"Jadi, kalian pelayan pengganti itu? Bibi Rose telah mengatakannya padaku kemarin."
Bibi Rose itu orang yang baik. Dia adalah pelayan yang mengasuh pangeran sejak kecil. Dia selalu menyayangi pangeran meski prilakunya yang buruk.
Marrie yang masih sedikit gugup menjawab, "Ya, pangeran."
"Apa kalian bisa membantuku untuk suatu hal?" kata Mavis
"Pangeran dapat mengatakannya, pelayan ini akan membantu sesuai keinginan Pangeran jika memungkinkan."
"Bagus." Mavis menyeka mulutnya selepas menghabiskan hidangan terakhir yang telah disiapkan kedua pelayan itu.
Kemudian, ia mulai mengatakan maksud dari tujuannya untuk meminta bantuan kepada kedua saudara itu untuk mencari informasi tentang keadaan sang ratu saat ini. Juga, ia membutuhkan sebuah peta lengkap kerajaan.
"Untuk mengingatkan kembali, lakukan secara rahasia."
"Serahkan tugas mendapatkan peta kerajaan padaku, aku ahli dalam hal ini." Sasha mengangkat tangannya.
"Baik, untuk peta kuserahkan bagian ini untukmu. Kamu Sasha, benar?"
"Ya, Pangeran. Kamu bisa memanggilku Sasha."
"Baik-baik saja maka, aku akan mengandalkanmu untuk itu. Sementara informasi tentang ibuku aku serahkan pada kakakmu Marrie," kata Mavis.
Keduanya menerima permintaan Mavis. Setelah tidak ada yang dibicarakan, kedua pelayan itu meminta izin pangeran untuk kembali.
Pintu tertutup dan kedua bersaudara itu pergi meninggalkan kamar. Tak lama kemudian, pintu kamar Mavis tiba-tiba diketuk lagi.
"Ma-"
Belum selesai Mavis mempersilahkan masuk, orang itu langsung masuk ke dalam kamarnya.
"Kakak!"
Suara seorang anak kecil terdengar semakin dekat menuju Mavis. Anak itu terus berteriak memanggil-manggil kakaknya.
"Kakak, ayo main dengan Seli. Sudah beberapa hari ini kakak tidak datang ketempat Seli. Apa kakak sudah tidak menyayangi Seli?" Wajah anak itu semakin jelek dan matanya mulai berkaca-kaca.
Anak kecil itu bernama Selia, adiknya. Dengan menggunakan ingatan dari kenangan pangeran, Seli itu satu-satunya saudara yang dekat dengan dirinya. Ibu kandung Selia adalah selir ketiga yang juga merupakan teman dekat sang ratu, hubungan keduanya sangatlah baik.
"Hei, nona kecil, kakak ini selalu merindukanmu. Hanya saja ayah sedang menghukum kakak ini, jadi aku tidak bisa menemuimu," kata Mavis. Tangannya membelai halus rambut Selia yang terkuncir dua.
"Sungguh?"
Selia menaiki ranjang dan memeluk tubuh Mavis.
"Kakak, kalau begitu Seli juga akan marah pada ayah."
Mavis tertawa geli melihat tingkah polos adik kecilnya itu. Lagipula Selia masih berusia enam tahun, Mavis masih dapat mengerti sikap kekanakannya.
"Apa kau tau? Ayahmu yang kita bicarakan itu adalah seorang raja. Apa kamu tidak takut dihukum karena memusuhi seorang raja? Bukankah itu berlebihan?"
"Ayah yang terlebih dulu melarang kakak untuk menemui Seli! Ayah yang berlebihan!" Anak itu mendengus kesal.
"Jangan menyalahkan ayah, ini karena kakakmu yang sudah melakukan hal buruk sebelumnya. Aku pantas mendapatkannya."
Selia bergeming sesaat, ia berfikir keras untuk menemukan cara agar kakaknya bisa lepas dari hukuman itu. Namun, hal seperti itu akan terlalu sulit dipikirkan oleh anak kecil sepertinya.
Mavis juga menyadari ketulusan adiknya itu. Dan dia sangat senang karena beruntung masih diberikan saudara yang menyayanginya.
"Kak Asta adalah orang yang paling Seli sayangi. Apa kakak tau itu?"
"Paling disayangi, ya? Lalu, bagaimana dengan ibumu?"
"Maka ibu yang pertama, dan kakak menjadi orang yang paling Seli sayangi kedua!"
Mavis tertawa lagi. "Baiklah, jadi aku hanya menjadi orang kedua." Mavis berpura-pura cemberut.
"Kakak bukan begitu, menjadi yang kedua tidaklah buruk. Kakak masih yang paling Seli sayangi!"
Mavis terus membuat lelucon dengan adiknya. Ini sangat mengasyikan mengobrol dengan saudara sendiri dibandingkan dengan teman di kehidupan sebelumnya.
Selia juga sangat menggemaskan. Anak itu sudah sangat cantik sewaktu masih kecil, Mavis sudah bisa membayangkan bagaimana nampak besarnya nanti. Kecantikan itu akan mengundang para serigala lapar untuk berebut mangsa. Ini tanggungjawab Mavis dikemudian hari untuk melindungi adiknya.
"Baiklah nona kecil, sudah waktunya kamu kembali."
Mavis memegang kedua pundak Selia dan mendorongnya pelan untuk melonggarkan pelukan.
Selia memandang wajah Mavis, wajah itu terlihat enggan berpisah dengan Mavis.
"Aku akan membujuk ayah untuk behenti menghukum kakak. Seli akan membantu!"
"Ya, terserah kamu." Mavis hanya membatin dalam hati, kemudian menggelengkan kepalanya.
Kini pintu itu tertutup sekali lagi dan kamar itu kembali dalam kesunyiannya.
Di lain tempat, di kediaman Ratu Lilian.
Wanita cantik itu sedang tertidur di sebuah ranjang dan seorang lagi tengah memegang tangan putihnya dengan penuh harap.
Orang itu adalah Raja Cornelius. Kini sang raja tengah mengenakan pakaian santai dan melepas mahkotanya, nampak seperti seorang pria pada umumnya.
Tatapan sang raja begitu sendu. Bagaikan bunga yang kehilangan kelopaknya, sang raja teramat sangat kehilangan.
"Lilian, andai saja kamu tau aku menghukum anak kita ...." Sang raja tersenyum masam, kemudian melanjutkan, "Mungkin, kamu akan memukulku pada saat itu juga."
"Maafkan aku, kuharap kamu mengerti pilihanku ini. Demi dirinya, ia harus tau keasalahannya dan berubah. Kuharap hukuman itu akan menyadarkannya." Kemudian, sang raja membelai rambut berwarna orange sang ratu, dan ia mengecup keningnya.
"Aku sangat merindukanmu, cepatlah bangun, Lilian."
Sang raja meninggalkan kediaman sang ratu, kemudian melanjutkan perjalanannya ke ruangan pertemuan dengan para pejabat kerajaan. Hari ini telah dijadwalkan sang raja akan menerima laporan dari para pejabat-pejabat tentang perkembangan saat ini. Baik itu tentang laporan dari keamanan perbatasan, perekonomian kerajaan, dan hubungan ekspor dan impor barang dengan kerajaan tetangga.
Sambil menuju aula pertemuan, Raja Cornelius terus bertanya kepada si penasihat raja, namanya Kayle Sool. Dia adalah adik Lilian, seorang jenius yang sangat intelektual dari berbagai bidang.
"Kayle, laporkan keadaan Asta hari ini," kata Raja Cornelius.
"Ini hari ke lima belas sejak pangeran dihukum untuk berada di kamarnya. Menurut pantauan suruhan saya, keadaan pangeran semakin membaik sejak delapan hari yang lalu," kata Kayle dengan senyum bahagia.
"Apa yang aku lakukan ini sudah benar, Kayle? Bagaimana jika anak itu akhirnya membenciku?" Sang raja murung.
"Yang Mulia harap tenanglah. Seperti yang saya katakan sebelumnya, hukuman ini akan membuat pangeran merenungkan kesalahannya. Sudah saatnya pangeran memikirkan masa depannya."
"Ya, kuharap demikian," kata Raja Cornelius. Pembicaraan itu terhenti saat langkahnya memulai memasuki wilayah depan aula pertemuan.
Mulai terlihat orang-orang di tempat itu berbaris dan menghadap ke jalan di mana sang raja akan berjalan. Orang-orang itu adalah para pejabat tinggi dari berbagai bidang. Di antara mereka adalah orang-orang pintar, dia yang mempunyai kemampuan di bidangnya, mempunyai koneksi dengan keluarga kerajaan, atau dia yang handal menjilat.
Dari berbagai macam para pejabat itu, semuanya mencondongkan badannya kedepan saat sang raja berjalan menuju kursi tahtanya. Kursi tahta berukiran singa itu terlihat menindas saat sang raja mendudukinya.
"Yang Mulia. Semua pejabat telah hadir," kata seorang pria yang kini berada di barisan terdekat dengan raja selain Kayle.
Dia Felix Barathon, asisten penasihat raja, tangan kanan Kayle. Dia adalah seorang juru tulis dalam pertemuan-pertemuan yang dihadiri sang raja.
"Departemen pengawasan gudang kerajaan, laporkan tentang perkembangan pengiriman bantuan gandum untuk desa Valey," kata sang raja.
"Yang Mulia, untuk pengiriman bantuan gandum ke desa Valey untuk bulan ini sudah terdistribudikan. Gandum yang dikirimkan telah memotong lima persen dari gudang kerajaan saat ini," kata Yasin, pemimpin departemen pengawasan gudang kerajaan.
"Kemudian, aku mendapat laporan dari petugas yang mengirimkan gandum ke daerah Valey, mereka mendapat desakan dari beberapa warga di sana. Di antara mereka mengeluh tentang bantuan gandum yang dikirimkan departemen kami tidak mencukupi kebutuhan desa tersebut, juga bangsawan yang mengelola gandum di desa itu menjual gandum dengan harga yang terlampau tinggi."
"Saya harap Yang Mulia dapat mempertimbangkan untuk mengirimkan seseorang dari departemen pengawasan publik untuk menyelidiki kasus tersebut, atau aku takut bulan depan akan jauh lebih memburuk dan memotong gudang penyimpanan kerajaan lebih besar."
"Departemen pengawasan publik, kirimkan beberapa orang untuk mengawasi bangsawan di sana. Jika para bangsawan melakukan kecurangan dengan menimbun gandum, seret bangsawan itu dan bawa kehadapanku," kata Raja Cornelius.
"Kemudian, aku ingin mengetahui laporan tentang penyelidikan kebakaran di desa Valey."
"Yang Mulia, petugas yang ditugaskan untuk menyelidiki kebakaran besar itu semuanya menghilang." Pejabat tinggi dari departemen militer itu menjawab dengan sedikit malu. Namanya Fergus.
"Bagaimana bisa?" Sang raja sedikit mengernyit dan marah.
"Maaf atas kelalaian petugas dari departemen Militer kami. Namun Yang Mulia, menurut laporan dari petugas yang menyelidiki kebakaran menghilang sesaat setelah memasuki hutan di bagian barat desa Valey, hutan Anambas. Menurut warga di dekat sana, hutan itu sering ditinggali para bandit. Aku menyimpulkan para petugas yang menghilang harus ada hubungannya dengan para bandit itu. Departemen militer sudah bertindak dengan mengirimkan pasukan dan sedang dalam perjalanan untuk memberantas mereka."
"Yang Mulia, haraplah tenang. Bila departemen militer kesulitan dengan para bandit, akademi kami dapat mangirimkan murid terlatih untuk mebantu," kata seorang wanita yang datang dari barisan berlawanan dengan Fergus. Wanita itu bernama Alice, wakil kepala sekolah akademi Lynford.
"Lebih dari mampu departemen kami mengurus para bandit itu," kata Fergus menanggapi Alice. Dia sangat kesal dengan wanita itu karena selalu saja mencari masalah denganya.
"Oh, baguslah." Alice terkekeh mendengar Fergus. Sementara disisi lain Fergus membencinya sampai ketulang-tulang, begitupun dengan Alice yang membenci pria itu sampai mendarah daging. Fergus di mata Alice adalah seorang pecundang yang selalu meremehkan kinerja seorang wanita.
"Kalian berhentilah! Jangan membuat keributan! Sudah sering aku memperingatkan kalian, bukan?" Kayle membentak keduanya.