Chereads / Om Fadil / Chapter 25 - Bab 25

Chapter 25 - Bab 25

Sesampainya Zila di dekat lapangan itu, ia langsung mencari keberadaan Fadil dimana. Ia memarkirkan motornya di pinggir lapangan. Lalu gadis itu mulai menyisir lapangan mencari Fadil. Di ujung lapangan sebelah kiri, terlihat ada empat orang anak lelaki yang memakai seragam SMA, sedang duduk membantu temannya yang lain yang sedang mengaduh kesakitan.

Zila segera berlari ke arah sana, dan berjongkok di depan Fadil yang sudah bonyok sana-sini. Wajahnya memar. "ayo ke rumah sakit!" ajak Zila, membuat teman-teman Fadil terheran-heran, siapa perempuan yang tiba-tiba mengajak temannya itu ke rumah sakit.

Fadil yang setengah sadar hanya melirik sebentar, lalu mengaduh kesakitan lagi. Zila menoleh ke kanan dan kiri dimana posisi teman-temannya Fadil berada. "kalian bantuin dong, temen kalian udah sekarat gini. Ayok bawa ke motor, mau gue bawa ke rumah sakit nih!"

Setelah mendengar itu, mereka langsung membopong Fadil, ke tempat Zila memarkirkan motornya. Zila berlari kecil dibelakang, mengikuti langkah mereka. Sesampainya disana, Zila langsung naik ke motornya dan menyuruh teman-teman Fadil menaruh Fadil di jok belakang.

"udah nih, eh Dil lu kuat gak di motor gini?" tanya Andra, si lelaki rambut cepak di sebelah kanan Fadil yang sedang memegangngi dirinya agar tidak jatuh.

"pegangan ya, peluk pinggang gue." Ujar Zila.

Fadil hanya meng-kode bahwa dia tidak apa-apa, dan langsung memeluk pinggang Zila erat, sampai wajah dan tubuhnya menempel di punggung Zila. "udah?' Tanya Zila.

"udah nih, hati-hati ya bawanya. Nanti kita nyusul," Ujar Aksa, Zila hanya mengangguk kemudian langsung meng-gas motornya ke rumah sakit terdekat. Sepanjang perjalanan tidak ada obrolan diantara mereka, karena Fadil juga sudah lemas dan rasa sakit mulai menggrogoti tubuhnya.

Zila memarkirkan motornya setelah sampai di depan rumah sakit, gadis itu memegang lengan Fadil agar tidak jatuh, dan segera memanggil suster dengan berteriak hingga orang-orang di sekitarnya memperhatikan Zila. Tidak lama paramedis keluar, sambil membawa ranjang rumah sakit dorong, dan menidurkan Fadil disitu. Paramedis membawa Fadil ke ruang IGD, sementara Zila mengikuti dari belakang.

Saat sampai di depan ruang IGD, Zila dilarang untuk masuk oleh suster, dan terpaksa gadis itu menunggu diluar dengan cemas. "duh, Fatih. Papahmu waktu muda badung banget, kayak rambo. Sering ribut ama orang, pusing mama nak." Monolog Zila, kemudian menjatuhkan bokongnya di kursi besi rumah sakit.

Gadis itu benar-benar cemas, karena melihat kondisi Fadil yang mengenaskan. Wajahnya penuh luka lebam dan sedikit berdarah di ujung bibir dan tulang pipinya. Zila sudah duduk, bangun, mundar-mandir tidak menentu perasaannya menunggu dokter yang memeriksa Fadil keluar. Ia berdoa semoga lelaki itu baik-baik saja, dan lukanya tidak parah.

Setelah menunggu sekitar 15 menit, akhirnya dokter yang memeriksa Fadil keluar. Ia menampilkan senyum ramah, menyalami Zila terlebih dahulu. "bagaimana dok, keadaannya?" tanya Zila tak sabar.

"baik-baik aja kok, hanya luka lebam akibat pukulan, tonjokan biasa. Lemas karena mungkin tenaganya habis, saat berkelahi ya. Pasien boleh langsung pulang, atau di rawat disini agar masa penyembuhannya lebih cepat karena di awasi paramedis. Tapi itu terserah adek saja, pasien sudah bisa dilihat, segera urus administrasinya juga ya dek, terimakasih."

"oh, iya dok. Makasih juga ya, nanti saya urus biaya adminnya."

"sama-sama, mari saya permisi dulu."

"iya dok."

Zila segera masuk, dan menghampiri Fadil yang terbaring lemah di atas brankar rumah sakit. Ada rasa sedih di hatinya, mengingat Fadil di masa depan begitu pendiam tapi sabar. Padahal masa lalunya jauh dari kata indah, tapi lelaki itu tetap kuat. Fadil menatap lurus ke atas, entah apa yang sedang ia fikirkan, yang jelas rasa sakit akibat perkelahian tadi tidak ada apa-apanya dibanding rasa sakit hatinya selama ini.

Zila berdiri di sebelah ranjang Fadil, dan hanya menatap pria itu dengan pandangan kecewa. Kenapa Fadil merahasiakan masa lalunya selama ini, beruntung dia bisa pergi ke masa lalu ayah dai anak-anaknya itu. "makasih." Hanya kata itu yang keluar dari bibir pucat Fadil.

Zila menarik kursi yang ada di sebelahnya, gadis itu duduk disana, mengelus lengan Fadil yang nampak dingin. "kenapa bisa jadi kayak gini?" tanyanya dengan suara bergetar, tak pernah sebelumnya gadis yang dijuluki orang tercuek di sekolah itu menangis seperti ini.

"ini hal biasa, namanya juga cowok." Kata Fadil enteng.

"gue butuh alasan kenapa lo, bisa sampe ribut sama anak sekolahan lain?"

"ini masalah dan urusan gue, lo gak perlu tau." Jawabnya singkat.

Zila kecewa, ia membuang mukanya kesamping dan menahan air matanya agar tidak jatuh, tapi tetap saja butiran bening itu jatuh juga. Ia buru-buru mengusapnya, dan menarik ingusnya. Menatap Fadil lagi, lelaki itu masih setia menatap langit-langit kamar IGD Rumah sakit.

"dirawat ya?" bujuk Zila yang tak tega, melihat keadaan Fadil yang masih lemas seperti ini. Lelaki itu akhirnya menoleh dan menatap Zila dalam. "gue gak apa-apa, lagian emang lo punya uang buat bayarnya? Udahlah bawa gue pulang aja."

Perempuan itu menghela nafas lelah, ketika suasana hening menguasai mereka berdua, datang seorang suster memberitahukan bahwa kamar rawat Fadil sudah siap, dan Fadil akan segera di pindahkan kesana. Mereka berdua, tentu saja terkejut. Bagaimana bisa? Siapa juga yang memesan dan membayar semua itu?

Belum sempat berbicara, suster itu membangunkan Fadil untuk pindah kamar, dan membawanya dengan menggunakan kursi roda. "siapa yang bayar Sus?" tanya Fadil keheranan.

"tadi ada perempuan yang datang ke bagian administrasi, untuk melakukan pembayaran rawat inap adek untuk seminggu kedepan di kamar VIP. Jadi adek tinggal pindah saja, sudah di siapkan semuanya di sana." Jelas suster itu, Zila langsung berfikir mungkin itu Ibu Peri yang selalu memandu Zila selama menjelajah waktu? Ah, Ibu Peri mempermudah sedikit perjalanan waktu Zila.

"ayo, mari saya antar."

Suster itu mendorong kursi roda Fadil keluar dari IGD menuju kamar rawat, sementara Zila mengikuti dari belakang sambil berucap terimakasih pada si Ibu Peri tersebut. "sekarang, lakukan tugasmu sebaik mungkin Zila." Kata seseorang yang terdengar samar di telinga Zila.

--

Kamar rawat Fadil.

"makan ya?" bujuk Zila lagi, sambil menyodorkan sesendok bubur rumah sakit ke depan bibir Fadil. Pria itu menggeleng dan menepisnya pelan, "gue gak mau, lo yang makan aja." Tolaknya.

"sedikit aja.."

Fadil menoleh, "gak nafsu makan, kalo makanannya kayak muntahan bayi gini." Ujarnya

"terus mau makan apa?"

"lo bisa masak gak? Buatin sop ayam bisa? Gue kalo sakit suka dibuatin itu sama Mama." Ucap Fadil.

Zila nampak berfikir sejenak, bisa mungkin. Zila bisa masak meskipun sedikit-sedikit, gadis itupun mengangguk mantap, semua akan ia lakukan agar Fadil senang dan tidak jadi bunuh diri di kemudian hari. "yaudah, gue pulang dulu ya. Nanti kalo udah jadi, gue bawa buat makan lo." Kata Zila.

Fadil hanya mengangguk, lalu tersenyum samar ke arah gadis itu. "makasih ya.." katanya tulus.

"iya sama-sama, Om Fadil."