Partner in crime, sebuah hubungan yang mereka jalani. Hanya sebatas sahabat tapi terkadang melebihi kekasih. Chakra adalah moodboster Lova, selalu jadi tempat bercerita saat dia senang, sandaran saat dia bersedih. Chakra selalu mengusahakan bahwa apapun keadaannya, dia harus bisa berada di samping Lova saat gadis itu membutuhkannya. Pria itu selalu menyediakan bahu untuk tempat bersandar, jari untuk menghapus airmatanya, dan tangan yang senantiasa menggenggamnya kemanapun mereka pergi.
Bagi Chakra, Lova memiliki tempat tersendiri di hatinya. Bukan sebatas sahabat namun juga bukan sebagai kekasih. Meskipun banyak orang yang bilang hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan itu tidak lepas dari yang namanya love and lust….
***********
"Kalau gue udah berhasil move on, mungkin akan gue pertimbangkan, Chak," gumam Naka pelan.
Naka tengah menunggu pesanan martabak langganan mamanya saat serbuah pesan masuk lewat aplikasi grub whatshupp-nya. Pria itu menaruh ponsel di saku jaketnya, kemudian melihat ke sekeliling sembari menunggu pesanan martabaknya dibuat oleh Mang Mamat.
Kedai martabak yang berada di jalan Panglima Sudirman ini memang ramai karena terkenal dengan kelezatannya. Topingnya yang banyak dengan harga yang sangat terjangkau menjadi alasan para pelanggan menyukai martabak buatan Mang Mamat. Naka sudah sering membeli martabak di sini, entah untuk mamanya atau pun makan di tempat dengan orang terdekat.
Ekor matanya menangkap sosok yang tadi tengah jadi perbincangan di grub. Gadis itu hanya memakai pakaian rumahan, kaos kebesaran warna hitam dan celana di atas lutut warna putih. Dia juga hanya memakai sendal jepit. Rambut dicepol ke atas dengan anak rambut yang dibiarkan terurau di sekitar pelipis.
Naka tersenyum kecil saat melihat Lova hampir tersandung kakinya sendiri. "Ceroboh," gumamnya pelan.
Retina mata mereka saling bertubrukan saat Lova menoleh ke arah Naka yang memang sedari tadi mengamati gadis itu. Naka dapat melihat gadis itu terdiam kaku di tempatnya. Pria itu memutuskan untuk menghampiri Lova.
Lova hanya bisa merapalkan kalimat penenang jantung saat Naka berjalan menghampirinya. Gadis itu menelan ludahnya berkali-kali karena gugup.
"Sering beli martabak di sini?" tanya Naka pada Lova.
"Hah? Enggak," sahut Lova cepat. "Ehm, maksudnya. Ini kali pertama beli sendiri, biasanya Mama yang beli," imbuhnya kemudian tersenyum canggung.
"Oh." Naka hanya manggut-manggut.
Lova mengalihkan tatapannya ke sekeliling asalkan tidak ke arah Naka. Degub jantungnya semakin menggila saat mata mereka saling bertubrukan.
"Gue denger dari Chakra, nanti sore kalian mau ketemuan. Kalian udah baikan?" tanya Naka memecah keheningan.
"Kita nggak berantem kok," sahut Lova cepat. Sensensitif itu jika nama Chakra disebut-sebut.
Naka tertawa kecil melihat reaksi Lova yang menurutnya lucu. "Jadi gimana?"
"Apanya?" tanya balik Lova.
"Hubungan kalian," sahut Naka.
Lova menghela nafasnya pelan. "Setelah gue fikir-fikir, nggak ada salahnya temenan sama dia. Walaupun tingkahnya itu nyebelin, bikin gue ngamuk terus, darah tinggi gue kumat. Pemaksa, otoriter. Duh, ngeselin pokoknya," cerocosnya setengah mengomel.
Lagi-lagi Naka tersenyum mendengar omelan Lova tentang sahabatnya. "Lo kayaknya udah tau banget sama kebiasaan dan juga sifatnya Chakra," oceh Naka.
Lova hanya mencibir.
"Tapi lo perlu mengenal dia jauh lebih deket untuk tau kalau sifatnya lebih baik dari itu." Naka tersenyum tipis.
"Lo mau gue ngasih dia kesempatan?" tanya Lova menatap manik mata Naka.
"Enggak." Naka menggeleng pelan. "Yang paling penting itu keputusan lo, Va. Gue cuma bilang kalau Chakra itu orang baik."
Lova dan Naka saling bertatapan.
"Ehm." Naka berdehem dan mengalihkan tatapannya ke arah lain.
Begitu juga dengan Lova yang memilih menunduk menatap sendalnya. Dalam hati ia merutuki penampilannya yang seperti gembel. Bertemu dengan pujaan hati dengan penamplan yang super absurd. Hukum alam memang seperti ini. Tamil cantik tapi tak bertemu kenalan, eh, pas tampil gembel malah ketemu kenalan. Nasib, nasib.
Kecanggungan menguasai suasana di antara mereka berdua. Mereka hanya berdiri saling berhadapan tanpa berniat untuk mengobrol lagi. Sampai akhirnya Mang Mamat menyerukan nama Naka karena pesanan pria itu sudah selesai di masak. Naka pamit pada Lova dan berjalan menuju kedai untuk membayar dan mengambil bungkusan berisi martabak.
"Lo sering beli martabak di sini? Penjualnya sampai hafal nama lo," oceh Lva saat Naka sudah kembali ke hadapannya. Tadi dia sempat melihat keakraban Naka dan juga si penjual martabak.
"Sering banget, udah langganan," sahut Naka. "Mau gue tungguin? Sekalian gue anter pulang," tawarnya kemudian.
"Eh, enggak usah," tolak Lova.
Naka diam sebentar. "Serius? Nggak mau diantar pulang?" tanyanya sekali lagi.
"Mau banget sih," oceh Lova dalam hati. "Tapi jantung gue belum siap kalau harus duduk satu mobil sama lo."
"Va, gimana?" panggil Naka karena Lova malah melamun.
"Hah?" Lova tersenyum kecil karena malu. "Beneran, Ka. Nggak usah di antar. Rumah gue 'kan deket," ocehnya kemudian.
"Oh, ya udah. Kalau gitu gue pamit pulang duluan ya," ucap Naka pamit pergi.
"Hehm, hati-hati di jalan," sahut Lova tersenyum semanis mungkin.
Lova masih terus menatap punggung Naka yang menjauh. Bahkan saat Naka sudah menghilang ke dalam mobil dan kendaraan beroda empat itu bergerak menjauh.
"Neng!" teriak Mang Mamat pada Lova.
"Apa, Mang?" seru Lova tersentak kaget.
"Ini martabaknya udah jadi. Bengong aja dari tadi. Kesambet lho nanti," oceh Mang Mamat membuat Lova tersenyum malu.
"Makasih, Mang." Lova mengambil pesanannya setelah membayar dengan uang pas.
Sepanjang perjalanan dari kedai martabak ke rumahnya, Lova tak henti-henti tersenyum mengingat kejadian tadi saat di kedai martabak. Menurutnya, ini hari keberuntungannya karena bisa ketemu dengan pria tampan pujaan hatinya. Bahkan saat ia sudah memasuki halaman rumahnya, ia tetap tersenyum layaknya orang gila.
"Kamu kenapa senyum-senyum sendiri, Va?" tanya Rana saat melihat putrinya datang dari gerbang depan dengan senyum cerah di wajah cantiknya.
Pertanyaan dari sang ibu membuyarkan senyuman milik Lova. Gadis itu tak menyadari keberadaan mamanya di teras depan.
"Nggak apa apa, Ma." Rana menggelengkan kepalanya cepat karena salah tingkah. "Aku baru beli martabak buat di tempat yang biasa," imbuhnya kemudian tersenyum kikuk.
"Beli martabak? Tumben. Biasanya kamu selalu nyuruh Mama atau Bi Narsih," komentar Rana melihat tingkah putrinya yang tidak biasa.
"Ma, mulai sekarang, kalau Mama ingin beli martabak, Mama suruh aku aja. Hehm, oke," celoteh Lova tersenyum cerah.
Wanita paruh baya itu mengerutkan keningnya karena tingkah putrinya semakin aneh. "Kamu kenapa sih? Kesambet setan di pohon besar dekat pintu masuk kompleks ya? Nggak biasanya mau disuruh-suru," ujarnya kemudian.
"Ih, enggak dong!" seru Lova dengan bibir mengerucut. "Pokoknya mulai hari ini, aku yang akan beli martabak. Mau amal sama orangtua." Setelah mengatakan hal itu, Lova berlalu pergi masuk ke dalam rumah.
"Ck, dasar aneh." Rana hanya menggeleng gelengkan kepalanya tak habis fikir.
*****
Jangan lupa guys! Komen dan juga kasih review yaa..
Jangan lupa mampir ke cerita saya yang lainnya.
1. Not a CLassic Wedding
2. Jodoh [Aku yang Memilihmu], Partner In Crime [Sequel Jodoh [Aku yang Memilihmu]]
3. Black Tears
4. Selingkuhan
5. Merakit Perasaan
6. Cinderella Scandal's : I'am CEO, Bitch!
Dukung terus anak anak saya yaa....
Saya juga mengucapkan terimakasih kepada semuanya yang sudah mengikuti cerita ini sampai sejauh ini. Nunggu upnya luama banget, jangan lupa tab love terus komen ya guys. Biar anak saya rankingnya semakin naik. Saya jadi tambah semangat buat nulis kalau rangkingnya naik. wkwkwkwk
PYE! PYE!
Note : Saya akan lebih sering up lagi lho, stay tune....