, Alex! Jika saja Arnold-"
"Itu adalah kemauan Arnold yang menerima pekerjaan itu! Jadi jangan salahkan diriku!" potongku.
Benar! Semua terjadi adalah salah Arnold yang menerima tugas itu. Aku hanya meminta dan Arnold yang menerima, tetapi apa yang sudah berlalu kami tidak mungkin memperbaikinya lagi. Kesempatan terakhir hanya pada Ivy.
Ya, kesempatan untuk mematahkan kutukan keluarga ini. Kutukan? Aku sendiri tidak mempercayainya. Selama masih ada hukum yang bisa diperhitungkan, kutukan hanyalah sebuah dongeng di zaman modern ini.
"Aku menggunakan Ivy untuk memecahkan kutukanku, dan kau menggunakan Ivy untuk dendammu. Jadi, kita sama-sama bersalah," putusku dan Rosaline hanya diam sambil terisak kecil.
Kaulah yang menghancurkan Ivy, Rosaline. Wanita itu menghapus air matanya lalu menatapku dengan tatapan nanar.
"Lalu, apa rencanamu selanjutnya?"
"Aku akan mengirim Ivy ke London dan ia akan menyelesaikan kuliahnya di sana. Aku sudah curiga Ivy yang selalu di perkosa oleh ketiga putraku. Aku juga tidak ingin Ivy hamil saat ia masih kuliah," jawabku sambil menetralkan emosiku.
"Baiklah, ia juga meminta untuk berlibur beberapa lama," jawabnya sambil menatapku.
"Bagaimana jika ketiga anakmu itu mencari Ivy?" tanyanya lagi.
"Aku yakin Ivy dapat menghindari ketiga putraku. Dan aku akan membantu menyembunyikan Ivy," jawabku pasti.
Kulihat wajah cantiknya terlihat lega, aku tahu semua kegundahan dalam hatinya. Wanita cantik di depanku ini begitu menyayangi putrinya, sayang sekali dendam pribadi membuat putri cantiknya menderita seperti saat ini.
Bagaimanapun juga, rencana yang telah kususun belasan tahun tidak boleh gagal begitu saja. Asalkan kutukan keluarga ini hilang, aku tidak keberatan menghancurkan hidup gadis itu. Walaupun kemungkinan besar Ivy akan mati, jika terus melanjutkan rencana kami.
"Baiklah, biarkan Ivy tenang untuk sementara. Dan buatlah ketiga putramu itu sibuk hingga melupakan Ivy," jawabnya.
"Aku tahu," jawabku singkat, "rencana kita akan terus berlanjut. Kuharap kau tidak memakai hatimu lagi jika kau ingin membalaskan dendammu," lanjutku.
Ya, semua harus berjalan sesuai rencana. Jika semua sudah terbongkar, mungkin aku akan pasrah jika Ivy ingin membunuhku. Kulihat Rosaline bangkit dan keluar dari ruangan ini, apa yang kulakukan adalah kesalahan besar? Mengingat wanita cantik itu kini hidup denganku, setiap harinya ia selalu dibayangi dengan perasaan bersalah dan dendam.
"Cinta itu menyakitkan, bukan?"
***
Keesokan harinya, Trace yang sudah kembali dari tugasnya kini tengah menyisir surai hitam milik Ivy seperti biasa. Tidak ada perbincangan yang berarti, hingga sebuah suara ketukan pintu terdengar mengganggu ketenangan mereka berdua. Pintu terbuka menampilkan pria paruh baya yang masih saja terlihat tampan itu.
Pria itu sedikit tertegun dengan apa yang ia lihat saat ini, melihat pengawal yang sedang menyisiri rambut hitam milik putrinya terlihat aneh di matanya. Gadis cantik itu menoleh dengan senyum di wajahnya seperti tidak terjadi apa pun. Trace menghentikan aktivitasnya dan memilih mundur beberapa langkah.
"Ivy," panggil Alexander.
"Ada apa, Dad?" tanya Ivy dengan senyuman palsu seperti biasanya.
"Kau ingin berlibur, bukan? Bagaimana jika kau ke London dan berkuliah di sana. Kau bisa kembali ke Amerika setelah kau lulus. Daddy ingin kau kuliah dengan benar di sana ... tanpa pengganggu," Ivy tersenyum mendengar perkataan Alexander.
"Baiklah dengan senang hati," jawab Ivy dengan senyum tulusnya, Alexander tersenyum dan langsung memeluk tubuh Ivy.
"Aku akan menyembunyikanmu dari mereka bertiga hingga kau lulus," bisik Alexander dan Ivy mengangguk paham.
Alexander tersenyum hangat pada Ivy, Trace yang sejak tadi memperhatikan kedua orang itu hanya diam dengan tatapan dingin. Alexander melangkah mundur dan menoleh ke arah lelaki tegap yang tidak jauh darinya.
"Namamu Trace, bukan? Kuharap kau menjaga putriku selama di sana," ucap Alexander dan Trace mengangguk mengerti.
"Saya akan menjaga Nona, bahkan Anda sendiri pun mungkin tidak akan menemukannya." jawab Trace dengan senyum simpul di wajahnya.
Ivy hanya terkekeh, tangan kanannya itu memang memiliki sifat yang cukup menyebalkan di mata orang lain. Alexander hanya terkekeh mendengar gurauan lelaki tampan di hadapannya.
"Aku akan mengurus semua kepergian Ivy, mungkin 2 atau 3 hari kau bisa berangkat secepatnya." jawab Alexander sambil mengelus lembut kepala Ivy.
"Aku menyayangimu, Dad." jawab Ivy sambil memeluk lelaki paruh baya itu.
"Aku juga, sekali lagi maafkan aku." jawab Alexander membalas pelukan putrinya dengan sayang.
Alexander melepaskan pelukannya lalu berjalan keluar kamar, Ivy mendesah lega saat pria paruh baya itu sudah menutup pintu kamarnya. Trace tersenyum melihat Ivy yang kini memasang wajah muramnya.
"Ada apa dengan wajahmu itu, Ivy?" tanya Trace sambil mendekati Ivy dan kembali menyisir surai hitam gadis itu.
"Dia lebih menyeramkan daripada Arnold," jawab Ivy yang kini kembali memilih duduk di kursinya.
"Aku tahu, ia memiliki rahasia yang kita pun tidak mengetahuinya," jawab Trace.
"Kapan misiku akan selesai, Trace?" tanya Ivy dengan suara lirih.
"Membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan misimu yang diberikan oleh Arnold. Ayah kandungmu benar-benar kejam, Ivy." Trace mengelus lembut kepala Ivy, ia tahu apa yang dirasakan Ivy saat ini.
"Persiapkan semuanya, Trace. Ada bahaya yang lebih besar mengancam kita di depan sana," ucap Ivy yang langsung saja mendapat pelukan hangat dari Trace.
"Sesuai perintahmu, Ivy." jawab Trace sambil kembali mengelus rambut Ivy dengan sayang.
***
"Kau akan membiarkan Ivy pergi?" tanya Grim yang saat ini tengah berkumpul dengan kakak dan adiknya di ruang kerja Zerfist.
"Memangnya apa yang bisa aku lakukan saat ini? Menentang Daddy dan membawa Ivy pergi? Kau tahu apa yang akan Daddy lakukan pada kita bahkan pada Ivy?!" jawab Zerfist sambil menyandarkan punggungnya di sofa.
"Lalu apa yang harus kita lakukan selama Ivy pergi?" tanya Spade yang kini menutup buku di tangannya.
"Kita akan memantau Ivy dari sini, meskipun kelihatannya Daddy akan menyembunyikan Ivy dari kita," jawab Zerfist menatap Spade dengan senyum kecilnya.
"Aku masih penasaran, mengapa Daddy mengancam kita dengan harus menghamili Ivy? Bukankah Ivy adik tiri kita?" tanya Grim membuat Zerfist kembali berpikir keras.
"Tetap saja Ivy tidak sedarah dengan kita, mungkin Daddy ingin memiliki cucu," jawab Spade datar.
"Tidak, tidak, tidak. Aku rasa ada sesuatu yang mengganjal dari apa yang terjadi selama ini," ucap Zerfist membuat Grim dan Spade menoleh bersamaan.
"Apa yang kau pikirkan?" tanya Spade.
"Pertama, ada sesuatu yang aneh terjadi di keluarga Verleon. Mengapa Daddy menyembunyikan pernikahannya dengan Mommy Rosaline?"