Alina berjalan pulang dengan basah kuyup bersama Nabila. Mulutnya sejak tadi tak berhenti menggerutu dan mengumpat.
"Benar-benar! Aku hampir saja menyelesaikan istana pasirku. Tapi, arghhh! Anak laki-laki itu adalah kesialan! Dia menghancurkan semua usahaku!!"
Nabila tersenyum menahan tawa melihat sahabatnya yang tengah kesal, "Sudahlah. Dia benar-benar tidak sengaja. Lagi pula dia sudah meminta maaf, kan?"
Alina mengacak rambutnya, "Ahhhh! Lagi pula, kalau tidak bisa mengendarai kuda kenapa harus menaiki kuda! Benar-benar kesialan!" Alina kemudian mengepalkan tangannya dengan kuat, "Lihat saja, jika bertemu lagi. Aku akan membalasnya!"
"Sudahlah, Alina. Kau terlihat jelek dengan wajah kesal." Nabila tersenyum seraya menepuk pelan bahu Alina.
"Aku serius! Aku akan membalasnya!!"
Telinga Islam tiba-tiba terasa berdenging. Ia pun tak jauh berbeda, duduk di atas kuda degan basah kuyup dan rambut berantakan. Ia ingat, saat mereka berhenti berguling, Alina berteriak kencang setelah itu menarik rambutnya karena kesal. Islam tiba-tiba merinding mengingat Alina.
"Ough! Benar-benar gadis mengerikan! Bisa-bisanya dia melakukan itu padaku hanya karena aku merusak istana pasirnya. Lagi pula, jika tidak bisa membuatnya seharusnya dia tidak usah ikut lomba, kan?"
Panglima yang menuntun kuda Islam menggeleng, "Syukurlah anda baik-baik saja. Sebaiknya anda lebih berhati-hati lagi, tuan muda. Luar istana benar-benar berbeda dari yang anda bayangkan."
Islam tak menghiraukan nasehat Panglima, ia mengepalkan tinjunya kemudian menyatukan dengan sebelah tangannya. "Aku harap tidak pernah bertemu lagi dengannya!"
Sesampainya di istana, Islam menyuruh Pengawalnya untuk masuk lewat istana sementara ia akan masuk lewat jalan rahasia istana. Hal itu untuk mencegah bertemu raja atau ratu jika melihatnya basah kuyup seperti ini dan melontarkan berbagai pertanyaan.
Islam kemudian memutar arahnya hingga sampai di semak-semak, lalu ia membersihkan sedikit semak-semak yang menutupi pintu rahasianya. Ia merangkak masuk ke dalam istana. Namun tiba-tiba terlihat sebuah kaki dengan sepatu berukuran orang dewasa di hadapannya. Islam menengadah perlahan untuk memastikan kaki yang di lihatnya.
Ia bernapas lega, itu adalah sahabatnya, Faiq Habib. Islam segera menyelesaikan merangkaknya, lalu berdiri seraya memukul Faiq. "Kau membuatku jantungan!"
Faiq tergelak tawa. "Sudah ku duga kau akan masuk lewat sini karena Panglima tadi masuk sendiri sambil mengendap-endap."
"Ya, ya. Kau yang paling tahu bagaimana aku."
"Bagaimana harimu? Sampai kau basah kuyup seperti ini?" Faiq menahan tawa melihat Islam.
Islam menoleh. "Sial! Benar-benar sial! Kau tahu? Aku baru saja bertemu dengan anak perempuan gila yang menarik rambutku."
"Pfttt.. Apa kau kalah dari anak perempuan?"
Islam menghembuskan napas jengah kemudian melanjutkan jalannya, "Hah! Kau tahu, pria sejati tidak memukul wanita."
"Bilang saja kau kalah darinya." seru Faiq dengan meledek Islam.
"Aku mengalah, kau tahu." Islam beralasan, mempertahankan harga dirinya.
"Ya, ya. Aku tahu kau kalah darinya." ledek Faiq lagi.
Islam berbalik badan dan melingkarkan tangannya di leher Faiq, "Kubilang aku mengalah. Kau tahu,"
"A, ah! Baiklah, baiklah." Faiq berusaha melepas tangan Islam dan berlari dengan sepatu besarnya.
"Hei! Tunggu aku. Awas saja sampai tertangkap."
Hari menjelang malam. Setelah selesai membereskan rumah kecilnya yang hanya setinggi 2,5 meter dengan lantai yang beralas tikar yang hanya terbuat dari rotan. Alina mulai menyantap makanan yang tadi di masaknya. Ia belajar mandiri karena ke dua orang tuanya bekerja di istana hingga larut malam.
Setelah selesai, Alina merebahkan tubuhnya di atas kasur dan memejamkan mata. Selang beberapa saat, tiba-tiba terdengar suara gedoran pintu dari luar. Alina terbangun saat mendengar namanya di panggil.
"Alina! Alina! Buka pintunya! Alina!"
"Ayah?" Alina bergegas berlari kecil untuk membuka pintu.
"Kemasi barang-barangmu. Cepat!" Ayah Alina terlihat sangat panik seraya membuka lemari baju dan mengeluarkan isinya.
"A-ayah, mau ke mana?"
"Tidak ada waktu, Alina. Kita harus pergi dari sini!"
Tanpa mengetahui apapun, Alina bergegas membawa beberapa bajunya dan berlari keluar menuju hutan bersama ayahnya.
Mereka terus berlari sekuat tenaga, sementara di belakang terlihat beberapa orang mengenakan baju tentara istana dengan membawa obor mengejar mereka. Alina merasa semakin takut dan bertanya-tanya. Mengapa ia dan ayahnya di kejar?
Alina berlari dan terus-menerus menoleh ke belakang. Ia baru teringat jika ibunya tidak ada. Alina berhenti dan membuat ayahnya ikut berhenti dan menoleh.
"Kita harus berlari!" teriak ayahnya panik.
"Ibu? Bagaimana dengan ibu? Di mana ibu?" Alina menangis.
Ayahnya melihat tentara semakin mendekat sambil berusaha mengenali wajah Alina. "Ibu mu baik-baik saja. Dia sudah menunggu di seberang sungai. Ayo!"
Ayahnya kini menggendong Alina di depan. Berlari tergesa-gesa seraya bergumam.
"Apapun yang terjadi, kau tidak boleh berhubungan dengan Panglima tentara istana. Mereka tidak boleh mengenali dirimu. Mengerti?!"
Alina mengangguk bersama derasnya air mata membasahi pipinya.
"Gadis pintar." ayahnya tersenyum sambil mengusap kepala Alina. Ia menoleh kebelakang sebentar lalu mempercepat larinya. Seketika air mata menetes saat melihat Alina di gendongannya sambil memegangi belakang kepala anaknya. Terlihat jelas, ia sangat mengkhawatirkan anaknya.
Alina meremas baju ayahnya. Berkali-kali kepalanya membentur bahu ayahnya. Sementara bala tentara istana semakin dekat. Tepat di depan matanya, salah satu tentara itu menarik busur panah dan melepaskan ke arah ayahnya.
"Ayah!!!" teriak Alina dengan lantang. Namun sayang, busur panah telah tertancap di punggung ayahnya.
Tubuh Ayahnya seketika oleng lalu terjatuh sehingga melepaskan pelukannya terhadap Alina. Alina terjatuh dan mengguling ke sisi jurang.
"Tidak!" Ayah Alina berseru dan berusaha bangun. Ia terbatuk darah, matanya sayu menatap ke arah Alina yang tercebur ke dalam sungai.
Panglima tentara menghampiri ayah Alina. Panglima tentara itu menatap ke arah Alina sebentar kemudian mengeluarkan pedangnya. Tanpa aba-aba, ia langsung menancapkan pedangnya dari belakang perut pria di bawahnya. Saat itu juga, darah segar menyembur keluar dari mulut ayah Alina. Panglima tersebut kemudian menjambak rambut pria di bawahnya lalu menolakkannya dengan kuat.
"Tidak berguna! Bawa tubuhnya dan buang ke sungai. Pastikan tidak ada yang tahu kematiannya! Cepat!" titah Panglima perang kepada bawahannya.
"Bagaimana dengan anaknya?" tanya salah satu pengawal.
"Biarkan saja. Sungai ini memiliki arus yang sangat kuat bahkan kapalpun bisa terbalik. Sudah di pastikan, anaknya tidak akan selamat."
"Baik!!"
Panggil itu tersenyum, "Membusuklah kalian di neraka!"
Sementara di istana. Seorang wanita dewasa tengah berlari dengan terburu-buru, pandangannya berkali-kali menoleh ke belakang dengan waspada. Hingga ia berada di perpustakaan khusus pangeran, tanpa berpikir panjang lagi, ia memasukinya dan menutup rapat kembali pintu itu.
Wanita itu mencoba mengatur napasnya sambil menahan pintu. Berharap tidak ada yang mengetahui keberadaannya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tiba-tiba suara yang terdengar familiar membuatnya terkejut.
"Tuan muda?" dayang itu berlutut, "Mohon maafkan hamba. Hamba tidak bersalah. Hamba tidak bersalah, mohon ampuni hamba."
Islam berjalan mendekat. Tiba-tiba dari luar terdengar hentakan kaki para pengawal, "Cari keseluruhan ruangan! Cepat!"
Dayang itu terlihat semakin ketakutan dan memohon dengan memegang kaki Islam, "Tuan, mohon selamatkan hamba. Hamba memiliki seorang putri, hamba tidak ingin meninggalkannya sendiri.."
Pemimpin pengawal di luar serasa mendengar suara tersebut dari dalam perpustakaan, ia menoleh dan berjalan mendekat dengan pelan. Ia mencoba memastikan suara itu lagi dan mencoba membuka pintu.
Islam membuka pintu lebih dulu dan menatap ke arah pengawal tersebut. "Ada apa? Apa yang terjadi?"
Pengawal itu mencoba melihat-lihat kedalam, "Pangeran? Izinkan hamba untuk memeriksa ke dalam. Kami sedang menjalankan tugas untuk menca-"
Islam melirik sebentar ke arah belakang pintu, melihat dayang itu memasang wajah penuh harap padanya. Islam melangkah maju dan menghalangi pintu masuk, "Aku tidak melihat siapapun masuk. Sejak tadi aku berdiri di sini sambil membaca buku." Islam menunjukan buku di tangannya.
Pengawal itu masih belum puas dengan alasan yang di berikan Islam setelah mendengar ada suara wanita di dalam sebelumnya. "Tolong izinkan hamba masuk untuk memeriksnnya lebih pasti, ini juga untuk kebaikan pangeran."
Islam tersenyum, "Kau tidak mempercayaiku? Sudah kukatakan tidak ada seorangpun di dalam."
Pengawal itu menunduk, merasa tidak sopan dengan Islam sebagai putra mahkota. "Bu-bukan. Maafkan hamba, tuan. Kalau begitu, hamba permisi."
"Hmm.." jawab Islam singkat, lalu segera ia menutup pintu saat melihat para pengawal menjauh. Kemudian ia menatap dayang di sebelahnya.
"Aku tidak tahu apakah kau bersalah atau tidak. Tapi, anggap saja kau beruntung hari ini." Islam berjalan menuruni tangga dan berjalan ke rak-rak buku.
Dayang itu tersenyum dan mengikuti Islam dari belakang. "Terima kasih, tuan. Hamba akan membalas anda suatu hari nanti."
Islam melirik sebentar, lalu melanjutkan membaca buku seraya bergumam. "Tidurlah sementara di sini. Aku akan kembali besok pagi menghampirimu."
"Baik," jawab dayang itu seraya menunduk hormat.
Islam meletakkan bukunya di rak buku, kemudian berjalan keluar seraya melihat-lihat keadaan. Setelah memastikan aman. Ia keluar dan menutup kembali pintu perpustakaan.
Keesokan harinya diantara fajar. Alina membuka matanya perlhan, terlihat ia terbaring di tepi sungai dan tersangkut di bebatuan. Lengan dan kakinya terlihat tergores dan luka-luka. Ia mencoba bangun dengan sisa tenaganya.
"Ayah? Ibu?" Alina kemudian mencoba menatap sekitar jika ada seseorang di sekitarnya dan untungnya ia melihat anak pria seusianya tengah mandi bersama teman-temannya.
"Hei!!" Alina berteriak berharap salah satu dari mereka mendengarnya.
"Kau mendengar sesuatu?" ucap salah satu anak kepada teman-temannya.
"Tidak. Memangnya apa?"
"Aku mendengar ada yang berteriak-"
"Hei!!" teriak Alina lagi.
"Itu!" salah satu anak itu lagi-lagi mendengar suara Alina.
Mereka kemudian berdiri dan dari balik batu besar, mereka melihat Alina.
"Di sana!" tunjuk salah satu anak pria.
Alina tersenyum. Ia terbatuk kemudian bernapas lega seraya tersenyum. "Syukurlah."