I Wanna Die, But I'm Afraid.
Langit kelam dan angin musim dingin menemani kesendirianku. Embun membeku pada ujung rambutku. Hidung dan telingaku memerah membiru. Aku terbatuk-batuk seakan tak ada udara yang masuk kedalam paru-paruku. Jemariku kaku sepertinya hendak membeku. Sepatu boot milikku tak lagi membantu. Aku benar-benar membeku menunggu kematian datang padaku. Tapi dia malah mendahuluiku.
Kulihat wanita itu tengah berusaha berenang setelah melompat dari jembatan. Dia tampak mahir, tapi air sungai yang dingin sudah lebih dulu memaku kekuatannya. Tubuhnya tak mampu bergerak lebih jauh. Yang terakhir kulihat hanyalah gelombang kecil pada air, sementara tubuhnya sudah tertelan maut. Melihat itu nyaliku pun menciut. Nyatanya aku tetap tak mampu. Aku lantas pergi dari sana—tepi jembatan tempat favoritku belakangan ini.
Tenggelam atau ditelan bumi. Aku ingin merasakan itu.
Aku tiba dirumah. Suara berisik dari dapur dan ruang keluarga menyambutku. Rasa sesak segera menghampiriku. Ayahku asik dengan permainan asap rokok di mulutnya. Nenekku fokus menonton televisi meski matanya tak lagi memperlihatkan warna dan garis dengan jelas. Ibuku sibuk memasak dengan kalimat tajam yang mengiringi aktivitasnya.
"Kau dari mana saja? Sana bawa nenekmu mandi! Sudah tahu ibu sibuk, bukannya bantu-bantu dirumah! Kenapa kau tidak pernah mengerti? Apa ibu harus selalu memarahimu?!!"
Aku bawa kursi roda menuju nenekku. Aku membantunya berpindah dari sofa ke kursi roda. Nafasku tertahan ketika melakukan itu. Tubuh nenekku lumayan berat. Aku mendorongnya menuju kamar mandi. Disana aku membantunya berpindah dari kursi roda ke kursi plastik—tempat dimana ia duduk untuk mandi. Aku buka semua pakaiannya lalu membantunya mandi.
"Tadi kau kemana? Nenek sampai lelah memanggilmu. Kalau nenek panggil kau harus langsung datang!"
Aku gosok punggung nenekku sementara itu dia terus mengomeliku. Tak hanya menggosok punggung, aku melakukan semuanya. Diakhir tugasku, aku bawa kembali nenekku ke ruang keluarga. Membantunya duduk di sofa lalu memberinya makan.
"Nasinya sedikit saja. Kuahnya yang banyak. Jangan beri yang pedas-pedas. Oh ya, nasinya dinginkan dulu!" teriak nenekku.
Dadaku memanas. Nafasku tertahan. Aku bosan dengan ocehannya yang selalu diulang setiap waktu. Kutaruh nasi didalam mangkuk jauh lebih sedikit dari yang ia inginkan dan aku tuang kuah lebih banyak dari yang ia inginkan. Barulah aku bisa bernafas dengan tenang. Aku beri makanan itu kepadanya dan setelah itu aku masuk kedalam kamarku.
Aku berbaring di atas kasurku. Kupandangi langit kamarku yang gelap. Lama seperti itu, airmataku mulai turun. Aku kembali merasa sesak. Airmataku terus mengalir dan mataku semakin terasa panas. Nafasku tak beraturan dan perasaanku mulai tak tenang. Aku mendadak merasa takut. Membuat airmataku berubah menjadi tangis yang sangat memburu.
Ibu mengetuk hingga menendang pintu kamarku. Ia berusaha masuk karena aku telah mengunci pintuku. Ia pasti hendak memarahiku karena tidak becus mengurus nenekku. Aku tarik selimut lalu menutupi seluruh tubuhku. Aku semakin jatuh dalam kesedihanku. Tangis pilu itu membuatku tertidur hingga enggan terbangun.
Ketika pagi tiba, aku butuh usaha lebih untuk bangun. Seluruh tubuhku seakan sudah menyatu dengan kasur. Tak ada niat, tak ada semangat, tak ada tujuan. Lagi-lagi seperti itulah pagiku. Aku menghabiskan sepuluh menit diatas kasur, yang setelah itu melangkah lesu menuju kamar mandi.
Kutatap wajahku dari pantulan cermin. Mataku sembab dan bengkak. Tepinya memerah bahkan sudut mataku masih sangat berair. Tidak, kini malah kembali mengalir. Kubiarkan seperti itu. Aku usap wajahku. Membuat wajah kusamku menjadi basah karena airmata. Perutku mendadak merasa mual. Dadaku sesak dan jantungku seakan mau copot. Dalam sedetik mataku langsung mendapatkan keberadaan silet di sudut rak yang ada di kamar mandiku.
Bulu kudukku merinding. Hatiku terasa sangat sakit. Isak tangisku terus tertelan. Rasa takut pun mengacaukan pikiranku. Hingga akhrinya aku terduduk di lantai. Aku terisak hebat disana. Sampai kurasakan rasa lelah mulai merenggut tangisku. Aku pun duduk diam sangat lama.
Satu jam setelah itu. Aku sudah rapi dengan pakaianku. Pakaian musim dinginku. Aku hendak ke kampus. Disambut dengan sorot kebencian dari ibuku, sikap acuh tak acuh dari ayahku, juga rentetan kalimat yang sudah sangat kuhafal dari nenekku. Aku terima semua itu dalam diam. Aku teguk air hangat. Tanpa menyantap apapun, aku keluar dari rumah dan memilih berjalan kaki menuju kampus—karena jaraknya tak sejauh itu.
Aku melewati jembatan favoritku. Kulihat polisi memenuhi lokasi itu. Ada mobil ambulan juga sebuah kantung jenazah didalamnya. Langkahku terhenti di tempat. Nafasku kembali tak lancar. Aku malah merasa bersalah dan mulai mengutuk diriku. Kurasa aku mulai gila. Aku segera melangkah mundur. Aku melangkah terburu-buru tanpa tujuan. Yang tak lama kemudian sudah lebih dulu membuatku kelelahan.
Kupilih untuk duduk di sebuah kursi milik kafe—yang berada di tepi jalan. Kurasakan ponselku sedang bergetar. Sedari tadi memang begitu. Mungkin temanku sedang mencariku—karena nyatanya aku tak jadi ke kampus dan malah duduk merenung disini. Mengamati jalan raya yang ramai dilewati kendaraan dengan kecepatan tinggi.
Sorot mata lesuku mendadak fokus pada sebuah truk besar yang tampak tengah melaju kencang diujung sana. Bulu kudukku kembali meremang. Kursi yang sedang aku duduki bergerak, karena aku hendak bangun namun kembali duduk. Lagi-lagi dadaku terasa sesak. Aku ingin bergerak, tapi aku tak mampu. Ya, aku takut.
Setetes airmata kembali jatuh. Aku alihkan pandanganku dari truk itu. Tampaklah olehku, sekumpulan remaja seumurku sedang mengobrol. Mereka tertawa bahkan sampai terkikik seru. Aku terpaku pada tontonan itu. Tak ada yang terpikirkan olehku, hanya mengamati mereka hingga bosan lalu melangkah pergi dari situ.
Tapi tahukah kalian? Aku mengalami semua hal itu setiap harinya.
Seperti saat ini. Aku baru saja pulang dari kampus. Aku melewati jembatan yang tanpa sebab selalu membuat langkahku terhenti disana. Lagi lagi, aku melihat wanita itu disana. Sedang terisak dengan kaki gemetarnya yang mulai memanjat tembok pembatas jembatan. Tak banyak yang aku lakukan. Hanya berdiri mengamati tindak lakunya. Ya, wanita itu melakukan hal yang sama. Ia melomat ke dalam sungai yang tak lama dari itu menjadi tak berdaya hingga tenggelam. Dan lagi-lagi dia mendahuluiku.
Setiba dirumah aku kembali dihadapi dengan keributan didalam sana. Ibuku masih dengan sikap kasarnya. Ayahku masih dengan gelagat tak pedulinya. Lalu neneknya masih sangat menyusahkan. Walau begitu aku tetap berusaha tenang. Aku mengurus nenekku seperti biasa. Diakhir tugasku, aku masuk kamar lalu mengunci pintuku. Aku menangis pilu didalam sana dengan berbagai pemikiran aneh yang tak pernah luput dari hari-hariku. Hingga membuatku tertidur karena kelelahan.
Disetiap paginya. Aku selalu disambut mata bengkakku yang tak pernah gagal membuatku menangis lagi dan lagi. Dan sialnya, mata sembabku selalu melihat kearah pisau silet yang ada di sudut rak di kamar mandiku. Sesuatu didalam tubuhku membara hebat. Gejolak aneh mengacaukan pikiranku. Rasa sedih dan marah bercampur aduk. Dadaku sesak. Aku sungguh tak kuat lagi. Setelah mencoba menahannya, aku pun menyerah. Penuh tenaga aku berteriak sekuat yang aku bisa. Aku terus berteriak hingga kurasakan tenggorokanku terasa sakit. Aku bahkan sampai terbatuk-batuk karena itu. Usai itu, aku kembali menangis, dalam sepi.
Satu jam berlalu. Aku sudah rapi seperti biasa. Aku keluar dari kamar hendak ke kampus, tapi mendadak terpaku didepan pintu kamarku. Kulihat ibuku, ayahku dan nenekku tengah duduk berdampingan disebuah sofa. Mereka menangis tersedu-sedu dan tak sekalipun menghiraukan keberadaanku. Anehnya aku juga tak menghiraukan mereka. Aku melangkah menuju dapur guna meneguk air hangat. Lalu segera melesat pergi menuju kampus.
Aku berjalan kaki seperti biasa. Melewati jembatan favoritku. Sudah tak heran lagi, kulihat keberadaan mobil polisi dan mobil ambulan disana. Beberapa polisi tampak menjaga arus lalu lintas dan yang lainnya mengamankan lokasi. Lalu di sisi lainnya pihak medis terlihat tengah memindahkan jenazah kedalam kantung.
Tiba-tiba saja denyut jantungku melambat. Secara bersamaan mataku tak luput dari sosok jenazah itu, yang tanpa sadar membawa langkahku menujunya. Aku melewati banyak polisi dengan mudahnya. Menyelip di sela-sela mereka untuk melihat lebih dekat siapa jenazah malang itu. Jemariku sudah dingin sejak tadi. Sembari kuremas kedua tanganku, aku hentikan langkahku tepat disamping kantung jenazah itu. Tepat ketika itulah kulihat tubuhku tengah tertidur pulas didalam kantung jenazah, dengan tubuhku yang sudah putih membiru.
.
.
.
.
.
END
.
.
.
.
.
So..
Menurut kalian, wanita itu Tiada atau Tidak?