Yihan tidak pernah mengira kalau nasibnya bakalan sial seperti ini. Dulu semua mimpinya ia gantungkan pada Beijing, the capital city of China, yang kata orang-orang bisa membawa keberuntungan bagi siapa saja. Tapi itu hanyalah "kata orang-orang". Kenyataannya tidak begitu bagi kehidupannya.
Di hari pertamanya di Beijing, Yihan kehilangan uang, mimpi, bahkan keberuntungannya. Pencuri membawa lari semua uangnya. Beruntung mereka tidak mengambil smartphone dan buku tabungannya. Untuk sebulan dua bulan, Yihan masih bisa makan enak dan tidur dengan nyenyak.
Dan hari ini adalah bulan kelima Yihan berada di Beijing. Pemilik rumah sewa bolak balik menggedor pintu, menagih uang sewa padanya, karena sudah tiga bulan Yihan tidak membayar. Uang tabungan sudah habis, pekerjaan tidak punya, bahkan untuk makannya pun, Yihan harus bermuka tebal menumpang makan dengan tetangga. Beruntunglah ia karena tetangganya baik.
"Sun Yihan! Cepat bayar uang sewa!"
"Kuberi waktu kau dua minggu lagi!"
"Jika kau masih belum membayar uang sewa, kubuang barang-barangmu ke jalanan!"
"Hah!"
Yihan menghela nafas berat begitu pemilik sewa pergi. Kepalanya pusing, tidak tahu harus mencari uang kemana lagi. Kerja pun percuma saja. Ingin dirinya kembali ke kampung halaman, tapi itu akan mengecewakan ayah dan ibunya.
Ya, dirinya berbohong pada orang tuanya. Yihan berbohong kalau ia bekerja di sebuah perusahaan besar di Beijing. Boro-boro bekerja di perusahaan besar, di toko kecil saja, si pemilik enggan meliriknya untuk bekerja.
"Yihan! Sun Yihan! Buka pintunya!"
Seseorang menggedor pintu dan memanggil nama Yihan. Tapi kali ini bukan pemilik rumah sewa, melainkan Bibi Chen.
"Iya bibi! Sebentar."
Yihan pun membuka pintu, "Kenapa bi?"
"Ssstt! Ayo ke rumahku sekarang. Kau belum makan, kan? Kita makan siang bersama," ajak Bibi Chen dengan volume suara yang sengaja dikecilkan.
"Ah iya bibi. Terima kasih tawarannya. Tapi mungkin sebentar lagi aku akan kesana. Ada sesuatu yang harus kuselesaikan dulu," kata Yihan bohong. Ia merasa tidak enak karena selalu makan di rumah Bibi Chen.
"Aissh jangan nanti-nanti. Sekarang aja! Cepatlah!"
Yihan tidak bisa apa-apa lagi saat Bibi Chen menarik paksa lengannya.
-Mr. Boss is Mine-
"Chen Yue belum pulang ya, Bi?" tanya Yihan sambil mengunyah makanannya.
"Belum. Dia itu pulangnya larut malam," jawab Bibi Chen.
"Makin hari pekerjaannya makin banyak. Itu yang membuatnya terkadang harus lembur," sambungnya.
"Ooh begitu. Pasti capek banget," Bibi Chen mengangguk.
"Anakku itu suka mengeluh kecapekan. Kasihan juga kalau melihatnya. Tapi entah kenapa, dia tetap saja tidak mau resign dari pekerjaannya itu."
"Ah sudah, sudah. Lanjutkan dulu makanmu. Ini ambillah," bibi Chen memasukkan beberapa potong daging lagi ke dalam mangkuk Yihan.
"Xie xie, Bibi Chen!"
"Tidak perlu berterima kasih. Selama aku bisa mengajakmu makan bersama, kenapa tidak? Dan anggap saja aku ibumu sendiri. Jadi tidak usah sungkan," ucap Bibi Chen.
Yihan menyelesaikan mengunyah makanannya, lalu membalas ucapan Bibi Chen malu-malu, "Bibi sudah banyak berbuat baik padaku."
"Haaah! Kau ini, santai sajalah. Oiya, apa kau sudah mendapat pekerjaan?" Yihan menggeleng pelan.
"Belum,"
"Ohh, tidak apa-apa. Jangan sedih. Suatu hari nanti pasti kau dapatkan pekerjaan yang bagus," kata Bibi Chen.
"Jangan pernah menyerah, oke? Kau harus terus mencoba sampai kau mendapatkan yang terbaik. Hidup ini memang perlu berjuang," kata Bibi Chen.
Yihan hanya tersenyum tipis menanggapi perkataan Bibi Chen. Benar kata wanita separuh baya itu, hidup ini butuh perjuangan. Tidak berjuang maka tidak hidup. Semangat Yihan untuk membuat orang tuanya bangga kembali berkobar.
"Mulai besok aku harus berjuang lagi! Semangat!" ucapnya dalam hati.
-to be continued-