Chapter 18 - Perjalanan 1

Kirania terus berlari, membawa Rafan di belakang sambil memegang dan menarik tangannya. Kala itu Rafan tidak keberatan, dia juga ikut berlari kecil mengikuti phase gadis tersebut. Namun ....

"... Rafan?"

"... Eh? Itu Rafan? Siapa ceweknya?"

"... Lihat-lihat!"

"... Kamu kenal ceweknya?"

"... Woah, mereka pacaran?"

Beberapa gosip menebar ketika tidak sengaja beberapa orang melihat mereka berlari bersama. Jalur yang mereka ambil, atau lebih tepatnya yang Kirania pilih adalah tempat umum. Murid-murid dari segala arah bisa melihat, tidak aneh jika hal ini akan menjadi berita di sekolahnya.

"..."

Kirania terus berlari. Perasaan senangnya membuat dia buta dan tidak peduli dengan lingkungan sekitar. Namun, itu semua tidak berlangsung terlalu lama, ketika mereka cukup jauh dan melangkahkan kakinya menembus gerbang utama. Entah kenapa tiba-tiba gadis tersebut melambat dan berhenti berlari.

"Hah ... hah ... maaf, istirahat, hah ... dulu sebentar, Raf. Hah ... hah ...."

"..."

Tentu saja, dia kelelahan. Gadis tersebut mencoba lari tanpa pemanasan dengan tubuh dan stamina rata-rata, hal yang wajar jika dia kehabisan tenaga dengan cepat.

"Hah ... hah ...."

Gadis itu masih mengatur pernapasannya, mencoba memulihkan tubuhnya yang kelelahan.

"Nia ... apa kamu tahu yang barusan terjadi?"

"Huh? Hah ... hah ... kenapa?" ucapnya yang masih terpotong-potong napas.

"Kamu membuat orang salah sangka, megang tanganku barusan dan lari bareng, itu bikin orang ngomongin kita."

"Ah, hah ... hah ... soal itu? Kamu bisa 'kan pakai kekuatanmu lagi? Hah ... hah ... kenapa harus pusing?"

"..."

Gadis itu mencari tempat duduk di pinggir trotoar, dia mulai membalikkan tasnya untuk mengambil botol minum. Beberapa teguk air mungkin bisa mendinginkan tubuhnya lebih cepat.

"Bukannya kamu gak suka aku pakai kekuatan buat kecurangan kayak gitu?"

Kirania meneguk minuman di botol yang dia bawa. Setelah istirahat beberapa detik, ia pun akhirnya bisa berlanjut bicara.

"Kalau kamu gak suka, tinggal pakai kekuatanmu, aku sendiri gak terlalu peduli sama ucapan orang. Lama-kelamaan mereka juga tahu kalau itu cuman kebetulan."

"Apa kamu yakin? Aku gak akan pakai kekuatanku, kalau bisa aku juga gak mau pakai kekuatanku sama sekali."

"Terus buat apa kamu tanya, Raf?"

"..."

Kepribadian gadis itu sedikit berubah, orang yang memikirkan banyak tentang hubungan orang malah menjadi tidak peduli. Sepertinya kebahagiaan benar-benar membutakannya sesaat.

"Yang aku maksud bukan aku, tapi kamu," ucap Rafan dengan nada serius.

"Aku?"

"Aku pernah bilang, 'kan? Ada beberapa orang yang mengungkapkan rasa cintanya dengan eksploitasi semacam rasa posessif tinggi. Kalau misalnya orang itu mendengar gosipku punya pacar, mereka bisa neror kamu."

"Eh? Beneran?"

"Hhn," ucap Rafan sambil mengangguk, "beneran, dan sudah pernah kejadian. Teman cewekku dulu pernah kena teror karena terlalu dekat."

"Kekuatanmu? Kamu bisa suruh orang-orang jadi baik, 'kan?"

"..."

"..."

Rafan menatap datar gadis yang sedang duduk itu, sedangkan Kirania sendiri membalas dengan wajah bingung. Berubah setiap detiknya, Rafan mulai menunjukkan ekspresi mengasihani.

"Hah ... ternyata kamu beneran bodoh," ujar laki-laki itu sambil mengeluhkan jawaban Kirania.

"Bo—" Refleksnya mengulang kata tersebut, "Aku gak bodoh."

"Maaf, kamu itu gak bodoh, tapi benar-benar bodoh."

"Apa sih!? Kalau kamu mau bilang sesuatu, bilang yang jelas!"

"Kamu bodoh."

"Bukan itu!" teriaknya menyentak karena selalu dipermainkan dengan cara yang sama. "Ah~ ... entah kenapa ngobrol sama kamu itu lebih cape daripada lari barusan."

"Kalau kamu cape, kamu bisa pulang. Kita pergi ke tempat itu lain kali—"

"Enggak!" potongnya dengan cepat. "Pokoknya aku mau pergi sekarang," lanjutnya sambil berdiri tegak menunjukkan kalau dia begitu semangat.

"Hmn ...." Rafan memandang diam sejenak, "Kalau gitu ayo, tempatnya agak jauh soalnya," kata laki-laki itu sambil melangkah di depan memimpin jalan.