Chereads / Soul Card / Chapter 1 - Pemanggilan Pertama

Soul Card

Hafiz_Isya
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 6.2k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Pemanggilan Pertama

"Ini, dimana?" tanyaku heran. Saat ini, aku sedang berada di dunia yang langitnya berwarna merah dan tanah yang kupijak bukanlah sebuah tanah, melainkan pasir. Ya, saat ini aku sedang berada di dunia lain. Padahal, beberapa detik yang lalu aku masih berada di tengah jalan raya bersama Soul milikku, yaitu Knight. Saat aku sedang kebingungan, aku mendengar bunyi pedang yang saling berbenturan satu sama lain dari kejauhan.

Aku segera berlari menuju sumber suara itu untuk, saat aku tiba disana, aku melihat ada dua Knight. Tanpa rasa bingung sama sekali, aku segera mengetahui Knight yang asli. Dia memakai gaun berwarna putih dengan sedikit motif berwarna merah. Pedang miliknya pun panjang dengan warna merah di pinggir sisinya. Sedangkan yang satunya lagi, yaitu Knight palsu. Dia memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan Knight-ku tapi gaun dan pedangnya dan juga wajahnya berwarna abu-abu semua, kuyakin itu hanya tiruan dari knight.

Saat aku hanya tersisa beberapa meter dengan mereka, Knight palsu menyadari keberadaanku. Setelah menahan serangan dari Knight, dia mundur beberapa langkah lalu berlari menuju ke arahku. Dia pun menghunuskan pedangnya ke arahku.

"Ryan!" teriak Knight sambil berlari ke arahku untuk melindungiku. Tapi semua itu terlambat, aku telah ditusuk menggunakan pedang dari Knight palsu. Knight yang asli lalu menghunuskan pedangnya ke arah Knight palsu tapi itu percuma karena Knight palsu itu sudah berlari menjauh dariku. Aku dapat melihat darah keluar dari dadaku dan juga dari mulutku. "Ryan! Kau tidak apa-apa?" Knight berusaha menolongku tapi percuma. Tiba-tiba pandanganku kabur dan setelah kusadari, aku terjatuh dari ranjang tidurku.

"Aduh, duh. Ternyata hanya mimpi." Aku melihat ke arah jam bekerku yang sudah berdering. "Mimpi yang sangat aneh." Gumamku. "Mana mungkin ada dunia yang memiliki langit berwarna merah dan juga tanah yang berupa pasir. Lagipula siapa itu Knight?" kataku sambil menghela napas. Aku berjalan ke arah pintu kamarku lalu membukanya dan berjalan menuju ruang makan. Saat aku tiba di ruang makan, aku melihat adik laki-lakiku yang juga adik kelasku sedang menyantap sarapan roti cokelat beserta susu cokelat di meja makan.

"Pagi, kak." Sapanya saat melihatku berjalan ke meja makan. Adikku memiliki tinggi yang hanya selisih 30 sentimeter di bawahku, wajahnya yang sepertinya sedang ceria dan juga rambutnya yang masih acak-acakan terlihat seperti orang yang baru saja mendapatkan keberuntungan. "Mimpi indah?" tanyanya.

"Tidak juga, mungkin karena aku terlalu banyak membaca komik fiksi sebelum tidur membuatku bermimpi aneh dan hebat." Aku pun menarik kursi yang berada di depanku lalu duduk berhadap-hadapan dengan adikku. "Sepertinya kau habis mimpi indah, ya?" tanyaku. "Dilihat dari pertanyaanmu sekaligus wajah ceriamu jelas menandakan kau habis bermimpi indah."

"Wah, hebat, seperti detektif saja." Pujinya. Aku menghiraukan pujiannya karena tadi aku hanya menebak saja dan kebetulan tebakanku ternyata benar. "Baiklah, aku mau mandi dulu, nanti kakak jangan lupa membersihkan meja makannya, ya!" adikku lalu berdiri dan meninggalkanku yang sedang sarapan.

"Ya!" jawabku singkat.

5 menit kemudian, setelah aku sarapan. Aku membereskan meja makan lalu bergegas mandi. Saat aku berjalan menuju kamar mandi, aku melihat adikku sudah mengenakan seragam sekolah dengan rapi. "Kak, jangan lupa nanti pintu rumah dikunci." Aku mengangguk pertanda setuju. Tanpa diingatkan pun aku pasti akan mengunci pintu rumah seperti biasanya.

Setelah mandi, aku segera mengenakan seragam lalu mengambil tasku dan setelah itu keluar rumah dan tidak lupa aku mengunci pintu rumah seperti pesan adikku. Jarak sekolah dengan rumahku cukup dekat yaitu hanya 250 meter saja, jadi aku dan adikku memutuskan untuk berjalan kaki menuju sekolah. Saat aku berjalan menuju sekolah, aku kembali mengingat-ingat mimpiku. Kalau dipikir-pikir lagi, mimpiku sangatlah hebat. Yang kumaksud hebat adalah saat diriku melihat pertarungan antara dua orang yang mengenakan baju zirah, tentu saja bukan saat diriku tertusuk. Aku sangat mengangumi hal itu, aku berharap malam nanti aku dapat melanjutkan mimpiku.

Tapi ada hal yang mengganjal di pikiranku. Bagaimana mungkin orang yang kusebut sebagai 'Knight' dapat mengetahui namaku? Mungkinkah ini efek karena sebelum tidur aku membaca sebuah komik yang beradegan action? Yah, sudahlah, lagipula itu hanya mimpi, tidak mungkin terjadi sungguhan. Aku pun akhirnya tiba di gerbang sekolahku, aku melihat papan nama yang berada di gerbang sekolahku yang bertuliskan SMA Nusa Bakti. Saat aku pertama kali bersekolah disini, aku merasa nama sekolah ini cukup jelek tapi aku tidak mengatakannya pada yang lain.

"Pagi, Ryan." Aku menoleh ke belakang karena merasa ada yang menyapaku. Sebelum aku sempat menoleh ke belakang, tiba-tiba ada yang menepuk pundakku, aku melihat yang menepuk pundak kananku dan juga yang mungkin menyapaku adalah Radit. Dia memiliki tubuh yang tegap dan tingginya melebihi tinggi badanku. Ya tentu saja itu terjadi karena dia adalah salah satu pemain basket andalan di sekolahku. Kulitnya yang berwarna sawo matang dan juga wajahnya yang menandakan dirinya sedang bersemangat membuktikan bahwa dia sering berlatih basket untuk meningkatkan kemampuannya dan juga menandakan sepertinya dia saat ini ingin bermain basket.

"Hai, Radit. Cuacanya cerah, ya?" tanyaku kepadanya. Aku mencoba melontarkan lelucon ke dirinya tapi sepertinya tidak dapat membuatnya tertawa atau dia memang tidak paham dengan maksudku.

"Lho, ada apa denganmu? Kau berusaha membuatku tertawa, ya?" tanyanya yang sepertinya paham dengan maksudku.

Aku hanya dapat tertawa pahit. "Kalau iya, memangnya kenapa?" balasku. Yah, kurasa memang aku tidak cocok untuk menjadi pelawak.

"Hai, kalian berdua, seperti biasa, ya, kalian sangat akrab." Aku menoleh ke arah belakangku dan melihat seorang perempuan yang sangat kukenal, dia adalah Aldira, dia adalah pacarku. Dia memiliki rambut hitam yang panjang, lurus serta ditata rapi. Wajahnya yang cukup imut dan sangat cantik membuat orang lain iri saat aku berpacaran dengannya. Tingginya hampir sama denganku, tapi dia sedikit lebih pendek dariku. Dia juga cukup akrab dengan Radit sehingga terkadang membuatku sedikit cemburu.

"Kalau kamu bercanda jangan berlebihan dong, Aldira." Kataku kesal. Walaupun aku dan Radit tampak bersahabat, tapi sebenarnya aku tidak terlalu suka dengan sifat Radit. Terkadang dia bisa bersahabat dan terkadang juga dia menjadi sombong. Makanya, saat Aldira mengatakan aku dan Radit sangat akrab membuatku sangat kesal.

"Maaf, maaf, Ngomong-ngomong, adikmu bersekolah disini, ya?" tanyanya secara tiba-tiba.

"Ya, memangnya kenapa?" sebenarnya untuk pertanyaan ini aku sangat malas menjawabnya. Tapi karena Aldira adalah pacarku, jadi mau tak mau aku harus menjawabnya. Oh iya, aku baru ingat kalau hari ini adalah hari pertama adikku bersekolah disini. Dia adalah murid pindahan dari luar Jakarta. Kedua orangtuaku bekerja di Bandung. Awalnya aku berniat bersekolah di Bandung tapi karena orangtuaku menyuruhku bersekolah di Jakarta jadi aku menurutinya. Adikku awalnya bersekolah di Bandung, tapi nasibnya akhirnya sama denganku yaitu dipaksa untuk bersekolah di Jakarta. Aku di kota ini tinggal di sebuah rumah kontrakan dan setiap malam aku bekerja sambilan di sebuah restoran untuk menambah uang sakuku

"Yah, aku ingin melihat wajahnya. Apakah dia mirip denganmu atau tidak." Jawabnya.

"Wah, kalau begitu jangan sampai kau cemburu terhadap adikmu sendiri." Kata Radit menggodaku.

Tanpa komentar, aku hanya dapat tertawa pahit.

Kami bertiga berjalan menaiki anak tangga lalu menyusuri koridor sekolah menuju kelas kami. Kami berjalan melewati koridor yang menghubungkan bangunan A dengan bangunan B. Karena siswa yang cukup banyak, maka sekolah ini memiliki kelas yang cukup banyak juga. Bangunan A ditempati oleh kelas 10 dan juga sebagian kelas 11, sedangkan bangunan B ditempati oleh beberapa kelas 11 dan kelas 12 serta terdapat perpustakaan.

Setelah tiba di kelas, kami segera menuju tempat duduk kami. Aku berada di pojok kiri paling belakang. Karena aku tidak suka menjadi pusat perhatian, jadi aku memutuskan untuk berada di ujung kelas. Radit duduk tepat di depan mejaku sedangkan Aldira duduk tepat di samping kananku. Terkadang saat pelajaran kami mengobrol sehingga kami sering terkena hukuman. Ah, lebih tepatnya, aku yang sering terkena hukuman gara-gara mereka berdua.

Setelah melewati hari yang panjang di sekolah, aku pun pulang ke rumah. Aku berjalan melewati beberapa rumah. Di tengah jalan, aku melihat sebuah kartu yang tergeletak begitu saja di tanah. Pada awalnya aku tidak berniat mengambilnya karena aku tidak terlalu peduli dengan kartu itu. Tapi, karena aku melihat bagian belakang kartu itu berwarna merah tua di pinggirnya dan warna cokelat di tengah-tengahnya. Aku memungutnya lalu membaliknya. Aku melihat bagian depan kartu itu bergambar seorang wanita yang mengenakan sebuah baju zirah dan membawa sebuah pedang.

Karena menurutku kartu itu menarik, lantas kubawa pulang untuk hiburan. Dan saat itu, keputusanku membawa pulang kartu itu salah karena kartu itu adalah sebuah bencana yang akan menimpa diriku.

Sesampainya di rumah, aku melihat sepatu milik adikku sudah berada di rak sepatu. Aku pun segera menaruh sepatuku di rak lalu masuk kedalam rumah. Saat aku masuk kedalam, adikku yang sedang menonton televisi menyambutku. "Selamat datang, kak."

"Cepat sekali kau sudah pulang." Komentarku. "Apa kau tidak ingin melihat lingkungan sekolah?"

"Tidak usah, nanti juga aku akan beradaptasi dengan sendirinya." Jawabnya.

"Bagaimana hari pertamamu di sekolah?"

"Yah, begitulah. Saat jam istirahat tiba banyak yang menanyakan tentang diriku."

"Oh, begitu." Aku lalu berjalan menuju kamar dan segera berganti pakaian. Setelah berganti pakaian, aku berjalan menuju dapur untuk membuatkan makan malam untuk adikku. "Akan kubuatkan makan malam sekarang, karena nanti malam aku harus bekerja sambilan hingga jam 10 malam."

"Baiklah."

"Jangan lupa sebelum tidur kunci dulu pintu rumah." Kataku mengingatkan.

Pukul 6 sore, aku berangkat menuju tempatku bekerja sambilan menggunakan satu-satunya sepeda motor yang ada di rumah kontrakanku. 15 menit kemudian, akhirnya aku tiba di tempatku bekerja sambilan. Restoran keluarga itu tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu kecil. Setiap malam yang bekerja hanya 6 orang termasuk diriku, saat pertama kali bekerja disini aku meminta pada manajer untuk jadwal shift-ku hanya pada malam hari saja dan untungnya diperbolehkan. Restoran itu berbentuk seperti rumah adat jawa, dengan berwarna cokelat menambahkan kesan bahwa restoran itu adalah restoran tradisional. Setiap malam, restoran ini selalu saja ramai.

Tanpa terasa, jam 10 malam pun akhirnya tiba. Setelah membereskan meja dan kursi, aku meminta izin kepada pegawai yang lainnya untuk segera pulang. Malam hari adalah peristiwa yang berbahaya bila mengendarai sepeda motor sendirian, apalagi di jalan yang sepi. Jalan menuju rumahku bisa dibilang ramai saat siang hari sedangkan saat malam apalagi saat jam 10 malam sangatlah sepi dan sunyi. Aku tidak takut terhadap hantu, Yah, sebenarnya jika ada hantu aku hanya perlu menambah kecepatanku. Tapi, yang kutakutkan sebenarnya bukanlah hantu, melainkan orang jahat yang hendak mengambil sepeda motorku.

Saat aku membelok ke kiri di sebuah pertigaan, aku terkejut karena di depanku ada seorang perempuan yang mengenakan baju putih seperti piyama. Aku segera membelokkan sepeda motorku ke kanan sehingga aku menabrak tempat sampah. Aku pun terjatuh dari sepeda motor dan sepeda motorku ambruk ke tanah. Jika saja aku tidak memakai helm, mungkin kepalaku sudah penuh dengan darah. Aku melihat perempuan tadi terduduk di tanah dengan wajah pucat pasi, mungkin karena terkejut dengan kehadiranku yang hampir menabraknya. Aku segera berlari ke arahnya untuk menanyakan keadaannya. "Kau tidak apa-apa?" tanyaku sambil mengulurkan tangan kananku ke arahnya.

Tanpa disangka, dia menepis tangan kananku lalu berusaha berdiri dengan sendirinya. Aku menyadari saat dia berdiri berhadap-hadapan denganku, tingginya hampir sama denganku. Rambutnya cukup pendek dan kulihat dia tidak memakai alas kaki. Aku merinding karena aku berpikir yang berdiri di depanku adalah hantu. Aku pun sekali lagi menanyakan keadaannya. Tanpa disangka, dia menjawabnya.

"A, aku tidak apa-apa. Bisakah kau menyingkir dari hadapanku?" tanyanya.

"O, oh. Baiklah." Aku lantas memberikan jalan untuknya. Saat dia berjalan beberapa langkah melewatiku, aku melihat ada sebuah luka lecet di lengan kanannya. "Hei, kau sepertinya terluka."

Saat aku akan memegang lengan kanannya, tiba-tiba sebuah cahaya berwarna biru jatuh dari atas langit dan jatuh tepat di depanku. Gara-gara cahaya biru itu, banyak asap yang muncul di depanku. Kurasa bukan asap, melainkan debu gara-gara cahaya tadi berbenturan dengan tanah. Aku hanya dapat terbatuk-batuk gara-gara debu tanah itu. Setelah debu itu menghilang, aku menyadari tepat di depan kakiku, tanah yang berada di depan kakiku hancur dan menghasilkan lubang yang cukup besar yang mungkin gara-gara cahaya biru tadi.

Gawat, jika aku berjalan 1 sentimeter saja mungkin tubuhku sudah hancur. Pikirku.

Lubang itu berdiameter sekitar 1,5 meter dan dengan kedalaman sekitar 60 sentimeter. Yang jelas, tadi kemungkinan besar bukanlah sebuah cahaya, melainkan semacam sinar laser yang ditembakkan ke arahku. Aku mulai merasa ketakutan, kejadian ini jelas bukan ulah hantu. Aku segera memberdirikan sepeda motorku yang kaca spion kanannya pecah lalu segera mengendarainya kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, aku memakirkan sepeda motorku di teras rumah lalu mengambil kunci rumah dan membuka pintu rumah yang sudah dikunci oleh adikku.

Aku masuk kedalam rumah, setelah menutup pintu rumah dan menguncinya kembali, aku melihat adikku masih melihat televisi di ruang keluarga yang menjadi satu dengan ruang tamu. "Kau masih belum tidur? Besok masih sekolah, lho."

"Ah, kakak. Nanti saja, aku menunggu jam 11, acaranya sedang bagus, nih."

"Terserah, deh." Kataku sambil meletakkan jaket berwarna hitamku di dalam kamarku. "Oh iya, mungkin kau tidak akan percaya. Tapi, tadi aku telah mengalami kejadian aneh dan luar biasa."

"Kejadian luar biasa? Apa itu?" tanyanya dengan wajah bingung.

"Yah, bagaimana menjelaskannya, ya... yang jelas, aku hampir saja mati karena terkena laser atau cahaya berwarna biru."

"Laser? Hahahaha, kakak mungkin terlalu banyak berkhayal." Katanya dengan tertawa.

"Itu benar, kok. Kalau tidak percaya, ya sudah. Aku mau tidur, ingat, jangan lebih dari jam 11." Aku berjalan ke arah pintu kamarku lalu membukanya, saat aku akan masuk kedalam kamar, adikku memberikan satu pertanyaan lagi kepadaku.

"Kak, kalau boleh tahu, kemarin malam kakak bermimpi seperti apa?"

Aku sangat malas menceritakannya. Bukan berarti aku malas karena adikku sendiri tidak mempercayaiku, aku malas karena aku sudah lelah dan sangat ingin tidur. "Besok saja, aku capek."

"Ayolah, kak. Begini saja, kalau kakak mau menceritakannya besok pagi sebelum berangkat menuju sekolah, bagaimana kalau kita mampir ke tempat kakak terkena laser atau cahaya biru itu?"

Baru kali ini adikku sangat penasaran, Yah, sudahlah. Kalau aku tidak menunjukkan bekas tanah yang hancur itu pasti adikku akan menganggapku sudah gila.

"Baiklah." Kataku sambil mengusap-usap rambutku, "Kemarin malam aku bermimpi berada di dunia yang memiliki langit berwarna merah dan juga di mimpi itu aku berada di tengah-tengah daratan pasir. Aku melihat seorang perempuan berambut pendek berwarna pirang yang mengenakan gaun berwarna putih dengan sedikit motif merah, dia kupanggil Knight. Entah apa maksud mimpiku itu, padahal aku sama sekali tidak mengenalnya tetapi dia mengenalku dan dalam mimpi itu aku mengenalnya.

"Hm, jadi seperti itu." katanya menyentuh bagian atas bibirnya layaknya seorang detektif yang sedang berpikir keras. "Kalau begitu, selamat tidur, kak."

Aku menutup pintu kamarku lalu berbaring di atas kasur. Keesokan paginya, seperti janji adikku, mengenakan seragam dengan rapi, aku mengajaknya menuju tempat yang kumaksud. Saat tiba disana, aku terkejut karena bekas tanah yang hancur itu sudah tidak ada. Semuanya kembali seperti semula seakan-akan ada yang menyihirnya.

"Tuh, kan. Sepertinya kakak terlalu banyak berkhayal. Mana mungkin ada laser atau sinar berwarna biru yang membuat tanah hancur."

Ini aneh, mana mungkin bekas itu hilang dalam semalam. Aku langsung teringat dengan kaca spion bagian kanan sepeda motorku yang pecah. Tapi, saat sebelum berangkat tadi, adikku malah mengatakan itu adalah kelalaianku sehingga aku menabrak tempat sampah. Karena aku tidak ingin memikirkan hal ini, aku segera mengubah topik pembicaraan. "Sudahlah, ayo segera menuju sekolah, nanti kita akan terlambat."

"Kakak... mengubah topik pembicaraan, ya?"

Sesampainya di depan gerbang sekolah, Aldira menyapaku. "Hai, Ryan!" aku terkejut dibuatnya. Bagaimana tidak, dia datang secara tiba-tiba dari belakang lalu menepuk pundakku. Aku yang sedang melamun menjadi kaget. "Sepertinya kau sedang memikirkan sesuatu." Ukh, bagaimana bisa kau membaca pikiranku. "Jangan sering melamun, itu tidak baik." Ya, aku tahu itu.

"Siapa dia, kak?" tanya adikku. Oh iya, aku baru ingat kalau aku berjalan ke sekolah bersama adikku.

"Kak? Hoo... jangan-jangan kamu adiknya Ryan, ya? Senang berkenalan denganmu." Aldira tersenyum dengan sangat manis dan hal itu membuat jantungku berdebar-debar, tidak salah aku berpacaran dengannya.

"Dia pacarku, namanya Aldira." Kataku memperkenalkan Aldira kepada adikku.

"Oh... senang berkenalan denganmu, namaku Angga. Baru kali ini aku tahu kalau kakak mempunyai pacar." Oi, oi, kalau menghinaku jangan disini apalagi di hadapan pacarku.

"Dulu saat SMP atau saat di rumah Ryan seperti apa?" aku tidak suka dengan alur pembicaraan ini, bisa-bisa adikku akan menjelek-jelekkan sifatku.

"Angga, bukannya sekarang sudah saatnya kamu segera pergi ke kelas?"

"Ah, benar juga. Kalau begitu sampai nanti, kak." Angga berlari meninggalkan kami berdua yang akan menaiki anak tangga menuju bangunan B.

"Yah, kenapa kamu malah mengusirnya." Kata Aldira dengan wajah kecewa. Maaf saja, aku tidak ingin adikku menceritakan sifat-sifatku yang jelek seperti bermalas-malasan. Atau bahkan dia akan mengarang tentang sifatku.

Sesampainya di kelas, aku duduk di tempatku seperti biasanya. Aku membuka tasku untuk mengambil peralatanku, aku melihat di dalam tasku ada buku-buku milikku dan juga peralatan tulisku serta kartu yang kupungut kemarin. Aku mengambilnya dan memperhatikannya sejenak.

"Kartu apa itu?" tanya Aldira dengan kedua matanya yang tertuju pada kartu yang kupegang.

"Entahlah, aku kemarin memungutnya di jalan, karena kuanggap menarik, jadi kubawa pulang."

"Hoo..." untuk sesaat, aku melihat wajah Aldira sedang tersenyum bahagia.

Setelah bel pelajaran selesai dan kami semua diperbolehkan pulang, Aldira berjalan perlahan menuju ke arahku. "Hei, Ryan. Bagaimana kalau sabtu malam nanti kita kencan? Sudah lama kita tidak berkencan, lho."

Radit yang 'menguping' pembicaraanku dengan Aldira mulai mengejekku. "Tuh, pacarmu mengajakmu kencan, lho. Padahal seharusnya yang berinisiatif adalah sang cowok bukan sang cewek."

Aku kesal karena Radit mengejekku dan ikut campur dalam urusanku. "Kau ini, cepat pergi sana. Kau kan ada latihan." Gerutuku.

"Iya, iya, sampai jumpa lagi kalian berdua." Radit berjalan menuju pintu kelas lalu keluar menuju lapangan basket untuk mengikuti latihan.

Aldira pun tertawa, kurasa kejadian tadi cukup menghibur bagi pacarku ini. "Boleh, aku akan meminta cuti dulu untuk pekerjaanku baru kita bisa berkencan." Hari libur kerjaku hanya hari minggu saja. Jadi, jika musim ujian dimulai, saat jam istirahat di restauran, aku belajar di ruang pegawai, kadang pegawai yang lain yang melihatku belajar juga membantuku dengan cara mengajariku dan berkat itu nilai pelajaranku menjadi bagus-bagus. Yah, walaupun masih dibawah Aldira, sih.

"Baiklah, besok beritahu aku, ya!" Aldira pun berjalan meninggalkan kelas. Kalau kuingat-ingat lagi, terakhir aku dan Aldira berkencan adalah 3 minggu yang lalu, nyaris satu bulan. Memang kurasa sudah saatnya kami berkencan lagi.

Aku berjalan meninggalkan kelas dan menuju gerbang sekolah. Disana, kulihat adikku sepertinya sedang menungguku. Dia sedang bersandar di pagar di depan sekolah. Saat dia melihatku, dia berlari menghampiriku. "Kak." Panggilnya. "Ada yang ingin kubicarakan." Katanya serius.

"Boleh, apa itu?" tanyaku. Dia hanya mengatakan kalau hanya aku dan dia yang harus bicara. Jadi, aku memutuskan untuk menyuruhnya berbicara saat perjalanan menuju rumah.

"Bagaimana kalau misalnya aku memiliki sebuah kekuatan dan kekuatan itu kugunakan untuk menguasai dunia? Dan mampukah kakak membunuhku kalau hal itu terjadi?"

Aku sangat terkejut dengan pertanyaan darinya. 'membunuh'? 'kekuatan'? Kenapa dia tiba-tiba menanyakannya? Aku sama sekali tidak mengerti maksud ucapannya. "Apa maksudmu? Kekuatan apa? sepertinya kau terlalu banyak membaca komik sepertiku, ya? Jangan-jangan kau ketularan diriku?"

"I, iya. Aku hanya terlalu banyak membaca komik di perpustakaan tadi." Jawabnya.

"Syukurlah kalau begitu. Yah, kalau kejadian itu terjadi, aku tidak akan membunuhmu. Aku akan mensadarkan dirimu kalau perbuatanmu itu salah." Tunggu dulu, kalau dipikir-pikir, di perpustakaan seingatku tidak ada komik. Yah, sudahlah, mungkin ada beberapa komik di perpustakaan yang tidak kutahu.

"Ngomong-ngomong, kak. Malam ini aku akan makan apa?"

"Entahlah, aku belum memikirkannya."

Sesampainya di rumah, aku berganti pakaian dan mengerjakan PR-ku di kamar. Saat aku mengambil buku tulis dan peralatan menulisku, aku melihat kartu yang kemarin kupungut. Aku memutuskan untuk mengambilnya. Aku berbaring di ranjang dan memperhatikan gambar di kartu itu. Saat aku memperhatikannya, kulihat ada tulisan kecil yang bertuliskan 'Knight'.

'Knight'? Apakah mungkin kartu ini berhubungan erat dengan mimpiku? Aku hanya dapat menghela nafas dan tersenyum pahit. Mana mungkin benda ini berhubungan erat dengan mimpiku, kan? Tapi, bagaimana kalau kartu ini memang berhubungan dengan mimpiku? Apa yang harus kulakukan bila kejadian itu terjadi? Akh, memikirkannya saja membuatku bingung. Aku meletakkan kartu itu di dalam saku jaketku dan aku lantas mengerjakan PR-ku.

Setelah mengerjakannya, aku memasakkan makan malam untuk adikku lalu aku mandi dan bersiap-siap berangkat menuju tempatku bekerja. Saat akan berangkat, aku heran karena tidak melihat adikku di depan televisi. Saat kucoba memanggillnya, dia keluar dari dalam kamarnya. "Ada apa, kak?"

"Oh, ternyata kau ada di dalam kamarmu. Tidak, tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin bilang kalau makan malammu sudah siap dan aku akan berangkat menuju tempat kerja sekarang." Kataku sambil mengenakan jaket berwarna hitam kesukaanku.

"Baiklah, kak. Hati-hati di jalan, jangan sampai mati karena terkena cahaya atau laser biru itu."

Tanpa terasa, hari sabtu pun akhirnya tiba. Hari sabtu ini adalah hari libur sekolah pertama bagi adikku di kota ini. Sejak pagi kulihat dia hanya memainkan ponselnya dan melihat televisi saja. Aku sangat bingung memangnya dia tidak bosan? "Hei, memangnya kau tidak punya teman di sekolah untuk diajak kumpul?" tanyaku.

"Aku di sekolah sudah akrab dengan yang lainnya dengan cepat." Jawabnya dengan enteng. "Kalau begitu, bagaimana dengan kakak, apa kakak tidak berkencan dengan Kak Aldira atau berkumpul dengan teman-teman kakak yang lain?"

"Berisik." Gerutuku. "Nanti malam aku akan berkencan dengan Aldira, jadi mungkin aku akan sampai di rumah jam 10 malam."

"Hoo... mau kencan dimana?"

"Mungkin Tugu Monas, tempat itu cocok untuk orang yang berpacaran. Kalau tidak, mungkin ke mall."

Malam harinya, aku menjemput Aldira di rumahnya, setelah kupanggil beberapa kali, akhirnya dia muncul. Dia mengenakan kaos berwarna putih dan ditutupi oleh jaket berwarna merah, dia juga memakai jam tangan pemberian dariku. Malam itu, dia terlihat sangat cantik.

"Bagaimana penampilanku?" tanyanya.

"C, cantik, kok. Seperti biasanya." Pujiku.

Beberapa menit kemudian, kami menuju Tugu Monas menggunakan sepeda motorku. Semoga saja malam ini adikku tidak ada janji keluar dengan teman-temannya, kalau ada dia mungkin akan kesal terhadapku karena sepeda motor sudah kupakai terlebih dahulu.

Setelah sampai disana, kami berjalan-jalan di sekitar Tugu Monas, lalu kami makan malam di restoran di dekat Tugu Monas. Aku sangat menikmati malam ini. Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam. Aku harus segera mengantarkan Aldira pulang sebelum dia dimarahi oleh ibunya karena pulang terlalu larut.

"Wah, sudah saatnya pulang." Kataku saat melihat waktu di ponselku.

"Iya, kau benar. Kalau begitu, tolong antarkan aku pulang, ya!"

Aku mengantarkan Aldira pulang menuju rumahnya. Biasanya jam segini jalan menuju rumah Aldira sangat sepi daripada jalan menuju rumahku. Yah, walaupun menurutku sama saja sepinya, tapi jalan menuju rumah Aldira minim penerangan. Jadi, setiap aku mengantarkan Aldira ke rumahnya, dia berpegangan erat kepadaku karena ketakutan.

Saat aku membelok ke kanan di sebuah perempatan, beberapa meter di depanku ada segerombalan entah itu anjing atau serigala yang berwarna hitam. Setelah kuperhatikan baik-baik, anjing-anjing itu bukanlah anjing biasa, mereka hanya terdiri dari tulang belulang saja dan ada kepulan asap hitam di sekeliling mereka.

Anjing-anjing itu melihat ke arahku dan Aldira, aku sangat ketakutan saat itu. Tapi, sebagai seorang lelaki, aku harus mengorbankan diriku demi Aldira. "Larilah dari sini, Aldira!" teriakku. "Aku akan berusaha menahan mereka!"

"Cih, jangan sok hebat." Katanya secara tiba-tiba. "Kau kalau tidak bisa apa-apa jangan menghalangiku." Aku melihat ke arah Aldira. Tiba-tiba tampangnya berubah menjadi serius, tidak seperti biasanya. Aku melihat dia turun dari sepeda motorku lalu berusaha mengambil sesuatu dari saku jaketnya.

Anjing-anjing yang berada beberapa meter di depan kami maju dengan cepat ke arah kami seperti sedang kelaparan. Aku yang sudah turun dari sepeda motorku daritadi merasa cemas dan bingung karena aku tidak memiliki apa-apa sebagai senjata. Tiba-tiba Aldira berjalan dan berdiri di depanku. "Keluarlah, Adventurer!" teriaknya sambil memegang sebuah kartu di tangan kanannya. Setelah dia mengucapkan itu, muncul sebuah cahaya yang cukup menyilaukan mata. Aku memejamkan mata karena tidak kuat dengan cahaya itu.

Saat aku membuka mata, aku melihat seorang lelaki bertubuh tegap dan kekar dengan memiliki kulit yang seperti telah dibakar oleh sinar matahari. Lelaki itu lebih tinggi dari Aldira dan memiliki rambut berwarna putih dan mengenakan baju berwarna cokelat muda. Untuk sesaat, aku melihat lelaki itu melirik ke arahku. "Jadi, apa yang harus kulakukan, Master?" dia berbicara padaku? Tidak, dia pasti berbicara dengan Aldira.

"Seperti yang kau lihat, ada beberapa Chaos di depanmu. Kuperintahkan kau untuk menghabisi semuanya." Aku tidak pernah melihat Aldira sangat serius sebelumnya, dia sama sekali tidak seperti biasanya.

"Baik, Master." Lelaki itu tiba-tiba memunculkan sebuah belati berwarna hitam di masing-masing tangannya. Dia lalu maju menuju anjing-anjing itu dan menebasnya satu per satu. Aku yang saat itu sedang ketakutan dan kebingungan karena sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Aku ingin lari dari tempat ini tapi kakiku rasanya tidak bisa digerakkan karena gemetaran. Aku hanya dapat terduduk lemas di tanah.

Beberapa menit kemudian, anjing-anjing itu sudah menghilang semuanya karena sudah dikalahkan oleh lelaki itu. Laki-laki itu berjalan menuju arahku dengan membawa kedua belatinya. Aku merasa aku akan dibunuh. "Apa yang akan kau lakukan dengan orang ini, Master? Kita tidak boleh membiarkan ada saksi mata." Master? Siapa Master? Jangan-jangan yang dimaksud Master adalah Aldira? Aku tidak mengerti dengan seluruh kejadian ini.

"Tunggu dulu, Adventurer. Jangan membunuhnya terlebih dahulu." Nada bicara Aldira berubah yang semulanya normal sekarang menjadi tinggi seperti seorang ratu.

"A, Aldira, ada apa ini? Aku tidak paham sama sekali." Aku sangat bingung dengan kejadian yang kualami saat ini, kedua tangan dan kakiku gemetar karena ketakutan. Aku hanya dapat pasrah saja.

"Ada yang ingin kutanyakan, Ryan." Dia berjalan menuju ke arah diriku yang sedang terduduk lemas di tanah. "Kau seorang Master, kan? Jangan coba-coba membohongiku. Cepat serahkan Soul Card-mu!"

"Soul Card? Apa itu?"

"Jangan coba-coba pura-pura tidak tahu! Kartu yang saat itu kau tunjukkan adalah Soul Card, berarti kau adalah seorang Master."

"Master, sepertinya dia memang tidak tahu apa-apa." lelaki itu menepuk bahu Aldira untuk menenangkannya.

"Oh, begitu? Baiklah, bunuhlah dia, Adventurer." Aldira mundur beberapa langkah untuk memberikan tempat bagi seseorang yang dia panggil Adventurer untuk membunuhku.

Aku hanya dapat pasrah mengetahui aku akan dibunuh. Meskipun aku berlari, pasti akan terkejar dan aku pasti tetap akan terbunuh. Aku hanya dapat pasrah mengetahui takdir yang seperti ini. Aku segera teringat dengan kartuku yang berada di saku jaketku dan juga cara Aldira memanggil Adventurer yang sepertinya muncul dari kartu yang tadi dia pegang.

Saat Adventurer mengarahkan salah satu belatinya ke arahku, aku segera mencoba hal yang sama yang dilakukan oleh Aldira. "Matilah." Kata Adventurer sambil mengarahkan belatinya ke arahku. Aku segera mengambil kartu yang berada di saku jaketku. Aku ingat nama dari kartu itu adalah Knight.

"Keluarlah, Knight!" teriakku.

Aku memejamkan mataku karena aku takut jika tidak berhasil maka berarti aku telah mati. Saat aku memejamkan mataku, aku merasa ada sinar cahaya yang sangat terang. Setelah beberapa detik cahaya itupun menghilang dan terdengar bunyi seperti dua pedang yang saling berbenturan. Untuk beberapa saat, aku merasa diriku baik-baik saja dan sepertinya aku masih belum mati.

Aku mencoba membuka kedua mataku. Aku terkejut saat melihat seorang perempuan berambut pirang dengan mengenakan mahkota kecil dan mengenakan gaun berwarna putih dengan sedikit motif merah sedang berdiri di hadapanku dan menahan kedua belati milik Adventurer menggunakan pedangnya.

Sepertinya yang terkejut bukan aku saja, aku melihat tampang wajah Aldira sepertinya sangat terkejut. Tunggu dulu, berarti, aku berhasil memanggil Knight. Kalau diingat-ingat lagi, dia yang ada dalam mimpiku yang kupanggil sebagai Knight.

"Hoo... jadi kau adalah masterku?" katanya sambil menahan kedua belati Adventurer menggunakan pedangnya. Kulihat Adventurer segera mundur beberapa langkah dan berdiri tepat di hadapan Aldira sepertinya dia ingin melindungi Aldira. Perempuan yang berdiri di hadapanku menoleh ke arahku. "Mohon bantuannya untuk selanjutnya, Master."