Gue gak tau ya, kenapa muka si Om berubah pucet gitu, yang gue tau dia habis baca pesan yang masuk tadi, dan ekspresinya langsung berubah. Gue pandangin muka dia lama, dia sih lagi natap ke luar jendela.
"Kenapa Om? Eh, Fadil maksudnya. Ehehe" bego emang, bego tuh di pelajaran aja napa Zil, jangan di kehidupan sehari-hari juga bego, malu-maluin tempat Les waktu lu kecil aja.
Dia sadar dia lamunannya, terus agak gugup gitu. "E-enggak, gue gak apa. Makannya udah ya, kenyang."
"Oh, oke deh. Gue simpen dulu, takutnya nanti lu mau lagi."
Gue beranjak ke meja deket sofa, dan naruh makanan tadi di atasnya. Si Om nampak lelah sih, mukanya lemes gitu, terus dia mencoba baring, dan buru-buru gue bantu. Dia cuman bilang Makasih setelahnya.
Bae-bae dah Om, cepet sehat. Kesian Fatih, liat Ayahnya sakit.
Om Fadil mejamin matanya, dan gue narik selimut sampai dada dia. Dingin pasti, jam juga udah nunjukkin pukul 22:45, malam. Tidur disindang ini gue, duh dingin cuy. Ga ada selimut lagi.
Gue melirik ke segala arah, sofa nya emang empuk, tapi hayati ga bisa tidur ini kalo ga ada selimut. Gimana ceritanya, hadeuh.
Dengan berat, gue melangkah ke sofa, ngelus pelan itu sofa mahal, bae-bae lu ya sofa, gue tidurin. Semoga lu anget dah, kek pelukan dia, biar ga ditambah selimut juga udah anget dan nyaman. Asek!
Haaaahh...
Nafas gue terasa lamban, kepala gue pening. Perjalanan gue masih panjang banget ini, mana taon belum berkembang pesat lagi teknologi, pan kagak bisa Youtube-an hayati ini. Ck!
Mata gue udah mulai terasa berat, mencoba menghangatkan diri dengan posisi tidur kayak bayi dalam rahim emak, gue menyelipkan salah satu tangan di lipatan kaki gue, dan satunya lagi buat bantal. Deuh ilah, kek apaan tau ya gue.
Dahlah tidur, besok mulung.
**
Zila sudah tertidur dengan lelapnya di sofa, sedangkan Fadil tidak. Ia melirik Zila yang terlihat kedinginan tidur di sofa, lelaki tanggung itu beranjak dari ranjangnya dan menarik selimut, dan membawanya ke arah sofa.
Berdiri di depan Zila, yang nampak kelelahan. Lelaki itu menaruh selimutnya di atas kepala Zila, lalu menggeser Zila ke sisi dalam sofa, lalu Fadil itu berbaring di tempat kosong sebelah Zila. Dan ia menyelimuti dirinya dan Zila.
Fadil mendekap tubuh Zila, agar tidak merasa kedinginan. Setelah meluruskan kaki gadis itu, agar tidak sakit.
Jam 08:15.
Zila terbangun lebih dulu, ia merasakan ada yang memeluknya semalaman, tapi saat bangun ia masih di sofa sendirian. Dan Fadil tertidur diatas ranjangnya. Apa Zila mimpi ya?
Setengah mengantuk Zila duduk di sofa, dengan mata yang masih terbuka separuh, rambut se-kusut Tarzan, Zila mengucek-ngucek matanya.
Menguap sebentar. Bau naga.
"Haaah.. ngantuk!"
Dreet!!
Getaran ponsel Fadil mengalihkan pandangan Zila, ia melirik ponsel itu. Ada panggilan masuk, melirik Fadil bergantian. Lelaki itu nampak pulas, Zila tidak mau mengganggu tidur Ayah Fatih itu.
Dengan malas, Zila beranjak dan mengambil ponsel Fadil di atas nakas. Tidak ada namanya? Belum di save kali ya. Zila mengangkat bahunya acuh, lalu menerima panggilan itu.
"Dil, gawat! Deka di hajar anak buahnya si bangsat, Devan. Gimana nih?" Panik suara di sebrang sana, Zila agak kaget. Ia menjauhkan ponsel itu dari kupingnya, lalu mengangkat alisnya sebelah, siapa Devan?
Devano anak Iis Dahlia? Yakaleee.
Lalu menempelkannya lagi ke kupingnya, "gawat! Lo harus kesini sekarang. Kalo gak, bahaya." Katanya lagi.
Gak mungkin juga Fadil kesana, kesehatannya sedang menurun, apalagi mukanya masih lebam babak belur. Zila dengan iseng membesarkan suaranya, agar terdengar mirip suara cowok.
"Dimana alamatnya?"
"Deket lapangan kemaren, cepet woy. Aduh!" Setelah itu panggilannya terputus, dan Zila makin penasaran apa yang terjadi.
Gadis itu segera pergi ke kamar mandi, membasuh wajahnya dan menyikat giginya. Tidak lupa menyemprot kan parfum milik Fadil yang ia bawa tadi malam, mengambil kunci motor dan bergegas ke Lapangan kemarin.
Selama berjalan cepat, dan setengah berlari di lorong rumah sakit, fikiran Zila tidak fokus, ada apa sebenarnya.
Saat memencet tombol Lift, Zila bertemu lagi dengan Ayahnya versi masih muda. Ia nampak kusut, dan kurang tidur. Kembali Zila mencuri-curi pandang, pintu Lift terbuka dan mereka berdua masuk.
"Eh? Kamu ya? Ketemu lagi kita. Nama kamu siapa dek? Tenang, Om bukan Om-Om mesum kok!"
'Gue juga tahu keles, kan lu bapak gue! Suek.' Batin Zila.
"Ehh, anu." Kata Zila gugup.
"Loh si anu kenapa? Sakit dia? Bawa aja kesini. Nanti kan kalo bayar di backup sama BPJS." Dahlah, Zila males. Ini benar-benar Ayahnya, sifat mereka sama. Sama-sama slengean.
"Hehe bukan itu Om, tapi, kok Om kepo nama saya?"
"Ya pengen tau aja, masa gak boleh. Muka kamu mirip saya sama istri saya soalnya. Kamu kayak anak masa depan saya kalo udah gede gitu."
Setdah! Emang, ini emang anak lu Pak. Buset! Muncrat kan gue.
Zila meringis, duh. Ribet keknya nih. "Nama saya Amora Om, biasa dipanggil Mora. Ituloh jangan suka Mora-mora.."
"MARAH-MARAH DEK, ADUH KAMU ITU AHAHAHA." receh bat su. Arkan menepuk bahu Zila kencang sampai gadis itu agak terdorong ke depan, sontak saja Zila memegang pundaknya. Buset, kekuatan Samson inimah. Maen tepuk ae pak, patah nih tulang pundak Zila.
"Ehehe.." gak tau Zila mau bilang apa, jadi cengengesan aja kayak Pasien RSJ.
Pintu Lift terbuka, Zila buru-buru pergi. Sebelum itu menoleh, dan mengucapkan, "Sampai Jumpa lagi Om."
"Iya. Ketemu lagi ya, duh anak gue kayaknya kalo dah gede mukanya kek gitu. Cakep kek gue."
Gadis itu berlari ke parkiran rumah sakit, dimana motor Fadil berada. Ia mengambil Helmnya dan memasangkannya ke kepala, men-Stater motor itu. Kemudian segera pergi meninggalkan Areal Rumah Sakit.
Zila senang, di Zaman ini macet belum separah di masa depan tempat ia tinggal. Jadi kalo ngebut pun ga masalah, 15 Menit kemudian, gadis itu sudah sampai di pinggir lapangan kemarin.
Disana ada segerombolan, Lelaki tanggung. Yang sedang ber-duel sepertinya. Ada yang sudah babak belur juga, yang Zila lihat.
Membuka Helm-nya dengan cepat, dan segera berlari ke tengah lapangan. Dimana mereka berada sekarang.
"WOY!" itu tadi teriakan cewek Bar-Bar kelas 12 IPS. Anak badung, kang bolos sukanya nangkring di kantin atau di rental PS. Jadi harap maklum untuk pemirsa di rumah, jika sedikit mendengar ada gesekan antara suara Jakun tertahan ala Lucinta luna juga. Mohon di maklumi.
"RIBUT LU! KEK JAGOAN AJA! BANTUIN BAPAK LU NOH, MANDIIN PERKUTUT BULUKNYA. ASEK RIBUT AJA KELEN." Kata Zila nge-gas. Membuat semua langsung menatap Zila dan ber-cengo ria. Mangap kan, mampos. Salah sendiri pendekar Jakarta di lawan.
Zila maju dengan muka sangarnya, bertanya ngegas bak Genji. "Mana yang namanya Depan, eh salah. Devan!"
"Gue, kenapa?!" Kata salah satu cowok, dengan wajah yang ganteng bak pangeran negeri Wattpad. Eh dongeng maksudnya.
"Oh elu, eh parutan keju. Denger ye, gosah sok jagoan lu, ngehajarin temen-temennya Fadil. Mana Fadil juga ikut di hajar! Gak terima gue!"
Sabar buk, nafas.
"Terserah gue dong," Ujarnya sengak.
"Lo siapa? Main ikut campur aja. Eh! Lo tuh cewek, gak pantes, sok jadi jagoan belain si Fadil dan temen-temennya." Ucapnya sombong, mendorong pundak Zila dengan jari telunjuknya.
Zila membulatkan mulutnya, menatap pundaknya di dorong seperti itu. Ia kembali menatap kesal dan marah pada Devan.
"Eh, gak tau ya. Kekuatan Samson gue! Gue tiup, terbang lu ke Asgard. Jadi tukang cuci baju Thor ama Loki baru tau rasa lu!"
"Cih. Gak takut gue sama cewek sok kayak lo!" Tunjuknya di depan wajah Zila, dan di tertawai teman-teman Devan.
"Anjeng! Si kampret bener-bener. Mundur lo semwa! Gue beri nih bocah atu mampush lo!" Ampe muncrat itu mampush!