Akan aku ceritakan sebuah kisah seorang gadis boyish bernama Dira.
Aku mengenalnya sejak lama, tapi aku belum pernah mengobrol dengannya.
Sekalipun gaya rambut dan penampilannya seperti anak laki-laki tapi ia tak terlihat benar-benar seperti anak laki-laki.
Aku selalu melihatnya duduk menyendiri di dalam kelas.
Banyak rumor tentangnya, ada yang berkata bahwa anak itu anti sosial, hanya ingin melakukan segala hal sendiri.
Ya... memang benar, bahkan pekerjaan kelompok ia kerjakan sendiri. Tentu ia mendapat nilai lebih tinggi dalam mata pelajaran, tapi dalam nilai sikap... ia sangat buruk.
Aku menyukainya diam-diam, aku tidak tahu mengapa aku menyukainya. Aku berpikir ia berbeda dari gadis lain yang mencari perhatian para lelaki, menebar pesona atau hal lain.
Ia gadis normal yang menyukai laki-laki, terbukti dari tas punggungnya yang bergambar idola laki-laki yang ia sukai.
Aku mencoba mendekatinya, ya sangat sulit.
Tapi ia anak yang ramah jika kau mengenalnya.
Sekian lama mengenalnya ia memberi tahu, bahwa ia memang memiliki gangguan kepribadian....
Aku lupa sebutannya apa.
Avoidant atau apa, entahlah.
Aku hanya sekilas mengingat perkataannya, ia sangat.....sangat....ingin bersosialisai. Memiliki teman, berbaur dengan yang lain. Tapi ia takut tidak akan di terima oleh orang-orang.
Ketakutannya membuat ia paranoid.
Ia takut membuat kesalahan dan membuatnya melakukan hal memalukan.
Tapi sekalipun begitu, ia gadis yang tegar.
Ia sering di katai bahkan di beri label yang buruk seperti teroris, mahluk asing, alien dan sebagainya.
Dan julukan baru kembali di lontarkan oleh anak-anak di kelas, aku tidak tahu mengapa mereka membencinya. Hanya karena ia memakai jaket bergambar lumba-lumba, mereka dengan sadis mengatai Dira dengan berkata, "lumba-lumba itu imut tidak seperti wajahmu yang menyerupai ikan mas."
Aku geram dan ingin menghajarnya, Dira menghentikan tidankan ku.
Ia hanya berkata, "Aku tidak peduli, jika saatnya tiba mereka akan mendapat balasan, dan kau tak akan mendengar mereka mengatakan itu lagi padaku."
Mendengar pernyataannya membuatku gusar, perkataannya seperti sebuah kalimat yang memiliki arti ganda bagiku. Tapi aku tidak terlalu paham maksud tersembunyi dari perkataannya.
***
Beberapa minggu kemudian, aku mendengar kabar bahwa ia keluar dari sekolah. Aku tidak tahu mengapa tiba-tiba sekali.
Aku mendengar para murid sedang bergosip tentangnya, yang ku dengar adalah Dira masuk Rumah Sakit Jiwa.
Tentu aku tidak percaya gosip yang mereka buat, ia memang memiliki gangguan kepribadian yang sempat ia ceritakan, tapi mana mungkin gangguan Avoidant bisa membuat ia dimasukan ke dalam Rumah Sakit Jiwa.
***
Tak lama terdengar kabar bahwa seorang murid di temukan tewas mengambang di danau dekat sekolah.
Siswa itu ditemukan dengan kondisi yang mengenaskan.
Organ dalamnya di ambil sampai kosong, lalu setiap bagian kulitnya di kuliti sampai tidak terlihat lagi kulit yang tersisa di tubuhnya, dan yang ku dengar matanya melotot dan nyaris keluar.
***
Aku berniat untuk mengunjungi Dira.
Sepulang sekolah aku pergi ke rumahnya, keluarganya berkata ia pergi ke luar negeri melanjutkan sekolah.
Tapi, aku tidak percaya.
Aku mencoba mencari info dari anak-anak yang dulu bergosip tentangnya, menyebarkan rumor ia di bawa ke rumah sakit jiwa.
Mereka dengan rinci memberitahu ku rumah sakit jiwa mana Dira berada.
Aku masuk ke dalam, tentu dengan meminta ijin petugas RSJ, dan aku berbohong mengaku sebagai kakaknya.
Mereka benar, Dira berada di RSJ ini.
Ia mengenakan jaket pasien Rumah Sakit Jiwa, dengan wajah pucat dan ekspresi dingin.
Aku menyapanya, "Dira."
"Hai. Satria, mengapa kau bisa tau aku disini?
Oh.. pasti dari mulut busuk siswi-siswi jalang itu, haha."
Sifat Dira terlihat begitu berbeda dari yang ku kenal.
"Umm.... yah, bagaimana keadaanmu, dan mengapa kau bisa terperangkap disini?" tanyaku.
"Seperti yang kau lihat saat ini, aku baik-baik saja.
Mm... Kau pasti sudah mendengar kabar penemuan mayat seorang siswa yang mengambang di danau kan?"
"Ya, tentu.
Ada apa memangnya?" tanyaku.
"Itu ulahku, Satria."
"Jangan bercanda." kataku sembari membuat tawa garing.
"Kau ingat dia, orang yang mengataiku seperti wajah ikan mas?
Dia memberiku inspirasi bagaimana cara ku membunuhnya.
Isi perutnya ku pleteli dan ku bersihkan sampai bersih hingga tak ada darah setetespun yang tersisa di dalam perutnya dan kulitnya ku gosok seperti menggosok sisik ikan, lalu aku melepasnya, berenang bebas di danau dekat sekolah kita tercinta, haha."
"Jangan bercanda, kau tak mungkin melakukannya" kataku.
"Kau tau Satria? Sebenarnya aku telah membunuh tiga orang tapi mayat yang di temukan hanya satu. Aku pun heran mengapa itu terjadi."
"Apa?" tanyaku terkejut.
"Mm... yah, kau ingat pria gendut yang mengataiku sejenis dengan Alien?"
"Ya, aku ingat.
Jangan bilang kau...."
"Ya, Satria.
Ia menghilang karena perbuatanku.
Padahal, aku hanya mengahancurkan wajahnya menggunakan batu bata, lalu melehkan kulitnya menggunakan zat kimia.
Haha, ia terlihat seperti mutan, lebih tepatnya Alien."
"Katakan bahwa semua itu bohong Dira!"
Ia tertawa dengan cara yang mengerikan dan melanjutkan perkataannya, "semua ini benar. Jika itu semua hanya bualan, lalu mengapa aku bisa berada disini menurutmu, hah?"
Aku menelan ludahku, "lalu apa yang kau lakukan pada siswa yang ke-3?"
"Haha, lihatlah ternyata kau pun penasaran.
Kau ingat ia mengataiku dengan sebutan apa?"
"Teroris," sahutku.
"Ya, Teroris.
Saat itu aku mengerjainya memberi ia sebuah petasan dengan daya ledak yang cukup besar. Aku memodifikasi bom itu menyerupai petasan. Dengan bodohnya ia menyalakan bom itu, dan terlihat ia seperti melakukan aksi bom bunuh diri. Haha, seperti Teroris sungguhan."
"Kau gila Dira!" teriak ku tak percaya.
"Gila? Kau mengataiku gila?
Mm... Satria, sepertinya kau tau apa yg akan ku lakukan padamu. Haha...
Aku pun membutuhkan teman disini."