Elena tak perduli dengan hasil pemeriksaannya. Ketika Dokter Diana mengatakan semua pemeriksaan selesai Elena langsung angkat kaki dan pergi dari sana. Dia ingin menjenguk Diego. Lagipula hari sudah sore, Elena tak mungkin datang ke Wonderfull Cafe untuk bekerja di saat Cafe itu sebentar lagi akan tutup.
Kini Elena sudah berada di ruang rawat Diego. Dokter sudah mengatakan bahwa semua operasi berjalan normal dan hanya menunggu waktu Diego untuk kembali sadar. Namun Diego tak pernah sadar sejak dia masuk ke rumah sakit ini pasca kecelakaan yang terjadi padanya.
Elena menggenggam tangan kanan Diego. Mengenggamnya erat dan menuntun punggung tangan Diego mengusap pipinya.
"Kak, kumohon cepatlah sadar. Kau harus kuat dan bangun. Aku membutuhkanmu." Mata Elena menatap nanar wajah Diego. Wanita itu kembali mengingat apa yang terjadi semalam, saat Brian membentak marah juga menghina Elena dengan kejamnya.
"Kak, aku tau caraku mendapatkan uang untuk membiayai operasimu adalah cara yang salah. Tapi hanya itu yang bisa aku lakukan demi mendapatkan uang dengan cepat."
"Aku juga tau, hal yang aku lakukan ini membuat Elise kecewa padaku. Dan membuat suaminya sangat membenciku. Tapi aku harus menerima semuanya bukan. Inilah resiko yang harus kuterima. Aku akan bertahan kak. Aku akan bertahan walaupun mereka menghina dan merendahkanku. Asalkan kau selalu tetap di sisiku. Asalkan aku masih bisa melihatmu tetap hidup." Airmata mulai mengalir di pipi Elena. Tangisan yang dia tahan kembali pecah.
"Kumohon cepatlah sadar, kak. Aku mencintaimu, sangat mencintaimu." Sekeras apapun Elena memohon, Diego tetap tak memberikan respon atau tanda-tanda dia akan segera sadar. Pria itu seakan begitu tenang dan damai dalam tidurnya.
Tiba-tiba seorang perawat masuk dan hendak melakukan pengecekan singkat. Elena mendongak setelah menghapus airmatanya. Mata Elena membesar melihat wajah perawat yang berdiri di sisi ranjang Diego, sedang mengecek cairan inpus dan alat medis lain yang melekat di tubuh Diego.
"Mira?" gumam Elena pelan memanggil nama perawat itu. Walau sudah bertahun-tahun tidak bertemu tapi Elena masih bisa mengenali wanita yang ada di hadapannya. Dia adalah sahabat Elena saat dia masih berada di panti asuhan.
Perawat itu menoleh ke arah Elena dengan dahi berkerut bingung. Dari mana Elena bisa tau namanya? Setelah dia menatap Elena lama, akhirnya dia tersadar.
"Elena?" ucap Mira yakin. Dari semua orang yang mengenal Elena dan Elise, hanya Mira yang selalu dengan tepat membedakan mereka berdua. Bahkan saat Elena dan Elise berdiri berdampingan dengan baju, gaya rambut dan penampilan yang sama. Bahkan saat Elena mencoba menjahilinya dengan berpura-pura menjadi Elise, Mira dapat menebaknya.
Mendengar namanya di sebut oleh Mira, Elena semakin yakin jika wanita itu memang sahabatnya sewaktu kecil dulu. Elena dan Mira dengan cepat memutari ranjang Diego dan berpelukan bersama. Senyuman terukir jelas di wajah cantik Elena.
"Sudah lama tidak bertemu, Elena."
"Ya, aku tak menyangka bisa bertemu denganmu lagi di sini. Dan...." Elena melepas pelukan itu dan menatap Mira dari atas hingga bawah. Dia merasa takjub dengan keadaan Mira yang kini sudah menjadi perawat sama seperti cita-citanya dulu.
"Kau mewujudkan cita-citamu. Kau menjadi perawat sekarang," ucap elana terharu dan senang .
Dan mulailah kedua gadis itu berbagi cerita hidup mereka. Mira mengatakan bahwa tak lama setelah Elena diadopsi, dia juga didopsi oleh keluarga kaya yang tak memiliki anak. Elena juga menceritakan kisah hidupnya dan siapa Diego untuknya. Tapi Elena tak menceritakan keadaannya yang sekarang. Tentang dia yang terlibat kesepakatan gila bersama Brian dan Elise.
Setelah satu jam mengobrol, Mira hendak pamit karena dia belum selesai bekerja. Elena juga melihat jam di ponselnya. Sudah jam enam sore, dia harus kembali ke apartemen sebelum Brian marah lagi padanya.
Sebelum Elena dan Mira berpisah. Elena meminta bantuan Mira untuk menghubunginya jika ada sesuatu yang terjadi pada Diego dan meminta bantuan temannya itu untuk sering memantau keadaan Diego. Karena Elena tak bisa selalu mengunjunginya dan harus bekerja.
....
Elena baru saja duduk di sofa ruang tengah saat Brian datang. Elena langsung menegakkan punggungnya.
Brian kini sudah berdiri menjulang di depannya. Setiap kali dia melihat Elena entah mengapa amarahnya muncul dengan cepat.
"Diana sudah memberikanku hasil pemeriksaan medismu. Dan berdasarkan hal itu, saat suburmu adalah tanggal lima hingga tanggal dua belas." Brian tanpa salam ataupun basa-basi langsung berbicara pada intinya. Tanggal lima? Itu berarti tiga hari lagi dari sekarang. Jantung Elena berdetak kencang, tak bisa dipungkiri, dia gugup dan tak sanggup membayangkan ada pria asing yang akan menyentuhnya. Dan mengambil keperawanannya.
"Jadi sejak saat ini sampai tiga hari kedepan persiapkan dirimu. Jangan sekali-kali kau berhubungan dengan pria lain. Aku tak ingin anak pria lain kau akui sebagai anakku. Dan selama aku tak datang kemari, jangan coba-coba kabur dariku. Akan kubuat kau menyesal seumur hidup jika kau kabur dariku. Mengerti?" Elena hanya mengangguk pasrah. Tanpa bisa membantah ataupun menyangkal tuduhan Brian. Lidahnya seolah kelu setiap kali mata tajam Brian menatapnya. Entahlah, Elena merasa terintimidasi dan merasa bersalah sudah memanfaatkan kelemahan Elise.
Brian terdiam menelisik wajah Elena. Wanita dihadapannya ini sangat berbeda dengan Elise. Sangat berbeda hingga rasanya Brian ingin sekali meremukkan semua tulang-tulang Elena. Puas dengan kepatuhan Elena dan anggukkan kepala gadis itu, Brian langsung berbalik dan pergi meninggalkan apartemen itu. Dia terlalu muak untuk berlama-lama berdua dengan Elena.
....
Brian tersenyum melihat Elise yang menyambut kedatangannya di Mansion. Senyum yang sangat jarang dia perlihatkan pada orang lain selalu muncul jika berhadapan dengan Elise. Bagi Brian kebahagiannya sederhana, hanya melihat wanita yang dia cintai tersenyum.
Brian berjalan menghampiri Elise dan memeluknya erat. Sesekali dia mencium kening istrinya. Elise juga memeluk pinggang Brian. Bersandar dalam dada bidang suaminya yang hangat.
Elise merenggangkan pelukannya dan menengadah untuk menatap wajah Brian.
"Bagaimana hasilnya? Elena sehatkan? Dia memiliki tubuh yang subur dan bisa cepat hamil, kan?"
Kening Brian mengerut. Dia tak suka Elise membicarakan kembarannya itu. Membuat pria itu harus mengingat kembali kekesalannya akan Elena. Wanita yang memanfaatkan kesusahan Elise demi uang semata.
Brian berdecak tak percaya dan menarik hidung Elise dengan gemas.
"Suami baru pulang, seharusnya kau bertanya 'apa sudah makan?', 'apa hariku di kantor berjalan lancar'. Tapi kau malah menanyakan padaku tentang wanita lain." Elise mendengus pelan.
"Bagaimana harimu di kantor?" tanya Elise malas. Dengan mengerucutkan bibirnya. Membuat Brian gemas dan dengan cepat mengecup bibir itu.
"Semua berjalan lancar."
"Jadi, bagaimana hasilnya?" Elise bertanya kembali. Dia sangat penasaran dengan hasil pemeriksaan medis Elena.
"Kau tak ingin menawariku makan malam terlebih dahulu?" goda Brian yang membuat Elise semakin mengerutkan wajahnya kesal. Dia tau Brian hanya mencari alasan untuk menghindar dari pertanyaannya.
"Aku sudah memasak sop iga kesukaanmu." Brian tertawa melihat wajah Elise yang sudah bertekuk. Dengan cepat dia mencium bibir istrinya lagu.
"Aku lapar tapi tak ingin memakan itu," jawab Brian sambil menatap intens mata Elise.
"Lalu?"
"Aku ingin memakanmu," bisik Brian dengan suara beratnya di dekat telinga Elise. Dan lidah nakalnya menjilat daun telinga Elise. Menyulut gairah di tubuh Elise. Brian semakin gencar mencium dan menghisap leher Elise. Membuat wanita itu semakin gelisah dan mendesah pelan saat Brian memberikan kissmark di lehernya.