Cerita Sebelumnya:
"Pakai ini, anggap saja itu sebagai jaminan sebelum jaketmu ku kembalikan. Aku akan mengembalikannya setelah ku cuci." Seru Dila, untuk pertama kalinya Ardan mendengar kalimat panjang dari mulut gadis itu. Detik berikutnya Dila berlari menerobos hujan dengan jaket Ardan menaungi kepalanya. Ardan tersenyum simpul memandang mobil Dila yang perlahan menghilang di balik hujan.
Chapter 3
Dengan perasaan ragu, Gilang memegang piano miliknya. Telapak tangannya mengusap piano yang kini mulai dipenuhi oleh debu. Gilang membuka fallboard piano tersebut. Sejurus kemudian ia menekan acak tuts piano yang berada di hadapannya.
"Lagipula apa yang Om Haris lakukan itu demi kebaikan Kakak. Perkataannya benar, Kakak harus mencobanya."
Terlintas perkataan adiknya tempo hari. Gilang menarik nafas panjang. Ia akan mencoba melakukannya. Lelaki beriris hazel itu mencoba untuk bermain piano kembali.
Jemari Gilang sedikit gemetar. Ini pertama kalinya ia bermain piano lagi setelah satu tahun vakum.
Gilang mencoba memainkan lagu yang pertama kali ia mainkan saat belajar bermain piano dulu. Moonlight Sonata, lagu pertama yang Gilang mainkan saat genap berumur 12 tahun. Jemarinya menekan nada C# minor, nada dasar dari lagu tersebut. Bait pertama dapat Gilang lalui tanpa menemukan kesulitan. Hingga pada pertengahan lagu, ia menghentikan permainan pianonya.
Dahulu, lagu ini menjadi makanan sehari-hari saat Gilang berlatih. Namun sekarang keadaaan telah berbeda. Lelaki itu menenggelamkan wajahnya di atas tuts piano dengan lengan yang dijadikan sebagai alas.
***
"Dila, kemarilah, Om Haris ingin bertemu denganmu." seru Viona memanggil Dila.
Haris adalah seorang komposer musik. Beliau merupakan sahabat ayah Dila yang juga seorang komposer. Haris sempat mengajarkan Dila bermain piano saat ia masih kecil. Sudah lama sekali Dila tak bertemu dengannya. Mereka terakhir bertemu saat konser orkestra sang ayah, yakni saat gadis itu masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Viona mengatakan jika setelah itu, Haris pindah ke London. Karena itulah mereka lama tak bertemu.
"Ah, aku hampir tak mengenalimu. Kau sudah besar ya." Haris pangling melihat Dila yang tumbuh menjadi gadis cantik.
Mereka kemudian asik berbincang. Banyak hal yang mereka obrolkan. Tak berapa lama, Haris menceritakan tujuannya berkunjung. Haris ingin meminta bantuan pada Dila, pria itu ingin meminta Dila membujuk Gilang. Haris berharap agar keponakannya itu dapat bermain piano lagi.
Dila pernah bertemu Gilang saat masih kecil dulu. Mereka pernah satu panggung dalam sebuah Mini Konser. Maklum jika Dila tak mengingatnya, mereka hanya bertemu satu kali. Setelah kepergian kedua orang tuanya, Gilang dan adiknya tinggal bersama Haris di London. Gilang sempat menempuh pendidikan di Royal Collage. Namun, ada satu masalah yang membuatnya berhenti bermain piano. Kuliahnya terbengkalai, hingga akhirnya Haris memutuskan untuk memboyong keponakannya tersebut ke Jakarta.
"Dila, Om akan sangat berterima kasih kalau kau mau menerima tawaran Om untuk mencoba membujuk Gilang."
Dila terdiam sejenak. Ia ragu dapat melakukan hal tersebut. Satu masalah yang selalu Dila alami, ia kesulitan memulai pembicaraan dengan orang yang baru ia temui. Kecuali jika orang tersebut yang memulainya, Dila akan dengan senang hati membuka diri untuk berteman. Layaknya Noni, saat pertama kali Dila berlatih teater di sanggar.
Haris menceritakan semua hal mengenai Gilang. Tentang mengapa lelaki itu berhenti bermain piano. Itu terjadi sejak ia mengalami sebuah kecelakaan. Kecelakaan itu membuat tangannya terluka. Tulang jemarinya mengalami keretakan. Sebenarnya setelah menjalani serangkaian pengobatan, tangannya telah pulih. Akan tetapi, lelaki beriris hazel itu belum menemukan kepercayaan dirinya.
Setelah berdebat dengan hati dan pikirannya, akhirnya Dila menyetujui permintaan Haris. Haris sangat berterima kasih akan hal itu. Beliau memutuskan untuk mempertemukan Dila dan Gilang. Dila memberitahu Haris jika besok ia akan bermain piano pada sebuah Mini Konser. Gadis itu meminta Haris untuk datang, jika ada waktu luang.
***
Seorang wanita terlihat turun dari sebuah mobil. Heels hitam membalut kaki jenjangnya, menambah kesan anggun yang dimilikinya. Ia berjalan memasuki sebuah café.
Ardan bekerja paruh waktu sebagai barista di sebuah café. Ia hanya bekerja setengah hari. Ardan memiliki pekerjaan paruh waktu, dikala tak ada jadwal kuliah ataupun saat tak ada jadwal latihan di teater. Ardan memang tipe lelaki yang mandiri. Walau begitu, ia masih memiliki sikap kekanakan. Sebagai contoh, ketika marah Ardan selalu melampiaskannya dengan cara yang salah. Tak jarang Ardan berkelahi dengan orang yang mencoba mengganggunya saat pikirannya sedang kalut. Rio dan Riko bahkan Jonathan sekalipun sudah tak heran dengan hal itu.
Wanita anggun tersebut mengedarkan pandangannya. Ia mencari seseorang di dalam café. Ah, ia menemukan orang yang dicarinya. Wanita itu lantas memanggil pelayan yang berjalan melewatinya.
"Tolong panggilkan Ardan kemari." titah wanita itu.
Bima menghampiri Ardan yang tengah sibuk membuat cappuccino pesanan pelanggan.
"Ada apa?" tanya Ardan tak mengalihkan perhatiannya dari mesin pembuat kopi.
"Seseorang mencarimu."
"Siapa?"
"Wanita yang sama, yang kemarin mencarimu."
Ardan menghentikan aktifitasnya sejenak. Lelaki itu sempat terdiam beberapa menit, kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Bilang saja aku tak ada." Ujar Ardan.
"Dia sudah melihatmu tadi."
Akhirnya dengan terpaksa, Ardan pergi menemuinya.
"Bagaimana kabarmu?" tanya wanita itu pada Ardan yang duduk di hadapannya.
Ardan mengabaikannya. Iris kelamnya enggan memandang wanita tersebut.
"Ibu harap kau baik-baik saja." Ujarnya.
Ardan terkekeh, "cih, tak usah berpura-pura peduli padaku. Kau sudah meninggalkanku dan Ayah demi karirmu sebagai pianis, kau ingat?"
Wanita itu memang merasa sedih, namun ekspresi wajahnya tetap terlihat dingin. Walau begitu, jauh di dalam lubuk hatinya ia merasakan kesedihan mendengar anaknya mengatakan hal tersebut.
"Ibu sudah mengakui kesalahan Ibu. Apa kau akan tetap keras kepala seperti ini?"
"Bukankah sifat ini berasal darimu, Nyonya Miranda? Permisi, masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan." Ardan beranjak dari kursi kemudian berlalu meninggalkan Miranda seorang diri.
Dalam hati, wanita itu ingin menangis. Namun, ia tak bisa melakukannya lagi.
Sebentar lagi pergantian jam kerja. Ardan tengah bersiap untuk pulang. Tak berapa lama, temannya datang. Ardan kemudian berpamitan untuk pulang.
Ardan terduduk di sebuah halte bus. Beberapa bus telah pergi dan berlalu, namun Ardan tak mengindahkannya.
"Aku tidak bisa tidur kalau Ibu tak memainkan sebuah lagu untukku."
Wanita yang dipanggil ibu tersebut mengusap lembut rambut anak lelakinya.
"Apa kau tak bisa meninggalkan karirmu itu demi anak kita? Aku mohon, batalkan kepergianmu itu!"
"Aku tak mungkin melewatkan kesempatan ini. Maaf, aku harus pergi untuk menggapai mimpiku yang sempat terhenti sebagai seorang pianis."
Miranda menghampiri Ardan kecil yang berdiri di balik pintu. Bocah kecil itu menangis tersedu.
"Maafkan Ibu sayang, walau bagaimanapun Ibu akan selalu menyayangimu."
Ardan menghela nafas berat. Rasa sesak menjalar di dadanya. Bayangan masa kecilnya kembali tergambar dalam benaknya.
"Cih, untuk apa aku mengingat wanita itu!" air muka Ardan berubah. Terlihat jelas kemarahan di wajahnya.
Lembayung menghiasi langit sore. Ardan masih terduduk di halte bus. Iris kelamnya menatap kosong ke arah jalanan. Tak berapa lama lelaki itu beranjak, ia berjalan menyusuri jalanan tanpa arah dan tujuan. Ingatan masa lalunya yang tiba-tiba muncul, membuat pikirannya kalut. Ia sibuk berkutat dengan pikirannya hingga tak memperhatikan jalan. Ardan menabrak gerombolan pria yang berjalan berlawanan arah dengannya.
"Apa kau tak bisa berjalan dengan benar, hah?" ujar pria berkepala plontos pada Ardan. Ardan mengabaikannya dan terus berjalan. Tak terima diacuhkan, pria berkepala plontos itu kemudian menghampiri Ardan.
"Kau berani mengacuhkanku?" pria berkepala plontos dan dua temannya menghadang jalan yang akan dilalui Ardan. Ardan memandang ketiga pria tersebut dengan datar. Hal tersebut membuat ketiga pria itu naik pitam.
"Heh, kau berani juga anak muda."
"Untuk apa aku takut pada pria botak sepertimu. Lagipula aku tidak melakukan kesalahan." ujar Ardan diselingi seringai di wajahnya. Sekarang suasana hatinya memang sangat buruk, dan sangat kebetulan ketiga pria tersebut mengajaknya berkelahi. Dengan begitu, Ardan dapat melampiaskan kemarahannya.
Pria berkepala plontos itu hendak mendaratkan pukulan di wajah Ardan, namun ia berhasil menghindar. Ardan membalas, mendaratkan sebuah pukulan pada perut pria tersebut. Dua teman pria itu memegang lengan Ardan, sehingga Ardan tak dapat melakukan perlawanan.
Pria berkepala plontos tersebut mendaratkan pukulan di beberapa bagian tubuh Ardan. Ardan tak dapat menghindari pukulannya.
Setelah puas memukul Ardan, ketiga pria tersebut meninggalkan Ardan dengan tubuh penuh luka. Ardan masih tersadar, namun ia merasa kesakitan di sekujur tubuhnya. Lelaki itu berusaha untuk bangun. Ia mencoba berjalan walau dengan tertatih. Ardan terkekeh pelan, setidaknya ia telah melampiaskan kemarahannya. Walau ia tahu cara itu adalah cara yang salah.
Ardan merebahkan tubuhnya pada sebuah bangku panjang yang berada tak jauh dari tempatnya tadi.
Tetesan air mata mengalir di pipi lelaki beriris kelam tersebut. Rasa sakit di tubuhnya saat ini tak berhasil mengalahkan rasa sakit di lubuk hatinya. Ardan bukanlah sosok lelaki yang dengan mudah mengeluarkan air mata. Kedatangan ibunya tadi membuatnya mengingat kenangan buruk yang berusaha ia lupakan.
***
Seperti biasa, Dila menunggu Mas Oji untuk menjemputnya. Kali ini supirnya tak akan datang terlambat. Jalanan ramai lancar, tak ada kemacetan seperti tempo hari. Sore ini tak ada jadwal latihan teater, karena itu Dila memutuskan untuk berkunjung ke rumah sahabatnya, Gladis. Banyak hal yang mereka ceritakan, Dila menceritakan mengenai Ardan. Gadis itu menceritakan ketika Ardan memberikannya sebuah jaket beberapa hari yang lalu.
Tak berapa lama kemudian terlihat mobil mungil berwarna dasar putih datang. Dila berpamitan pada Gladis kemudian memasuki mobilnya.
"Mas Oji, nanti mampir ke supermarket dulu ya." ujar Dila. Ia merasa sedikit lapar dan berniat membeli makanan ringan di sana.
Mereka telah sampai di sebuah supermarket. Dila beranjak, namun Mas Oji menahannya.
"Non, boleh saya mohon ijin untuk menjemput anak saya. Dia pulang terlambat karena mengikuti les. Tadi dia menelepon tak ada bus yang lewat, sementara temannya yang lain telah pulang." Mas Oji memang sudah menikah dan memiliki satu anak dari pernikahannya. Anaknya masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
"Oh iya Mas, tentu saja boleh. Nanti saya tunggu di sini saja ya, sekarang saya mau beli makanan ringan dulu untuk di jalan."
Dila kemudian memasuki supemarket. Sementara sang supir pergi untuk menjemput anaknya.
Dila telah selesai membeli makanan ringan di supermarket. Ia duduk di sebuah kursi yang berada di depan supermarket. Mas Oji belum datang. Dila memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar sembari menunggu supirnya tersebut.
Dila berjalan di sebuah taman yang berada tak jauh dari supermarket tersebut. Ia mencari sebuah tempat duduk, agar ia dapat menunggu sambil memakan makanan yang telah dibeli.
Ardan terbangun, kemudian duduk sebentar. Ia hendak menghapus air matanya. Tak berapa lama lelaki itu terlonjak, Ardan memfokuskan indera penglihatannya. Ia memastikan siapa gadis yang berjalan mendekat. Benar dugaan Ardan, gadis itu adalah Dila. Ia bergegas pergi, Ardan tak ingin Dila melihatnya dalam keadaan seperti ini.
"Ardan?"
Sial bagi Ardan, Dila telah berada di belakangnya. Entah sejak kapan gadis itu memiliki kemampuan berpindah tempat dengan cepat. Ardan menoleh, mau tak mau ia harus mendengar ribuan pertanyaan yang akan Dila lontarkan.
Dila sempat terkejut melihat beberapa luka memar di wajah Ardan. Akan tetapi, gadis itu tak ingin banyak bertanya.
"Aku tak membawa jaketmu, nanti ku kembalikan saat latihan." ujar Dila.
Kening Ardan berkerut. Lelaki itu merasa heran. Kenapa Dila tak melontarkan pertanyaan setelah melihat luka memarnya? Gadis itu dengan polosnya membahas mengenai jaket. Ardan terkekeh pelan. Mungkin lukanya tak terlalu penting bagi Dila.
"Iya, santai saja." jawab Ardan.
Ardan mengurungkan niatnya untuk pergi. Toh, Dila tak mempertanyakan penyebab lukanya. Dengan begitu Ardan tak perlu melarikan diri darinya. Entah mengapa sikap acuh Dila membuat Ardan sedikit nyaman. Lelaki itu malas jika harus membahas kembali apa yang menyebabkan ia seperti ini.
"Oh ya, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Ardan pada Dila.
"Menunggu Mas Oji."
"Apa supirmu terjebak macet lagi?"
"Tidak, dia sedang menjemput anaknya."
"Kau mengijinkannya?"
"Kenapa tidak?"
Ardan heran dengan Dila. Sikap gadis itu tak mudah ditebak. Entah ia terlalu baik atau acuh, gadis itu tak pernah terlihat memepermasalahkan hal apapun. Baik itu luka Ardan ataupun supirnya yang meninggalkan dia untuk menjemput anaknya.
"Ini." Dila memberikan minuman kaleng dingin pada Ardan.
"Untukku?" tanya Ardan memastikan.
Dila mengangguk, "untuk lukamu juga."
Lihat? Gadis itu memang sulit ditebak. Mulanya Ardan mengira Dila tak memperdulikan lukanya. Akan tetapi, apa yang dilakukan Dila barusan membuktikan bahwa dia memperhatikan Ardan. Namun begitu, Dila tak banyak bertanya mengenai penyebab luka tersebut.
Ardan tersenyum simpul. Untuk kedua kalinya, gadis itu berhasil mematri sebuah senyuman di wajah Ardan.
**To be Continued