Kata-kata Adam selalu terngiang di telinga Nabila yang tengah melamun. Jatuh cinta? Yang benar saja! Tidak ... bukan berarti dia membenci Leo hanya semua ini terlalu sensitif untuk dipikirkan oleh Nabila. Seumur hidup, baru pertama kali dia merasakan hal seperti ini dan Nabila sangsi dengan perasaannya itu.
Apa benar dia jatuh cinta pada Leo? Padahal pernikahan ini hanya sebatas agar Nabila membantu Leo dari ketepurukan. Sekarang kondisi Leo telah membaik dan mungkin Nabila tak akan dibutuhkan lagi. "Selamat pagi Nabila," gadis itu terperanjat lalu menoleh ke arah Leo yang sudah mengambil tempat duduk di samping Nabila.
"Se-selamat pagi ...." balas Nabila gugup.
"Di mana Ayah, Ibu dan Kakek?"
"Mm ... Ayah dan Ibu sudah pergi karena urusan pekerjaan sedang Kakek dia bilang punya jadwal bertemu dengan beberapa teman." Leo ber-oh ria dan mengambil roti yang telah diolesi selai oleh Nabila.
Leo mendongak ingin mengucapkan terima kasih namun melihat kesenduan Nabila Leo merasa terusik. "Nabila, kau kenapa? Apa sakit?" Buru-buru Nabila menggeleng.
"Apa kau masih marah padaku?" tanya Leo dengan nada berhati-hati.
"Tidak,"
"Lalu kenapa kau memasang wajah seperti itu?" Nabila diam dan hanya memakan sarapannya tanpa berniat menjawab. Leo mengembuskan napas berat kemudian menggenggam tangan Nabila yang berada di atas meja.
Perlakuan Leo begitu tiba-tiba dan cukup membuat Nabila terkejut selanjutnya Nabila bisa mendengar jantungnya berpacu dengan cepat. "Nabila kalau kau ada masalah, jangan sungkan untuk mengatakannya padaku. Kita ini suami istri dan aku tak mau ada rahasia."
"Ya, aku mengerti." balas Nabila seraya dengan cepat melepaskan genggaman tangan Leo dengan lembut agar pria itu tak salah paham.
🌟🌟🌟🌟
Nabila yang masih bergelut dengan pikirannya tiba-tiba membuang napas. Hari ini dia tak bisa berkonsentrasi dengan pelajaran dan semuanya karena kebingungan. "Nabila ...." Kepala Nabila mendongak menatap pada Marco yang juga memandangnya.
Sontak kepalanya memberikan signal dan terpikir lagi janjinya pada Jessica sehingga dia sontak berdiri untuk pergi. Namun sebelum itu terjadi, Marco sudah menggenggam erat lengannya. "Jangan pergi dulu,"
"Ti-tidak bisa aku harus menjauhimu maafkan aku," tangan Nabila makin erat saja digenggam oleh Marco.
"Apa kau mencoba mematuhi perintah Jessica?" Gerakan Nabila berhenti.
"Sudahlah jangan pikirkan wanita gila itu. Dia bukan siapa-siapaku jadi kau tak perlu mematuhi perintahnya. Kita sahabat bukan?" Nabila mengangguk pelan meski tak memandang Marco.
Sejauh ini memang hanya Marco saja yang peduli. Saat dirinya kesusahan maka Marco selalu membantu. Dari kecil sampai sekarang, Marco tak akan pernah meninggalkannya. "Duduklah bersamaku. Jika Jessica melakukan sesuatu padamu, katakan saja padaku. Mengerti?"
Nabila tak punya banyak pilihan maka dia duduk dengan Marco kendati enggan. "Aku melihatmu melamun. Ada apa?" Nabila menggeleng.
"Ak-aku tak melamun."
"Bohong!" bantah Marco cepat.
"Kau pikir aku akan percaya pada omonganmu. Kita ini sudah lama berteman dan aku tahu kau itu tak pandai berbohong." Nabila mengembuskan napas. Marco memang mengenal dirinya.
"Marco ... apa kau pernah merasakan jatuh cinta?" Pertanyaan Nabila membuat Marco kaget.
"Jatuh cinta? Nabila, apa kau jatuh cinta pada seseorang?" Nabila menggeleng sekali lagi.
"Aku hanya ingin tahu saja." Marco mengembuskan napasnya. Nabila masih berbohong padanya dan Marco merasa bahwa ada benarnya bahwa Nabila menyukai seseorang sekarang. Tanpa sadar pria itu tersenyum kemudian membuka pembicaraan.
"Jatuh cinta ya ... aku tak tahu banyak hanya sedikit dan rasanya seperti kita minum kopi yang banyak."
"Seperti apa?"
"Seperti ... jantungmu selalu berdebar tak karuan setiap kali kau berada dekat dengannya. Tak bisa tidur atau pun melakukan apa-apa karena selalu memikirkannya dan kau tak akan bisa jauh darinya meski sedikit pun." Gadis itu mendadak gugup mendengar penuturan Marco.
Dia merasakan semuanya berarti itu tandanya Nabila jatuh cinta pada Leo!
"Ap-apa kau per-pernah merasakannya Marco?"
"Jatuh cinta?" tanya Marco yang dijawab dengan anggukan oleh Nabila. Marco lagi-lagi tersenyum. Tindakan yang jarang sekali dilakukan olehnya dan Nabila baru sadar jika Marco tersenyum dia terlihat tampan.
"Ya aku pernah merasakannya."
"Lalu kau tak memberitahukannya padanya?" Kali ini Marco menggeleng. Lalu pandangannya menerawang lurus.
"Kenapa?"
"Sebenarnya sih aku ingin mengatakannya secara langsung tetapi aku rasa ini bukan waktu yang tepat dan juga gadis itu gadis yang sangat polos sehingga dia tak sadar kalau aku suka padanya."
"Oh begitu ... mau tidak aku bantu ya mudah-mudahan bisa cepat selesai." Wajah Marco mendadak cemas.
"Lebih baik jangan ... biar aku saja yang melakukannya. Sekarang aku yakin dia akan menerimaku. Lihat saja nanti." sahutnya dengan penuh percaya diri.
"Oh iya aku sudah mengatakan tentang gadis itu, kamu juga harus menceritakan padaku tentang pria yang kau sukai." Kedua pipi Nabila tiba-tiba merona hebat.
"Ti-tidak, aku tidak--"
"Sudah aku katakan kau tak pandai berbohong dan kau masih bisa mengelak. Katakan saja padaku, aku pandai menjaga rahasia."
"Dia ... pria yang baik. Dia tahu apa yang aku mau dan aku benar-benar nyaman bersamanya. Aku rasa aku jatuh cinta padanya karena apa yang kau katakan aku merasakannya. Terima kasih ya Marco, kau memang sahabatku. Aku pergi dulu."
Nabila pergi meninggalkan Marco sendirian. Dirinya masih tersenyum dan bergumam membalas ucapan Nabila. Tak lama dia membuang napas kasar. "Andai saja kau pernah merasakan hal itu padaku, mungkin saja aku bukan lagi sahabatmu."