Di sudut ruangan kamar, tubuhku terbaring di atas kasur yang empuk sambil memejamkan mata. Di sebelah dinding kamarku terdengar bunyi nan merdu, seekor burung. Dinding kamar terbuat dari kayu, sinar matahari tidak dapat menembusnya. Gelap, tidak juga. Ada satu celah diantara kayu yang ada di dinding sehingga cahaya matahari bisa masuk namun tidak terlalu banyak.
Aku anak pertama dari sebuah keluarga sederhana. Ibuku bernama Naisa Airen dan Ayahku bernama Vyran Airen. Ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa sedangkan Ayahku seorang Kesatria Alpha, si pemimpin kesatria.
--Apa aku bisa menjadi kesatria?
Dua tahun belakangan ini aku terus berlatih bersama temanku, namanya Olivia. Rambutnya pendek sependek pundaknya dan kulitnya putih seperti susu. Olivia orang pertama yang mendukung cita-citaku untuk menjadi seorang kesatria. Hampir setiap hari, di sore hari, dia selalu menemaniku latihan. Namun, orang tuaku tidak mendukungku sama sekali bahkan menentang keras keinginanku.
Dulu, saat latihan, Ayah menghampiriku. Berbaju Armor Airen dengan sebuah pedang di pinggang kirinya yang terikat dengan tali. Matanya menatap kearahku dengan penuh kemarahan. Kedua tangannya ia kepalkan, hanya dengan melihat ekspresi wajahnya, aku paham.
Saat Ayahku berjalan semakin dekat, Olivia berjalan mundur perlahan dan berhenti ditempat yang agak jauh, tubuhnya gemetar ketakutan. Wajar saja kalau dia takut, karena semua orang memiliki rasa takut.
Saat itu aku pikir. Jika aku lari, aku gagal menjadi kesatria.
--Aku... tidak boleh lari.
Berusaha untuk memberanikan diri, walaupun aku tahu akibatnya. Tangan kanannya memukul keras wajah bagian kiriku. Rasanya sakit, air mataku keluar dengan sendirinya. Tubuhku seperti membeku tak bisa bergerak menerima makiannya padaku. Tak puas dengan kata-katanya, pedang kayu milikku dirampas dan dipatahkan menjadi dua. Jika saja aku berani menjawab, amarahnya akan semakin melonjak. Jadi, diam lebih baik.
Namun, sedikit berbeda dengan Ibuku...
"Aqilla..."
Ibu memanggilku sambil mengetuk pintu kamarku dengan dua ketukan. Seketika aku membuka mataku dan berjalan menuju pintu kamar. Aku bergegas mengambil pedang kayu milikku yang terletak dibelakang pintu.
"...Eh."
Sesuatu yang aku tunggu sejak tadi akhirnya datang juga, aku berlari kecil keluar dan tidak salah lagi seorang perempuan memegang pedang kayu ditanganya dengan senyum manis diwajahnya.
Jahat sekali kalau aku tidak membalas senyumannya itu. Ibu menghampiriku dan memeluk tubuh kecilku dari belakang lalu berkata padaku dengan suara yang lembut.
"Ingat, jangan sampai keterlaluan mainnya dan jangan sampai pulang terlalu sore. Anak perempuan tidak boleh pulang terlalu sore."
Aku menyilangkan lengan kiri ke dada kananku memeluk kedua tangannya. Lalu beberapa detik kemudian aku menjawab.
"Ya. Tapi... bukannya Ibu sudah sering mengingatkanku tentang ini dan..."
Aku berhenti sejenak, lalu ku arahkan pandanganku pada Olivia yang sudah menungguku sejak tadi. Ia masih berdiri dengan pedang kayu di tangan kirinya. Sesekali ia berkedip dan rambut pendeknya berkibar ditiup angin. Ia tersenyum, tapi sedikit berbeda dari yang pertama.
Lalu aku berbisik pada Ibu.
"... Ibu hentikan, Olivia jadi menunggu."
Kedua orang tua Olivia telah tiada saat ia masih kecil. Ibunya, Aida Airen dikabarkan meninggal saat melahirkannya sedangkan Ayahnya meninggal saat usianya lima tahun. Sekitar sepuluh tahun, ia sendirian. Rasa keingintahuan membuatnya terus ingin hidup. Rasa itu ia temukan dari buku yang ia baca. Buku itu ia dapatkan dari keusilannya sendiri, mencuri.
Meski begitu, ia bilang hanya meminjamnya dan akan mengembalikannya kalau sudah selesai baca. Tapi menurutku kalau meminjam tanpa izin dari pemiliknya, maka sama saja mencuri.
"Maaf-maaf," jawab Ibu. Lengannya melepaskan tubuhku. Aku berjalan menghampiri Olivia. Lalu Ibu berkata lagi padaku dengan suara pelan namun bisa aku dengar.
"Hati-hati."
Aku bingung harus menjawab apa dan aku tidak mau membuat Olivia terus menunggu. Aku berbalik, menjawab dengan senyuman pada Ibu dan ditambah dua lesung pipi di wajahku. Lalu mengangguk.
... Sedikit berbeda dengan Ibuku. Dia tidak pernah menganggapku serius. Dia pikir aku hanya bermain-main saja dan akan berhenti pada waktunya. Meski begitu, tidak akan menurunkan semangatku menjadi kesatria.
Aku melangkahkan kaki ku menuju tempat aku biasanya berlatih. Tempat yang nyaman dan indah. Padang rumput yang luas sejauh mata memandang, satu pohon besar yang ada di tengah-tengah seakan menjadi tempat untuk bersantai saat lelah, dan di tambah bunga-bunga yang bermekaran dan bebatuan alam yang terlihat disekitarnya semakin memperindah tempat itu.
Tempat ini, tidak, pulau ini bernama Airen. Pulau kecil yang dikelilingi lautan yang luas itu berbentuk cekung hampir seperti bulan sabit. Penduduknya masih sederhana, dan tidak ada bangunan tinggi selain kerajaan.
Olivia berjalan di depanku dan aku mengikutinya dari belakang.
Di sisi kananku rumah-rumah berbaris di pinggir jalan, lalu aku melihat kearah kiri, lautan yang luas berwarna biru dengan pasir putih sebagai pemisahnya. Karena dekat dengan laut kebanyakan mata pencarian penduduk adalah sebagai nelayan. Tapi, tidak hanya itu, peternak dan pekebun juga ada, lo.
Aku menyadari langkahku lebih lambat dari Olivia, aku berlari kecil hingga bisa berjalan di sampingnya lagi. Lalu Olivia mulai berkata padaku.
"Aqilla...,"
Sedikit kaget, awalnya aku kira Olivia akan membahas tentang yang terjadi tadi, tapi kelanjutannya membuatku merasa lega.
"... aku ingin melihat serangan cepatmu itu lagi, seperti kemarin. Menurutku serangan itu masih banyak yang kurang, jika lawanmu bisa membuat jarak maka Aqilla akan kalah."
Aku tidak langsung menjawab, aku menghentikan langkahku dan pandanganku terarahkan dengan lautan luas. Dari kejauhan aku melihat kapal yang berlayar semakin mendekat. Begitu jauhnya, kapal itu hanya sebesar kuku jari di mataku. Tidak hanya satu yang dapat aku lihat, ada tiga kapal yang menuju ke mari.
Olivia juga berhenti saat tidak mendengar suara langkah kaki ku lagi. Pandanganku masih terpaku pada kapal yang ada di kejauhan, lalu Olivia memanggilku.
"Aqilla."
Mataku fokus terarah pada kapal-kapal itu bahkan aku tidak mendengar Olivia memanggil namaku, ucapannya lenyap begitu saja bagaikan batu yang tenggelam ke dasar laut.
Melihat tidak ada respon apapun dariku, Olivia mengarahkan pandangannya kelautan sama sepertiku, kapal itu berlayar mendekat. Lalu aku berkata dengan suara agak pelan namun bisa didengar.
"Mereka kembali..." Berhenti sejenak, angin dingin dari laut berhembus kearahku membuat rambut panjangku berkibar dibuatnya, "...manusia."
***
Salah satu diruangan kapal, seseorang tengah duduk di kursi kayu miliknya. Tubuhnya bergerak seirama dengan ombak yang menerjang kapalnya. Laki-laki, rambutnya putih, bukan karena usianya tapi memang rambutnya berwarna putih dan dia bernama Yowell.
Di usia tiga puluh delapan tahun ini, Yowell telah menjadi komandan pasukan Azarion. Seorang prajurit yang mematuhi setiap perintah dan prajurit yang pantang mundur dalam pertempuran, kecuali perintah langsung dari rajanya. Peperangan berhenti saat usianya dua puluh satu tahun dan selama itu pula dia meredam hasrat membunuhnya.
Yowell memejamkan matanya, mendengarkan berbagai macam suara yang dia dapat dari mendengarannya. Tapi hanya suara ombak yang sering didengarnya, tiba-tiba ada suara lain yang dapat dia dengar. Suara langkah kaki yang semakin mendekat ke pintu yang ada di depannya. Pintu terbuka perlahan, sosok besar dengan hiasan mahkota di kepalanya berkata.
"Sudah waktunya," ucapnya dengan nada suara dingin.
Yowell tersenyum lalu berdiri dari kursinya dan berjalan keluar melewati rajanya, Ferdinand. Dia berjalan hingga tiba di haluan kapal sembari memandangi pulau Airen yang sudah kelihatan.
"Thanks, akan aku pastikan ini adalah hadiah ulang tahunku yang terbaik untuk memuaskan hasratku. So ayo berpesta, Dragon."