Siang ini, matahari bersinar begitu terik di tengah hiruk pikuk ibu kota. Seorang gadis berjalan menyusuri trotoar jalan, dia gunakan amplop coklat besar yang ia pegang untuk melindungi atas kepala dan wajahnya dari paparan sinar UV. Sudah beberapa hari ini dia mengunjungi perusahaan-perusahaan untuk menyerahkan lamaran pekerjaan, tapi sampai saat ini belum ada satu pun panggilan kerja yang ia terima. Seperti hari ini misalnya, hasilnya masih sama, tak jarang berkas lamarannya di tolak dengan alasan tak ada lowongan pekerjaan.
Shagia Rinirha Putri, nama gadis itu. Wajah cantik dengan postur tubuh ideal tak menjamin dia akan mendapatkan pekerjaan dengan mudah dengan nilai ijazah S1 yang standar. Dia memang tak terlalu pandai dalam bidang akademik, nilai cukup yang di raihnya selama empat tahun kuliah di jurusan teknik komputer sudah menyatakan dia lulus meraih gelar Sarjana. Berbeda dengan sahabat karibnya Nenti, sahabatnya itu memang pintar dan lulus dengan nilai memuaskan. Kabar terakhir yang Shagia dengar, Nenti sudah mendapat panggilan dari salah satu perusahaan Media terkemuka di Jakarta. Ah .. dia juga ikut bahagia mendengarnya.
Shagia memilih berteduh sejenak di halte bis yang dia lewati, rok hitam selutut dan atasan kemeja putih itu sudah tampak lusuh siang ini. Sesekali gadis itu menyeka peluh di dahinya dengan saputangan yang selalu dia bawa di sakunya. Dia turunkan tas sandang yang menggantung di bahunya, membuka tas lalu merogoh ke dalam. Sebuah botol air mineral dia keluarkan, hanya tersisa sedikit air tidak cukup memuaskan dahaganya. Shagia menoleh ke kanan dan kiri, tak ada penjual minuman di sekitarnya. Pandangannya lalu tertuju ke seberang jalan, ada sebuah warung minuman di sana. Tapi dia masih terlalu lelah untuk menyeberang, dia memilih beristirahat dulu di halte itu.
Sementara di dalam sebuah mobil, seorang pria menyetir dengan pandangan fokus pada jalanan yang ada di hadapannya. Sampai sebuah getaran terasa di saku kemeja yang di kenakannya, pandangannya pun teralih kan. Diraihnya benda persegi itu, tertera nama Nika di layar. Segera dia pasang benda itu ke telinganya.
"Ya Nika? kakak sedang menyetir bisa kau telepon lagi nanti?!"
"Kak Devan! Nika mau bicara sekarang! Kakak harus ke rumah Oma sekarang juga!" seruan Nika di seberang telepon.
Pria bernama Devan itu melenguh pasrah "Kenapa sih ..." tanpa sengaja Devan menjatuh kan ponselnya, Devan segera merogoh kan tangannya ke bawah mobil.
Tak jauh darinya Shagia baru saja akan menyeberang jalan, Shagia terkejut melihat mobil Devan bergerak zig zag dekatnya dia yang sudah menapaki setengah jalan refleks menghindar, tapi mobil yang hilang kendali itu menyerempet sisi tubuhnya hingga berputar-putar dan tersungkur ke sisi jalan.
Devan yang merasakan hal itu seketika menghentikan kendaraannya.
"Halo kak? Kak Devan?" Suara Nika masih terdengar di telepon, Devan mengabaikannya dan segera keluar dari mobil.
Beberapa orang menghambur ke arah gadis yang baru saja dia tabrak, mereka membantunya memeriksa luka karna tersungkur tadi.
"Berdarah nih, bawa ke klinik aja!" seruan salah seorang.
Devan menerobos orang-orang tadi "Permisi mbak! Mas! Saya yang menyerempet tadi." Kata Devan. "Nona terluka?" Devan panik melihat dahi dan siku Shagia berdarah. Shagia mendongak ke arah Devan, bibirnya seketika membisu dan matanya tak berkedip, kebiasaan kalau lihat cowok ganteng.
"Nona?"
Seruan Devan menyadarkan Shagia dari keterpanaannya. "Eh, Cuma luka kecil ..." ucapnya disertai ringisan ringan saat menyentuh sikunya yang berdarah, bagian siku kemeja panjang yang dia gulung juga robek dan warna darah kontras di sekitarnya. Hal itu membuat Devan tambah panik, segera dia membantu gadis itu berdiri dan memapahnya menuju mobil. Dia juga meminta tolong orang untuk membawakan barang-barang Shagia yang terjatuh.
***
Di Klinik Shagia mendapat pertolongan pertama, untungnya hanya luka tergores di dahi dan luka di siku yang tak terlalu parah. Hanya di bersihkan dengan antiseptik dan beri obat luka lalu di perban. Shagia juga mendapat obat-obatan untuk dia minum.
"Terima kasih banyak tuan!" ucap Shagia setelah keluar dari Klinik.
"Kenapa berterima kasih? Nona terluka karna kelalaian saya, saya sangat-sangat meminta maaf. Bagaimana kalau sekarang saya antar pulang!" Devan menawarkan diri.
Awalnya Shagia sungkan, tapi karna Devan terus memaksa dia pun tak bisa terus berpura-pura tak menginginkannya.
Dalam perjalanan mereka saling memperkenalkan diri, agar lebih enak saat berbincang. Shagia selalu mencuri-curi pandang setiap ada kesempatan, menatap kagum sosok pria jangkung di sampingnya sekarang. Begitu dewasa, lemah lembut juga penuh kesantunan. Senyumannya begitu manis saat tatapan mereka bertemu, rasanya kegagalan hari ini membawa berkah tersendiri bagi gadis itu.
***
Mobil Fortuner berbelok memasuki halaman sebuah rusun yang ada di pinggiran kota Jakarta. Mobil terhenti, Devan keluar lalu berjalan memutar membukakan pintu untuk gadis yang dia beri tumpangan.
"Terima kasih Devan!"
"Ayo! Aku antar sampai ke rumah!"
"Ja .. jangan repot-repot! sampai sini saja." Lagi-lagi Shagia sungkan.
"Aku akan antar kamu sampai ke rumah, aku nggak mau lepas tanggung jawab begitu saja. Orang tuamu pasti syok saat melihat anak gadisnya terluka, aku ingin meminta maaf secara langsung." papar Devan.
Dan berhasil membuat Shagia tak bisa menolak lagi.
Mereka sampai di depan pintu rumah Shagia yang ada di lantai dua rusun. Devan mengetukkan pintu seraya mengucap salam "Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam!" sahut Mira, ibu dari Shagia itu segera menyongsong pintu dan membukanya. Sesaat Mira terheran melihat Devan yang asing baginya, tapi sejurus kemudian matanya terbelalak melihat ada perban di dahi dan siku putri semata wayangnya yang berdiri di samping pria itu.
"MasyaAllah nak, kamu kenapa?" Mira langsung mendekati Shagia dan memeriksa kondisi putrinya.
"Maaf bu, saya tadi tak sengaja menyerempet putri ibu. Saya minta maaf." kata Devan.
"Bu, Shagia juga nyebrang kurang hati-hati tadi. Ini bukan sepenuhnya salah mas Devan." timpal Shagia seakan tak mau Devan jelek di hadapan ibunya
"Oh, ya sudah! Yang penting kamu baik-baik saja, ayo masuk!" Mira mengiring Shagia masuk sekaligus juga mempersilahkan masuk pada Devan.
***
Setelah berbincang dan meminta maaf Devan lalu pamit.
Shagia juga sudah beristirahat di kamar, dia sedang murung saat Mira memasuki kamarnya.
"Obatnya sudah diminum?" tanya Mira mendekat
"Sudah buk!"
"Terus kenapa gak istirahat? Malah melamun, ada yang sakit?" tanya Mira khawatir
"Nggak kok bu!" sela Shagia "Shagia Cuma lagi melamunkan kegagalan hari ini, sampai sekarang Shagia masih belum bisa mendapatkan pekerjaan." ucapnya pilu.
Mira mengusap-usap kedua bahu putrinya "Jangan putus asa, Ibu selalu berdoa suatu hari nanti kamu pasti akan dapat pekerjaan yang bagus."
"Shagia merasa gagal bu, Ayah sudah bekerja keras sampai Shagia lulus kuliah. Tapi Shagia masih belum bisa bikin Ayah bangga." Shagia merajuk.
Ridwan Ayah Shagia yang kebetulan baru tiba di rumah mendengar percakapan istri dan anak semata wayangnya, pria yang sehari-hari berjualan buah-buahan di pasar itu mematung di depan pintu kamar putrinya yang terbuka. Ridwan lalu memasuki kamar itu. "Siapa bilang Ayah gak bangga sama Neng?" sahut Ridwan dengan panggilan manja nya untuk sang putri. Mira dan Shagia menoleh seketika "Ayah beruntung sekali mempunyai kamu." Ucap Ridwan saat berhadapan dengan putrinya. Ridwan menatap dahi dan siku Shagia. "Ibu bilang katanya kamu kecelakaan, gak parah kan?" selidik Ridwan.
Shagia segera menggeleng dengan senyuman.
"Si Neng mah kegirangan Yah, orang yang nyerempetnya cowok ganteng." goda Mira.
"Ibu ih!"
Ridwan dan Mira terkekeh melihat putrinya itu yang salah tingkah.
***
Devan menapakkan kakinya di sebuah rumah mewah. Rumah sang nenek, atas permintaan adiknya Nika di telepon tadi. Devan mengedar pandangan ke sekeliling rumah besar itu, lengang. Devan hanya melihat seorang wanita tua yang terduduk sendiri di sebuah sofa dengan buku tebal di tangannya, sesekali wanita itu membenarkan posisi kacamata yang bergeser.
"Assalamualaikum Oma!" Devan menghampiri lalu meraih punggung tangan neneknya dan menciumnya.
"Waalaikumsalam!" Ros segera menutup buku yang sedang ia baca saat Devan mendudukkan diri di dekatnya.
"Kemana mereka?" tanya Devan tentang Nika adiknya, dan Rafaan adik sepupunya.
"Mungkin sedang tanding video game di kamar atas!" Rosita melirik lantai atas.
Devan menghela nafas lelah seraya menyandarkan tengkuk dan kepalanya pada penyangga sofa. "Kebiasaan, setiap kali ada pertengkaran kecil selalu saja harus menelepon, sekarang mereka malah sudah baikkan lagi." Devan agak mengerutu.
"Rafaan itu suka sekali menggoda Nika, entahlah! Masih belum dewasa juga, sepertinya Oma harus paksa dia untuk segera menikah." ditimpali gerutuan yang sama oleh Ros.
"Tadi hampir saja nabrak orang Oma, saat Nika menelepon. Untung cuma keserempet ringan."
"Ya Allah, terus bagaimana keadaannya? Apa dia terluka?" Ros tercengkat
"Ya lumayan sih, ada luka kecil. Devan sudah bawa dia ke klinik."
"Tapi kau harus penuhi tanggung jawabmu Devan, kunjungi dia sampai dia sehat." nasihat Rosita
"Iya Oma," Devan mengangguk "Devan mau istirahat dulu di atas!" pamit Devan.
Ros mengangguki dengan senyuman hangat untuk cucu sulungnya. Rosita, wanita berusia 72 tahun itu sudah pensiun dari dunia bisnis yang dulu dia rintis bersama alm suaminya. Sekarang bisnisnya di jalankan oleh putranya Arya, ayah dari Devan dan Nika. Rosita mempunyai dua orang putra. Putra pertamanya Arya, dan putra keduanya Dirga ayahnya Rafaan. Tapi Dirga dan istrinya meninggal dalam kecelakaan pesawat saat Rafaan berusia 4 tahun. Saat itu kebetulan Rafaan kecil tidak ikut serta dengan orang tuanya, dia di titipkan pada Rosita. Dan kejadian naas itu merenggut nyawa putra dan menantunya. Sejak kejadian itu Rafaan di besarkan oleh Rosita.
***
Keesokan paginya...
Shagia sedang menikmati acara tv dengan aneka camilan yang menemani. Ponsel yang tergeletak di meja berdering, sahabatnya Nenti yang menghubungi.
"Halo Nenti! Dari mana saja kau baru menghubungiku?" omel Shagia tak berlama-lama langsung mengangkat telepon Nenti.
"Shagia sayang!! Maafkan Marimar yang baru sempat menghubungimu." Nenti lalu terkekeh menertawakan dirinya sendiri.
"Jadul banget sih ih, Marimar!" Shagia mencebik disertai kekehan pula "Tengokin dong aku kemarin kecelakaan nih!"
"Kecelakaan?"
"Heum." dehem Shagia seraya mengunyah kacang mede kesukaannya. "Keserempet Nen, tapi .. yang nyerempet cowok ganteng." dia malah cengengesan, lalu dibalas cibiran oleh Nenti di sebrang sana.
"Dasar!" celetuknya "B-T-W udah dapet kerjaan belom?" tanya Nenti
"Belum beb!"
"hmm ..." Nenti ikut kecewa "Gini deh Gi, nanti kalau ada lowongan di sini aku kasih tau ke kamu ya!" tawarnya.
"Ya, thank's ya!" sahut Shagia antusias. Dia hafal betul sahabatnya yang satu ini paling bisa di andalkan. Selanjutnya mereka bercakap-cakap sebentar sebelum akhirnya Nenti menyudahi percakapan karna jam kerja sudah mulai.
Selesai berbincang dengan Nenti, Shagia melanjutkan menonton serial kartun kesukaannya. Tetiba terdengar suara pintu di ketuk, Shagia beranjak bangun tapi Mira segera mendahuluinya.
"Neng, biar Ibu saja!" sahut Mira.
Shagia pun kembali duduk seraya tatapannya masih tertuju ke arah pintu, penasaran siapa yang datang.
"Assalamualaikum!" suara itu mulai familiar di telinga Shagia yang langsung terkesiap dan mendongak melihat siapa gerangan di sana.
"Waalaikumsalam! Nak Devan!" sapa Mira.
Selepas itu Mira segera mempersilahkan Devan masuk, Devan membawa dua kantong plastik besar berisi aneka makanan untuk Shagia. Dia juga menanyakan kondisi Shagia saat ini. Sayangnya dia tak bisa berlama-lama karna harus segera berangkat ke tempatnya bekerja. Tapi perhatian itu sudah lebih dari cukup, cukup! membuat Shagia bertambah kagum pada sosok pria yang baru dia kenal itu.
Bersambung ...