Udara dingin menusuk malam. Suara rintihan wanita saling bersahutan. Di dinginnya malam itu wanita-wanita muda dan cantik berdiri di pinggiran jalan dengan pakaian minim. Menampakkan kemolekan tubuh mereka. Senyum manja merayu, usianya mungkin masih belasan. Mata laki-laki tertegun melihat kecantikan mereka. Meski di balik lampu remang-remang di lorong sempit tengah kota. Hiruk pikuk kota besar tampaknya tak sampai salah satu gang terkenal di kota itu. Setiap malamnya puluhan laki-laki datang hanya untuk melepaskan birahi mereka.
Antini namanya, bukan nama sebenarnya. Tetapi sejak ia pindah ke kota ia mengganti namanya. Tidak jelas tepatnya kapan ia mulai terjun ke dunia lendir itu. Ia berasal dari desa, berparas cantik, bertubuh sintal dan indah. Laki-laki mana yang tahan melihat kemolekan tubuhnya. Di tambah ia pandai merawat diri. Sungguh adalah aset yang sangat berharga. Di gang itu, ia terkenal sebagai wanita dengan harga paling mahal. Pantaslah ia membuat harga semahal itu, ia masih muda pula masih dua puluhan tahun. Cukup menjanjikan, wajahnya seperti seorang mahasiswi yang sedang butuh uang.
Tak jelas kenapa ia mau terjun ke dunia seperti itu. Awalnya ia hanya di tipu. Sampai akhirnya ia kenal lelaki kota yang mengajaknya berkencan. Merasa hanya dijadikan bahan obral pemuas nafsu lelakinya saja, pada akhirnya ia menjual dirinya sekalian. Lebih berharga dirinya dari pada wanita sok cantik di luar sana, yang tiap hari di tiduri oleh lelakinya tapi hanya di bayar dengan rayuan saja. Masih untung jika memuaskan, jika tidak malah cuma bikin sakit.
Malam itu Antini berdandan cantik. Gaun minim merah tua dengan belahan di sisi kanan pahanya. Dua utas tali tipis di bahunya tak mampu menahan luapan sepasang daging yang indah di bagian dadanya. Bibir Antini tipis menggunakan lipstik merah tua. Lelaki mana yang berani mendekatinya, itu artinya ia adalah lelaki berduit. Tentu saja, tak main-main ia menetapkan tarif untuk layanan istimewanya. Layanan yang tak mungkin di berikan pelacur lainnya di gang itu.
Pelacur kelas atas? Bisakah julukan itu disebut sebagai pujian? Yang jelas Antini menjadi seperti ini bukan karena keinginannya. Ia hanya menginginkan duitnya saja. Walaupun terkadang ia juga sedikit menikmatinya. Tapi tidak setiap saat. Apa lagi jika pelanggannya adalah om-om berduit. Ataupun orang-orang dari pemerintahan. Yang bahkan rela mengundangnya ke kantor mereka hanya sekedar untuk melayani nafsu bejat mereka. Apakah Antini kecewa? Mungkin tidak, itu adalah pilihannya. Yang ia kecewakan adalah kenapa harus jalan itu yang ada di depannya.
Bagi sebagian wanita kecantikan dan kemolekan tubuh bukanlah anugerah. Antini contohnya, kecantikannya adalah malapetaka. Setiap malam tangan-tangan liar berkeliaran ke setiap jengkal tubuhnya. Menjilat, meremas, mencubit, menampar, menusuk bahkan menghantam. Terkadang keras, terkadang lembut, terkadang penuh sensasi. Terkadang juga ia harus melayani orang gila yang ditelan nafsu birahinya. Tapi semua Antini syukuri, sebab jika tidak begitu ia tidak dapat hidup. Bukannya Antini tidak mau mengambil jalan lain. Ia pernah mencobanya. Tapi itu semua percuma. Berakhir dengan satu hal yang sama. Di lecehkan, di siksa dan di perkosa. Apa itu yang disebut kodrat wanita? Sebagai bahan ejakulasi? Atau kalian menyebutnya aurat berjalan. No! Tidak ada bedanya kalian menyebut wanita sebagai objek pesta percumbuan.