At ALVAROS Skyscrapers. Jakarta Pusat—Indonesia. 12:00 AM.
Siang hari ini, cuaca di Ibukota tampak cerah dengan matahari yang berdiri kokoh di tengah-tengah langit.

Mobil dengan merek Rolls-Royce Sweptail baru saja masuk, kemudian berhenti tepat di depan pintu kaca berukuran besar. Seorang pria berkacamata hitam keluar, tanpa ada yang tahu—sebuah pistol mematikan bersarang di balik setelan jasnya. Dia adalah Lucas Zaviero. Lucas benci musim panas, apalagi di Negara Asia Tenggara ini sedang panas-panasnya. Meskipun demikian, Lucas tetap mematuhi perintah Tuannya
Lucas pun masuk. Dia tersenyum membalas setiap karyawan yang menyapanya. Tentu saja semua orang disini mengenalnya, karena dulu dia pernah di tugaskan untuk menjadi manager di perusahaan ini oleh Diego. Tapi sekarang, karena keahliannya dalam menjinakkan bom dan menembak membuat Diego merubah posisinya sebagai seseorang yang paling ditakuti banyak orang—pembunuh bayaran, atau yang lebih mengerikan—Lucas memang tidak menggunakan sisi kemanusiaannya ketika membunuh. Terlalu sadis, menyakitkan—namun tidak ada bedanya dengan Diego Alvaro.
Diego dan Lucas. Mereka benar-benar memiliki kesamaan. Sama-sama kejam.
Well, kali ini dia punya korban seorang perempuan lagi. Sepertinya Diego Alvaro senang sekali punya masalah dengan seorang perempuan. Yeah... suruh siapa Tuannya itu memiliki wajah begitu tampan dan di gilai kaum hawa? Sampai-sampai Nona Irene marah dan memutuskan hubungan mereka berdua.
Hubungan Irene dan Diego yang retak, Lucas tahu alasannya. Jadi, sebelum dia pergi ke ruangan dimana si jalang itu—Katherine berada dan membawanya ke ruang bawah tanah, Lucas sebenarnya ingin meluruskan permasalahan yang terjadi sekarang dengan bukti—rekaman cctv—yang dia pegang untuk diberitahukan pada Irene. Dan... Boom! Tepat setelah dia mendapatkan buktinya dia malah langsung bertemu dengan Irene. Lucas ternyata tidak perlu repot-repot mencari wanita itu.
"Nona Irene."
Tidak dapat menghindar, Irene terpaksa untuk berhenti karena Lucas berdiri tepat di depannya. Menghapus air matanya kasar, Irene mengangkat kepalanya untuk menatap Lucas. Wajahnya masih di derai air mata, tapi nampaknya karena kemarahan yang dimilikinya malah bukan menunjukkan kesedihan dari air matanya—tapi benar-benar sebuah amarah yang begitu besar didalamnya. Irene marah. Dan Lucas tahu itu.
"Kau?! Kenapa kau—"
Irene hendak mengeluarkan kalimat protesnya ketika Lucas lebih dulu menjulurkan sebuah flashdisk tepat di depan matanya.
"Lebih baik Anda melihat ini dulu, Nona." potong Lucas cepat, memaksa.
Irene melihat flashdisk di depannya, lalu mengerutkan kening ketika menatap Lucas. "Apa pentingnya untukku?" ucapnya ketus.
Lucas menarik napas, lalu menghembuskannya. Irene mengamati ketika lelaki itu menjauhkan dirinya, berbalik, lalu...
"Aku bisa memperbaiki hubungan kalian. Terutama dugaanmu pada Tuan. Kau akan tahu semuanya. C'mon, ikuti aku." tegas Lucas.
Irene tertegun. Terus melihat punggung Lucas yang mulai menjauh, sementara kaki Irene tiba-tiba terasa kaku. Apa yang mau ditunjukkan Lucas padanya? Kenapa dia merasa takut jika yang dia lihat malah...
"Nona?" Lucas menghentikan langkah, melirikkan kepalanya kebelakang dan kembali bersuara, cukup mengagetkan Irene disana.
"Ba—baiklah." Irene tahu dia harus melakukan ini. Irene yakin Diego tidak seperti yang dia pikirkan.
Irene mengikuti Lucas yang pergi menuju suatu ruangan yang berada di ujung lorong. Ruangannya tidak terlalu jauh dari tempat Irene berdiri.

Mereka pun sampai, Lucas lebih dulu masuk, menahan pintu agar tetap terbuka dan mempersilahkan Irene masuk.

Irene bergerak tanpa sadar mendekati layar melengkung megah yang tampak berkilauan di depannya. Cahaya biru terang terlihat di permukaan kedua bola matanya. Seketika Irene terpana melihat keindahan dari dalam ruangan ini. Irene bisa langsung menebak kalau Lucas membawanya ke dalam studio gallery. Banyak gambar-gambar berdimensi; seperti peta kota, benua, dan daftar-daftar yang Irene tidak mengerti. Tapi sungguh... suasananya membuat mata siapapun serasa dimanjakan. Sangat canggih, dipenuhi cahaya, menakjubkan. Kata-kata itu seolah belum cukup untuk menggambarkan keindahan yang Irene lihat saat ini.
Lucas berdiri tepat di depan meja layar sentuh berteknologi canggih. Jemari kokohnya mengutak-atik layar bersinar biru itu.
"Belum pernah satupun karyawan di kantor ini yang masuk kedalam gallery milik Tuan. Hanya kami—orang kepercayaannya dan dirimu. Wanita yang dia cintai." gumam Lucas.
Irene yang semula sibuk menjelajahi isi ruangan mendadak diam mendengar kalimat Lucas.
"Maaf jika saya lancang, Nona," jeda Lucas, memasukkan sebuah flashdisk ke sisi bagian kanan meja dan menekan tombol play. "Dugaanmu pada Tuan benar-benar salah. Akan aku tunjukkan buktinya. Lihatlah kemari." pinta Lucas, mundur satu langkah untuk menatap Irene.
Irene mengangguk, langsung mendekati meja layar sentuh tersebut dan menumpukan tangannya disana.
Sebuah video pun di putar. Irene tampak serius memperhatikan video berisi rekaman Diego dan Katherine. Sementara Lucas sibuk berbicara—menjelaskan detailnya. Dan setelah itu... sudut bibir Irene terangkat. Karena semuanya telah terungkap. Oh, Jesus... ternyata Irene lah yang salah. Diego.... Pria itu...
"Dimana Diego? Apa dia masih disini?" tanya Irene panik.
Lucas tersenyum penuh arti. Dia menundukkan kepalanya ke arah telinga Irene. Irene sempat terkejut dengan gerakan Lucas yang mendekatinya, tapi Irene membiarkan.
Lucas berbisik padanya—mengatakan sesuatu. Dan sekarang, Irene malah menahan senyumnya.
•••
At ALVAROS Apartment. Jakarta Pusat—Indonesia. 12:30 PM.
Langit masih terik ketika mobil Lamborghini hitam berhenti di halaman apartemen Alvaro. Bodyguard bergegas membukakan pintu dan Diego keluar. Rahang Diego menegang, serasi dengan tatapan matanya yang setajam elang.


Diego bergegas melonggarkan ikatan dasinya sembari melemparkan jasnya asal di undakan. Lelaki itu tidak memedulikan sapaan yang diberikan para bodyguardnya—hanya menatap lurus ke depan dengan tatapan kelam, mengambil langkah lebar-lebar dan langsung masuk ke dalam.
Diego marah.
"Kak Diego? Kenapa kau datang kemari? Bukankah Daddy dan Mommy yang akan menemuimu di rumah Kakak ipar Ire—"
"Minggir!" potong Diego cepat.

Dylan mengerutkan kening. "Kak! Kau kenapa? Wajahmu menyeramkan sekali. Aku jadi takut."
Diego tidak mengindahkan, berjalan menjauhi Dylan. Dylan memegang lengannya. Diego langsung berhenti, dia menoleh, menatap Dylan yang juga menatapnya dengan tatapan mengejek. "Ohohoho, apa kau bertengkar dengan Kakak ipar, Kak?" godanya.
Diego menghembuskan napas kasar.
"Dylan Alvaro. Lepaskan. Tanganku." tekan Diego, menatap Dylan tajam.
Dylan menelan ludah, langsung melepaskan cekalannya di lengan sang kakak dengan bibir mencebik. Lalu setelah itu Diego dengan cepat meninggalkan Dylan—hendak pergi menuju kamarnya.
"Diego..." Diego hampir membuka pintu kamarnya ketika suara Sean Morgan Alvaro terdengar. Sean sudah berjalan mendekatinya dan ditemani oleh Dave yang mengikuti di belakang. Diego menghembuskan napas panjang, kemudian membuang pandangan.
"Jika Daddy mengira akulah yang salah, maka jawabannya—"
"Tidak... aku hanya ingin bertanya padamu," potong Sean sembari menatap Diego lekat-lekat. "Apa yang kau dapatkan dengan memberi pelajaran pada wanita pelacur itu, sementara calon istrimu kau kecewakan?"
Diego mengepalkan tangan.
"Diego..." Sean menatap Diego putus asa sembari memijit kening. Dasar anak nakal! Mungkin Sean masih bisa memaklumi tingkah laku anaknya yang terbilang berani, lagipula itu biasa, tapi sayangnya... itu malah menjadi bumerang untuk Diego sendiri. Aish! Apakah putra sulungnya ini tidak menggunakan otaknya?!
"Dad, please... Aku sedang pusing. Kepalaku ingin pecah menghadapi perempuan itu!" Diego berteriak kesal, dia menunjukkan rasa frustasinya terang-terangan dengan mengacak rambutnya. Meremasnya kuat.
Sean menarik napas tajam, kemudian menatap Diego penuh peringatan. "Aku ingin ini adalah terkahir kalinya kalian dalam masalah. Bersikaplah sebagai jantan! Kejar Irene dan bilang padanya kalau kalian akan menikah."
Aku memang akan menikahinya. Tapi semua ini terlalu rumit, aku bahkan tidak yakin dengan rencanaku untuk mendapatkannya akan berhasil. Batin Diego.
Well, semua rencana Diego beberapa saat lalu ketika Irene baru memutuskan hubungan mereka, sama sekali belum Diego lakukan. Entah apa yang membuat Diego mengurungkan niatnya. Diego lelah. Beban dipundaknya semakin terasa berat karena masalahnya dengan Irene. Sebenarnya, Diego bukanlah orang yang ragu dengan keputusannya sendiri. Lelaki itu hanya terlalu berhati-hati jika menyangkut Irene. Irene bukan orang biasa, dia wanitanya... dia hidupnya... wanita yang dicintainya... Karena itulah, Diego Alvaro yang biasanya terkenal cekatan dan tidak pernah plin-plan malah terlihat sebaliknya. Dan itu semua hanya karena seorang wanita, yaitu Bae Irene.
Diego mengambil napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Memejamkan matanya sebentar—mencoba tenang.
"Itu pasti, Dad. Aku hanya butuh istirahat sebentar. Putramu ini bisa melakukan semuanya. Jangan khawatir." ujar Diego.
Sean mengangguk, lalu kemudian mereka berpisah karena Diego langsung masuk kedalam kamarnya. Sean yang masih berdiri di depan pintu Diego yang tertutup hanya bisa menghela napas berat. Dering telpon tiba-tiba berbunyi, membuat Sean terlempar keluar dari pikirannya.
Lucas is calling...
Sean langsung mengangkatnya.
"Ya?"
"...."
Kata-kata Lucas terdengar serius di telepon, tapi ternyata cukup membuat Sean tersenyum ketika mendengar laporan dari lawan bicaranya.
•••
Irene berjalan mondar-mandir. Dia masih berada di Gallery room bersama Lucas. Sesekali jemarinya yang lentik menyugar rambut hitamnya, menariknya, dan mengacaknya kesal. Suasana hatinya yang tak kunjung membaik hanya memperburuk semuanya dan membuatnya nyaris mencapai titik batas kewarasannya.
Tadi Irene memang merasa senang setelah mengetahui semuanya. Dia juga senang ketika Lucas memberinya saran untuk membuat hubungannya dengan Diego kembali seperti semula. Tapi jika dipikir-pikir lagi... Oh Tuhan! Dimana gengsinya?! Kemana perginya Irene yang marah itu? Bagaimana bisa Irene menemui Diego dan membujuknya untuk memaafkannya setelah dia menolak mentah-mentah permintaan maaf Diego padanya bahkan lelaki itu sampai berlutut di bawah kakinya?!
What the hell...
Irene bisa gila. Irene bahkan bisa membayangkan bagaimana nanti tatapan kemenangan Diego. Astaga...
Tapi kau harus melakukan itu Irene! Jangan bodoh! Kau mencintai laki-laki itu! Maka berjuanglah! Kau jangan terus seperti wanita tidak tahu diri seperti ini! Tidak apa jika kau harus mengaku salah, karena itu artinya kau orang yang berani. Kau bukan pengecut. Maka dari itu lakukan saja—temui Diego, minta maaf padanya, lalu bilang padanya kalau kau masih mencintainya. Kau masih menjadi milik seorang Diego Alvaro! Rebut kembali hatinya! Fighting!
Irene membuka mata. Merasakan jika apa yang dikatakan hatinya memang benar. Helaan napas terdengar, Irene berusaha untuk mengumpulkan kembali keping-keping kewarasannya.
"Lucas... Thank you so much. Aku berhutang budi padamu." ucap Irene tulus, tersenyum lembut.

Lucas membalasnya, ikut tersenyum. "Tidak... tidak. Aku senang melakukan sesuatu untukmu, Nona. Aku juga senang melihat kau tersenyum seperti ini."
Irene mengangguk pelan. Lalu setelah itu dia pamit pada Lucas, tapi sebelum Irene benar-benar pergi dia melihat Lucas yang memberikan semangat padanya dengan mengangkat tinggi-tinggi kedua tangannya yang terkepal sembari tersenyum lebar. Saat melihatnya Irene tidak tahan untuk tertawa. Lucas sangat baik. Irene beruntung memiliki teman seperti Lucas.
Padahal Irene sangat tahu... jika Lucas adalah mata-mata Diego sekaligus pembunuh bayaran berdarah dingin. Tapi bukannya merasa takut, Irene malah merasa nyaman ketika di dekat Lucas. Seperti rasa nyaman yang diberikan teman pada temannya. Irene juga butuh itu. Dan dia mendapatkannya dari Lucas. Irene juga masih ingat dia pernah melakukan misi berbahaya pertama kalinya bersama Lucas.
Sekarangpun seperti itu, lagi-lagi Irene dan Lucas membentuk misi baru.
•••
At ALVAROS Apartment. Jakarta Pusat—Indonesia. 16:00 WIB.
Tok tok tok

Diego terkejut. Seketika itu tubuhnya membatu. Irene sudah ada di balik pintu. Diego memang langsung membuka pintu kamarnya begitu suara ketukan terdengar, karena Sehun bilang dia akan kemari. "Hai? Ini aku... Irene." ucap Irene kaku.

Diego kehilangan kata-kata. Rasanya seperti bumi akan runtuh dibawah kakinya. Irene... wanita ini... menemuinya? Apa Diego bermimpi?
"Aku... masih boleh menemuimu kan?" tanya Irene ragu-ragu.
Karena tak kunjung ada jawaban, Irene memperhatikan Diego. Wajahnya terlihat pucat dan berantakan. Mata biru Diego juga sedikit memerah—seperti habis menangis. Atau... entahlah. Irene tidak tahu. Tapi Irene merasa jika Diego seperti orang yang terpukul.
"Aku menyerah. Aku juga mengaku jika aku cemburu melihat kau dan Kath—"
"Kau benar-benar Irene? Apa aku sedang berkhayal?" tanya Diego sembari memicingkan mata—pandangannya tidak yakin. Tak lama kemudian pandangannya berubah putus asa.
"Diego...."
"Oh, Jesus! Pasti aku sudah gila melihat wanita yang terus membayangi kepalaku kini malah ada di depan mataku. Astaga... Dimana air? Aku ingin menyiram kepalaku!" ucap Diego, kata-katanya seperti mengigau.
Irene ingin menangis. Diego terlihat linglung... Irene tidak menyukainya. Irene lebih suka melihat Diego yang menyeramkan daripada ini.
"Diego... ini benar-benar aku. Irene." ucap Irene lagi.
Diego malah menggeleng. Dia berkali-kali mengedipkan mata dan mengucek matanya, tampak memastikan sesuatu. "Lihatlah... Sekarang aku malah mendengar suara dari wanita itu. Ini menggelikan." katanya lagi, tertawa kecil.
Ya Tuhan... Diego kenapa? Batin Irene.
"Diego... Aku Irene! Aku disini!" ucap Irene.
"Tidak tidak tidak! Tidak mungkin!" ucap Diego cepat, berbalik, bergerak menjauhi Irene. "Wanita itu tidak mungkin disini! Apalagi sampai menemuiku. Dia bilang kalau aku dengan dia sudah putus! Irene dan aku—" ucapan Diego terpotong.
"Diego... please." ucap Irene lirih. Irene menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, terus berdoa dalam hati—berharap Diego sadar akan kehadiran dirinya.
Diego terdiam. Irene menatap punggung Diego yang naik turun. Lelaki itu tiba-tiba meliriknya, kemudian berbalik. Dia berjalan mendekat Irene, sampai kemudian berdiri tepat di depannya.
"Kau..." Diego bergumam, mata birunya membesar. Tubuhnya tiba-tiba menegang. "Irene?"
Irene mengangguk. "Yes. I'm here, Diego."
Diego membeku mendengar suara gemetar Irene. Kebingungan. Itu bukan kata-kata yang pernah Diego bayangkan untuk dia dengar, tapi kebahagiaan liar perlahan meledak didalam dirinya, meredam emosi dan putus asa yang mengguncang hatinya. Bergeming, Diego berusaha menyerap hilangnya kekacauan yang mendadak itu. Hanya Irene yang bisa mengguncangnya begitu dalam. Detik-detik yang dia lalui sekarang seperti mimpi, dan Diego tidak ingin bangun. Ini terlalu indah.
"Aku minta maaf. Aku yang salah," Irene mengepalkan tangan, menahan isakannya. "Mungkin aku tidak bisa menemui pria yang lebih baik dari dirimu di kehidupan selanjutnya. Dan aku tidak ingin itu terjadi. Tapi aku benar-benar percaya... kau tidak mungkin selingkuh. Aku tahu benar kalau kau mencintaiku."
"Aku wanita bodoh. Bisa-bisanya aku mengakhiri hubungan kita sementara kau sedang berjuang sendirian. Kau bahkan sudah melakukan banyak hal untukku. Kau melindungiku... menyayangiku... memberikan segalanya untukku..."
"Irene..."
"Diego, tolong... Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus mundur? Apa wanita seperti diriku masih pantas mendapatkan cintamu?" tanya Irene pelan, menahan air mata.
"Tidak, Irene... tidak." Diego menggeleng cepat.
"Aku seperti monster, kau tahu?" tanya Irene lagi, kali ini Irene menangis. "Coba katakan... sudah berapa kali aku bertindak bodoh? Lima kali? Sepuluh kali? Seratus kali?" isak Irene pelan.
Diego menggeleng lagi.
"Kau bahkan tidak mampu menjawab. Sepertinya kata-kata mereka itu benar. Aku tidak pantas untukmu." Irene tertawa sumbang.
"Kali ini aku tidak akan menuntutmu. Tenang saja... kau sudah bebas. Aku pastikan kau tidak akan direpotkan lagi."
"Irene..." Diego menatap Irene tidak percaya.
"Aku tidak pantas untukmu."
Irene terus terisak, sekalipun isakannya tidak sekeras tadi. Haha, mungkin karena dia sudah tidak memiliki tenaga lagi. Tenaganya sudah benar-benar habis untuk menangisi kebodohannya. Menangisi hidupnya. Irene masih ingat saat dia mencampakkan Diego, dan sekarang dengan tidak tahu malunya dia datang kemari—meminta maaf. Sialan. Hidupnya dikutuk. Dia tidak pantas hidup.
Namun begitu Irene merasakan ada sebuah tangan yang menarik tubuhnya. Semua hal buruk yang sempat dia pikirkan tadi langsung hilangz tergantung oleh jantungnya yang berdegup kencang.
Diego memeluknya.
"Sstt... Berhenti mengatakan kau tidak pantas untukku. Ini perintah." ucap Diego serak.
Mendengar itu, pertahanan Irene runtuh. Dia menangis di dada Diego dan menjerit sekeras yang dia bisa. Dia tidak peduli jika langit akan runtuh atau bumi tidak lagi berputar. Yang Irene inginkan adalah membuang semuanya sejauh yang dia bisa dan kembali ke pelukan Diego yang menenangkan. Pelukan prianya, cintanya, dan ayah dari anak-anaknya. Tidak ada yang lebih Irene butuhku selain Diego.
"Jadi... kau sudah tahu semuanya? Termasuk tujuanku melakukan itu?"
Irene mengangguk cepat. "Kau juga sebenarnya salah! Kenapa kau malah melakukan hal yang bisa membuatku salah menilaimu, Diego?!" erang Diego kesal.
Diego malah tersenyum menyebalkan. "Aku dan Katherine hanya teman kerja."
"Stop! Aku tidak mau ada orang lain! Kau untukku saja!" tangis Irene kembali pecah. Diego tersentak, makin memeluknya.
Irene melembut di pelukan Diego.
"Memang. Alasanku bertahan hidup hanya karena kau." gumam Diego di telinga Irene. Mendekapnya erat. Memberikan kehangatan dari tubuhnya yang ramping dan keras. "I'm yours. Only yours."
"Aku benci sekretarismu itu! Aku benci Katherine!" Demi Tuhan, hati Irene sakit. "Aku mencintaimu, Diego. Sangat. Mengertilah... aku tidak suka kalau kau dekat dengan wanita lain. Apalagi sampai selingkuh. Itu akan menghancurkan hubungan kita."
"Aku akan membunuh diriku sendiri jika itu terjadi." gumam Diego sembari mengelus punggung Irene. Pria itu membelai punggungnya penuh kasih sayang. Irene menghirup aromanya, menghirup aroma kulit Diego yang menggoda.
Diego baru melepaskan pelukan ketika tangis Irene telah berhenti. Lalu ditatapnya dengan lekat wajah cantik Irene yang telah berhasil meruntuhkan arogansinya sebagai seorang pria.
"Ayo kita memulai semuanya dari awal. Bagiamana?" tanya Diego, menatap Irene lekat-lekat.
Irene mendongak, balas menatap Diego. "Kau yakin?"
"Tentu saja aku yakin. Kita berawal dari teman, tapi teman tidur. Aku tidak mau itu." ujar Diego.
"Jadi... maksudmu?" tanya Irene lagi.
Diego tersenyum penuh arti. Tapi wajahnya saat ini menunjukkan jika dia benar-benar serius.
"Aku ingin membuat kenangan yang indah. Ralat. Lebih indah. Kau harus bahagia ketika kita bersama. Tidakkah kau tahu, Irene? Kau itu spesial."
Sontak ucapan Diego barusan membuat hati Irene berdesir hangat, rasa gugup menyelimuti dirinya.
Irene memejamkan matanya ketika wajah Diego begitu dekat dengan wajahnya.
Diego menciumnya. Bibir pria itu mulanya terasa dingin, menyentuh bibir Irene yang lembut. Mengecupnya dengan hangat. Ciuman itu makin intens. Lidah keduanya saling membelai—saling memburu, menginvasi seluruh mulut Irene dan menekan kepalanya untuk memperdalam ciuman mereka. Tubuh Diego bergetar, terhanyut ketika menyadari jika ciuman ini tidak didasari oleh nafsunya. Dia melakukannya karena cintanya, cinta tulusnya pada Irene.
"Kau mau kan?" tanya Diego begitu ciuman mereka terlepas.
Pipi Irene memanas. Sialan.
"Ya ya ya! Tentu saja aku mau!" Irene berteriak sebal, tapi di detik selanjutnya dia malah tertawa. Tawanya menular, Diego ikut tertawa.
Irene menerima Diego apa adanya, begitupun sebaliknya. Dia tidak peduli dengan sosok Diego yang penuh rahasia; kadang-kadang menyeramkan, menenangkan, menyakitkan, ataupun membahagiakan. Irene sudah kebal dengan itu semua. Sedangkan bagi Diego... Irene adalah perempuan langka. Kenapa langka? Karena dia satu-satunya wanita yang mampu membuat sisi manusianya kembali hidup. Semua yang ada pada Irene seakan menarik sisi iblisnya untuk keluar dan pergi sejauh-jauhnya. Dan itu malah membuat Diego kembali merasa bahwa dia masih memiliki hati. Dan hati itu ternyata memang menjadi milik Irene. Diego yang kejam, bisa berubah menjadi sosok pria yang memiliki hati sebaik malaikat saat dihadapkan dengan Irene. Cinta itu datang begitu saja. Dan Diego mengizinkan itu.

#DIEGO & IRENE; SEASON 01 END#
•••
HOPE YOU LIKE IT GAIS!!!
JANGAN LUPA LIKE KOMEN DAN SHARE KE TEMEN KALIAN YAAA😆
TULISKAN SCENE MANA YANG PALING KALINA SUKA DARI CERITA INI ^^
Ina mau 300+++ like untuk chapter ini sama komen yang banyaaaak.
Btw akan ada satu prolog dan sneak and peak sebelum Diego & Irene #SEASON2 diteruskan di work ini juga.
Jangan di skip ya! Pokoknya harus baca😭
Terimakasih juga udah ikutin Ina, nemein Ina sampai sekarang. Makasih banget yang udah nunggu Ina update lama:') Terharu aku tuh. Ina emang gak bisa bales semua komen, tapi percayalah... kalian semua udah berasa jadi Keluarga Ina. Makasih untuk segala dukungannya. Pengen banget aku ketemu kalian😭
See you soon. Sayang kalian!😘
With♥️
Ina.
Jangan lupa follow Instagram :
@nainaarc
@diego.alvaro01
@bae.irene01