Seorang gadis berambut sepundak menarik napas dalam dan membuang perlahan. Tubuhnya disandarkan dengan punggung kursi kerja dan mendongakan kepala, menghilangkan lelah yang tengah dia rasakan. Sudah sepuluh jam dia berkutat dengan komputer di depannya, menyelesaikan tugas kantor yang begitu menumpuk. Hingga dia mengalihkan pandangan, menatap ke arah sekitar yang sudah terlihat sepi.
"Astaga, aku keasyikan bekerja sampai lupa kalau sudah malam," gumam Bela dan langsung meraih ponsel di dekatnya. Dia mulai menyalakan layar ponsel, melihat jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh.
Mama sama papa pasti cemas denganku, batin Bela. Dengan cepat, dia mengambil tas, memasukkan ponsel dan langsung mematikan komputer. Jam kerjanya sudah selesai sejak dua jam yang lalu. Hingga Bela bangkit dan melangkahkan kaki.
Namun, baru dua langkah Bela meninggalkan meja kerja, dering ponsel terdengar. Bela memilih menghentikan langkah dan mengambil ponsel. Mama. Bela yang melihat nama sang mama tertera di layar langsung tersenyum lebar dan mengangkat panggilan.
"Halo, ma," sapa Bela dengan suara riang.
"Halo, Bela. Kamu kenapa belum pulang, Nak?" tanya sang mama dari seberang.
"Maaf, Ma. Tadi Bela terlalu asyik menyelesaikan tugas dan lupa kalau sudah waktunya pulang kerja," jawab Bela penuh rasa bersalah.
"Astaga, mama kira kamu kenapa-kenapa. Tapi, tadi kamu makan siang, kan?" tanya sang mama kembali.
"Mama tenang saja, aku makan siang," jawab Bela.
"Kalau begitu, sekarang kamu pulang. Mama dan papa akan menunggu kamu untuk makan malam," ucap sang mama dengan lembut.
"Bela juga sudah mau keluar, Ma. Kalau begitu Bela matikan dulu panggilannya," sahut Bela dan mematikan panggilan setelah mendapat gumaman dari arah sang mama.
Bela segera menyimpan kembali ponselnya dan melangkahkan kaki. Kalau saja dia tidak tersadar lebih cepat, Bela yakin dia akan terkurung di perusahaan tersebut. Pasalnya, setiap jam sepuluh malam, satpam kantor akan mengunci pintu utama dan berjaga di tempat lain. Bahkan, bukan hanya satu kali Bela terkurung di bangunan dua puluh lantai tersebut. Dia sudah berulang kali harus rela tidur di kantor karena terlalu fokus bekerja.
"Bela."
Bela yang mendengar sapaan tersebut langsung berhenti dan menatap ke asal suara. Bibirnya mulai tersenyum lebar ketika melihat seorang pria dengan pakaian rapi tengah melangkah ke arahnya.
"Kamu baru pulang?" tanya pria di depan Bela.
"Iya, Pak. Tadi ada beberapa pekerjaan yang harus selesai," jawab Bela.
Mendengar ucapan Bela, pria di depan perempuan tersebut tertawa kecil. "Jangan panggil aku pak, Bela. Lagi pula ini bukan jam kerja lagi dan kamu gak perlu memanggilku seformal itu," protes pria di depan Bela.
"Tapi anda atasan saya," ucap Bela membela diri.
"Dan aku selalu merasa tua kalau kamu memanggilku pak, Bela. Lagi pula kita seumuran. Kita juga teman sejak lama, kan? Kenapa rasanya begitu sungkan kalau kamu memanggilku dengan sebutan 'pak'. Jadi, bisa kamu panggil dengan nam saja seperti waku kuliah?"
Bela yang mendengar ucapan pria di depannya tertawa kecil. Mereka memang berteman dan sangat dekat. Namun, Bela yang hanya karyawan biasa merasa tidak pantas jika memanggil pria di depannya dengan sebutan nama ketika berada di kantor. Hingga dia mendesah pelan dan menganggukkan kepala.
"Baiklah, Reno. Aku gak akan panggil kamu bapak di luar jam kantor," putus Bela, yakin sahabatnya akan tetap merengek jika dia tidak menurutinya.
Reno tersenyum lebar ketika mendengar hal tersebut. "Itu terasa jauh lebih baik, Bela," ucap Reno. "Kamu mau pulang? Aku antar saja," tambah Reno.
"Aku gak akan menolak, Reno," sahut Bela tanpa rasa sungkan sam sekali.
Reno yang mendengar langsung tertawa kecil dan menggelengkan kepala beberapa kali. Bela memang selalu terlihat begitu bahagia dam mudah untuk diajak bergaul. Hingga keduanya melangkah ke arah lift.
Keduanya berhenti tepat di depan lift. Reno menekan tombol di depannya dan tidak perlu waktu lama, pintu lift mulai terbuka. Dengan cepat, keduanya melangkah masuk. Reno yang berdiri di dekat Bela hanya diam, memperhatikan perempuan di dekatnya dengan senyum tipis.
"Reno, kamu kenapa jam segini belum pulang?" tanya Bela.
"Aku sama seperti kamu, Bela. Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Kalau pun bisa, aku ingin menjadi staf biasa di kantor supaya tidak terlalu banyak yang ditanggung," jawab Reno dengan raut wajah masam.
Bela yang mendengar tersenyum lebar dan menatap ke arah Reno. "Jangan begitu. Papa kamu memberikan posisi ini pasti sudah mempertimbangkan matang-matang mengenai kualifiikasi kamu, Reno. Dia tahu kalau kamu mampu," jelas Bela dengan tenang.
Reno menganggukkan kepala, paham dengan apa yang Bela katakan. Gadis di dekatnya memang selalu mampu membuat hatinya menjadi tenang. Namun, saat membuka mulut dan siap mengatakan sesuatu, dering ponsel Bela terdengar, membuat Reno menghentikan niatnya.
Bela segera mengambil ponsel dan menatap nama yang tertera. Frida. Dengan cepat, Bela mengangkat panggilan dan mendekatkan ponsel di telinga.
"Halo, Frida," sapa Bela.
"Halo, Nona. Teman anda mabuk di bar. Saat saya bertanya keluarganya, dia menyuruh saya menghubungi anda. Jadi, bisa anda datang ke sini dan menjemputnya?" ucap seorang pria dari seberang.
Bela yang mendengar langsung mendesah kasar. "Aku akan segera ke sana," sahut Bela.
"Ada apa?" tanya Reno ketika panggilan Bela sudah mengakhiri panggilan.
"Frida mabuk di bar. Aku harus menjemputnya," jawab Bela dengan raut wajah cemas.
"Aku antar kamu," ucap Reno cepat.
Bela yang mendengar hanya menganggukkan kepala, tidak berniat menolak sama sekali. Pasalnya, dia begitu membutuhkan tumpangan Reno untuk cepat sampai di bar tempat Frida berada. Dia tidak ingin jika terjadi hal buruk dengan sahabatnya. Sampai dia keluar dan memberikan pesan dengan sang mama agar tidak perlu menunggunya. Kakinya terus melangkah keluar dan menuju parkiran.
***
Reno memberhentikan mobilnya di parkiran di depan bar. Dengan cepat, dia dan Bela keluar, menuju ke arah bangunan yang terlihat ramai pengunjung. Sebenarnya Bela belum pernah datang ke tempat tersebut sama sekali dan ini adalah kali pertama dia menapakan kaki di tempat tersebut.
"Bela, kamu tahu di mana Frida berada?" tanya Reno.
"Aku juga gak tau, Reno. Jadi, lebih baik kita masuk dan mencarinya," jawab Bela.
Reno setuju. Keduanya langsung melangkah masuk. Baru saja pintu terbuka, bau aklohol dan dentuman musik keras menyapa keduanya. Bela yang belum terbiasa terpaksa harus menahan perasaan tidak nyaman. Dia takut kalau sampai ada yang berbuat tidak senonoh dengannya. Hingga dia mendapati Frida tengah duduk di kursi, tepat di depan seorang bartender.
"Reno, itu Frida," ucap Bela sembari menunjuk ke arah sahabatnya.
"Kita ke sana," sahut Reno dan melangkah cepat.
Bela mengangguk. Namun, langkahnya terhenti ketika seseorang melintas di depannya, membuat Bela mendongak. Kedua matanya terbuka lebar ketika melihat seorang yang dikenalnya berdiri tepat di depannya.
"Naga," gumam Bela dan menelan saliva pelan.
***