Uğur kimdir? Ben düşmanım (Siapa Uğur? Musuhku).
Dia, Uğur Şöysür namanya, seorang pria yang terkenal karena lincah dan cepat tanggapnya. Dia merupakan kakaknya Aslı dan anak sulung dari Kavita dan Sancar. Tampangnya agak mirip dengan Salih-ku, tapi bedanya Uğur lebih imut daripada Salih. Dahulu aku sempat bertanya-tanya dalam benak, apakah Salih dan Uğur bersaudara? Mengapa mereka mirip? Hanya saja beda dalam keimutan, ya? Tapi aku menggeleng, tak menyakini apa yang kupikirkan. Dia hanya musuh, musuh bebuyutan kami berdua. Kita bermusuhan sedari SMP dulu. Entah apa yang membuatnya seperti itu, padahal kami berdua tidak pernah membuat masalah dulu. SMP dulu dia yang selalu berprestasi, tapi digeser oleh Salih ketika sudah di universitas, mungkin itu yang membuat Uğur berserta rombongannya selalu menjatuhkan Salih, tapi untung ada aku beserta rombongan Salih siap pasang badan dari Uğur.
Selain mempunyai sikap membenci, Uğur memberikan apa yang kubutuhkan, dan tak terduga aku tidak pernah memberitahu apa pun pada teman-temanku—termasuk dia sendiri—selain Salih apa yang kubutuhkan. Salih? Bagaimanapun juga, kurasa Salih tidak pernah memberitahu apa pun pada Uğur, langkah kakinya bahkan tak ingin mengarah pada anak itu.
Saat itu, aku berjalan-jalan ke taman universitas untuk mencari tempat aman mengerjakan tugas kuliah yang begitu menyibukkan, sedangkan Salih sudah selesai dari tadi, mungkin sudah pulang, mungkin ia menungguku di luar. Ya, di sini, ada taman dipenuhi rerumputan, ada kolam air mancur kecil, ditumbuhi banyak jenis bunga Tulip yang ada di sekeliling taman—karena saat ini musim semi, burung-burung kecil dan banyak jenis kupu-kupu beterbangan di atas bunga, dan mahasiswa-mahasiswi berjujai di sini; berpacaran, mengobrol sesama temannya, juga ada yang menyendiri. Em, kududuk di kursi dengan posisi mengangkat sebelah kaki, lalu membuka buku. Membaca buku. Tak lama itu, celingukan ke mana kotak pulpenku.
"Di mana kotak pulpenku? Ada yang harus kugarisi catatan pentingku!" gumamku menggerutu sembari berdiri, berbalik badan sambil berharap kotak itu ada di kursi, kemudian menggaruk leher yang tidak gatal sebagai tanda kebingungan dan dicampuri oleh kecemasan. "Ah, ya Tuhan, bagaimana ini?" tambahku lagi sembari berbalik badan. Hendak kembali masuk ke ruangan, tapi seseorang menyautku.
"Kau membutuhkan wadah pulpenmu?" Terdengar itu suara Uğur, bocah menyebalkan itu.
Aku menoleh, memutar bola mata dengan raut yang menjengkelkan. Menyilang kedua tangan, sembari kemudian menghampiri anak itu. "Jadi, apa kau yang menyembunyikan kotakku?! Apa-apaan kau ini, hah!"
"Mana mungkin aku yang menyembunyikan benda konyolmu ini, Rambut Keriting," santainya tersenyum miring, memainkan kotak pulpenku.
Aku duduk di sebelahnya, mengambil kasar kotak pulpen itu dari tangannya. "Berhenti menyebutku dengan sebutan Rambut Keriting!"
"Bukannya terima kasih, kau malah menggerutu." Dia menyilang kedua tangan sembari menggerakkan kakinya.
"Untuk apa berterima kasih pada orang sepertimu ini, hm? Kau sering menghina Salih juga teman-temannya dan aku. Lalu aku? Aku harus mengucapkan terima kasih padamu? Oh, hallo!" ocehku pada pria itu. Ah, rautnya begitu menyebalkan! Tersenyum sumringah. Aku benci itu!
Dia masih tersenyum, lalu menggeleng heran. "Terserah kau saja." Kemudian ia pun akhirnya berdiri dari kursi, lalu berlalu dari sini. Kuharap dia berlalu dariku … selamanya!
_______________________________
Usai mengerjakan tugas kuliah, aku keluar dari kampus. Di depan gerbang universitas, suasana di sini sunyi dan tidak ada Salih. Ke mana Salih? Bukankah seharusnya dia sudah ada di sini? Baiklah, kulanjutkan langkah, siapa tahu Salih ada di parkiran. Iya, kan? he-he-he.
Hanya dalam beberapa langkah saja aku berhasil menemukan Salih. Namun, napas ini antusias menyempit nan sesak kela menyaksikan Kristen dan Salih saling bertatapan dalam posisi berpelukan, ditambah lagi dengan Salih yang menyisingkan rambut gadis itu ke telinganya membuatku semakin tak kuat menahan rasa cemburu. Aku cemburu, ingin mengungkapkan perasaan ini padanya dengan cara menjerit sekuat mungkin, tapi tak mampu, takut Cinta menjauhiku, dan tidak mencintaiku.
kukatupkan kedua jemari, lalu mengarahkan ke dada saat merentang hati, menahan napas yang terengah-engah, dan menahan linang airmata yang tak mungkin bisa dibendung lagi. Tak tahan, akhirnya aku melangkah cepat dari tempat ini, tak ingin menyaksikan itu lebih lama lagi. Dan ya, seperti yang kautahu bahwa aku mencintai Salih sejak lama, karena hanya Salih-lah yang membuat merasa amat bahagia.
_______________________________
Pergi ke rumah kosong, menumpahkan seluruh tangis di sana. Duduk bersandar, memeluk lututnya, menundukkan kepala di atas lutut, kemudian mendongak dan bersandar di dinding sambil memejamkan mata yang berlinangan airmata. Selama di sana, berharap Salih datang kemari dan memeluk diri ini yang dingin menggigil. Salih, aku mencintaimu! Tapi, bagaimana caranya agar aku bisa membuang perasaan ini padanya, Tuhan? Aku mencintainya! Salih, aku tidak mampu lagi menahan rasa cinta dalam diamku padamu, ini amat berat karena rasa ini semakin dalam dan membuatku semakin sakit rasanya. Salih, aku mencintaimu! Aku mencintaimu, Salih! Aku menginginkanmu!