"Jadi gimana, Lo berani terima gak?"
"Udahlah Gav terima aja, lumayan juga kalo lo bisa pacaran sama Edrea." Ujar Mirza.
"Lo mau gue dibunuh Rafa!" Ucap Gavin geram.
Sial, Gavin menyesal ikut permainan seperti ini. Empat laki-laki tengah berkumpul dipojok bangku paling belakang, untuk mengisi jam kosong mata kuliah dosen botak yang terkenal paling 'kolot' mereka sepakat bermain Truth or Dare. Hari buruk bagi Gavin, botol bekas mineral yang digunakan untuk bermain justru berhenti menghadap Gavin setelah diputar oleh salah satu temannya.
Pasalnya dare yang diberikan temannya sangat tidak berfaedah. Gavin harus mendapatkan hati seorang playgirl yang terkenal paling cantik dikampusnya.
Kenapa Gavin sebodoh itu? Laki-laki tersebut menghindari truth karena takut ditanyakan tentang kelanjutan hubungannya dengan Thea. lebih baik Gavin memilih dare, tapi malapetaka itu datang.
Gavin memijat pelipis kepalanya. Bagaimana bisa dia menerima tantangan seperti itu?
"Ayo dong terima, laki bukan sih lo. Dikasih tantangan kaya gitu aja udah ciut."
"Abang macem apa lo, sama Rafa aja takut cih, cemen."
Merasa kejantanannya telah diremehkan. Akhirnya Gavin menerima dare tersebut, "Oke gue terima. Tugas gue cuma buat baper dia aja kan terus selesai?"
"Enak aja! Ya lo pacarinlah selama sebulan."
What the fuck—Gavin terkejut. Untuk saat ini Gavin benar-benar percaya bahwa teman-temannya sama sekali tidak memiliki otak.
"Gila aja kali sampe sebulan, ogah gue!" Tolaknya.
"Ck, denger dulu makanya gue belum selesai ngomong," Mirza mengambil nafas terlebih dahulu sebelum melanjutkan perkataannya, "Jadi gini, lo pacarin Edrea selama sebulan. Terserah lo mau bikin baper dia sampe mana kek, tapi ada syarat satu lagi yang lo harus ikutin."
"Apaan?" Tanya Gavin malas.
"Selama sebulan pacaran sama Edrea, lo gak boleh suka juga sama dia. Intinya lo jangan ikut baper—"
"Mana mungkin!" Potong Gavin.
"Ya dicoba aja, kalo sampe lo terjebak cinta beneran sama dia. Lo harus bayarin kita berempat traveling ke Sidney. Mulai dari penginapan, transportasi, sampe makanpun harus lo yang nanggung."
"Lo semua mau ngerampok gue?!" Gavin kesal dengan sikap teman-temannya yang suka seenak jidatnya. Bisa saja Gavin menolak tantangan itu dan langsung memberikan ketiga temannya liburan gratis secara cuma-cuma sesuai permintaan. Tapi balik lagi, ini masalah harga diri. Bukan Gavin namanya kalau tidak bisa menaklukkan hati seorang ratu kampus.
Universitas Harvard terkenal memiliki banyak mahasiswi cantik, termasuk Edrea Berlyn Natasya seorang gadis yang baru berusia 19 tahun kuliah dijurusan tata boga S1. Mempunyai wajah cantik dan body perfect yang mampu membuat orang lain tidak akan berkedip saat pertama kali bertemu dengannya. Edrea adalah remaja humble dan pandai bergaul.
Banyak yang bilang Edrea itu playgirl. Ya menurut Gavin sih sah-sah aja, seimbanglah sama wajahnya. Jaman sekarang tidak ada kata wanita cantik itu setia. Percayalah, sebenarnya bukan laki-laki saja yang brengsek.
"Jadi kapan lo mau mulai deketin Edrea?" Tanya Farel.
"Secepatnya."
"Widihhh garcep banget."
"Target lo kali ini Edrea loh. Jangan terlalu macem-macem, lo deketin abis itu tinggalin baik-baik. jangan buat masalah tambah lebar, lo mau pala lo dibantai sama Rafa." Sambung Mirza.
"Adik lo pinter cari sahabat, cewek kaya Edrea mantep juga."
"Cantikkan Thea." Sahut Gavin.
"Yaelah gak cape lo digantung terus sama dia?"
"Status lo berdua juga gak jelas."
Arka—sang ketua BEM yang sedari tadi hanya menyimak kini ikut berbicara. "Makanya jadi cowok peka dikit, biar cewek betah." Setelah berkata seperti itu Arka berjalan keluar kelas.
"EH MAU KEMANA LO AR?" teriak Mirza sambil berlari menyusul Arka.
Farel menoleh kearah Gavin. "Lo mau ke kantin gak?"
"Males."
"Yaudah gue ke kantin dulu, laper."
"Sana-sana pergi lo." Usirnya.
"Goodluck ya deketin neng Edreanya." Ledek Farel.
Gavin menyeret kursi panjang disampingnya, kemudian dia merebahkan tubuhnya dan memejamkan matanya perlahan.
Edrea?
Mustahil jika laki-laki bertubuh tinggi itu tidak mengenalnya, bahkan seluk buluk dari keluarga Edrea pun Gavin juga tahu lengkap. Edrea memiliki hubungan sangat dekat dengan adiknya—Rafa. Walaupun hampir setiap hari Gavin melihat wajah Edrea didalam rumahnya jujur dia hanya menganggap Edrea sebagai adik keduanya, tidak lebih dan sama sekali tidak tertarik. Mungkin karena sudah mengenal Thea seleranya untuk melirik wanita lain jadi berkurang.
Ah—mengingat Thea selebgram cantik yang berhasil menaklukkan hati si gunung es. Gavin termasuk tipe cowok yang jarang banyak bicara lebih tepatnya malas mengeluarkan banyak kata, hanya membuang waktu dan tenaga saja.
Bukan Gavin yang tidak peka, dia tahu bahwa Thea menuntut kelanjutan untuk hubungannya. Tapi mau bagaimana lagi, Gavin belum merasa pantas jika bersanding sebagai pasangan Thea. Kepopuleran Thea yang membuat Gavin harus berpikir puluhan kali untuk menjalin hubungan dengannya.
***
Edrea menjatuhkan badannya diatas kasur berukuran king size miliknya. Hari ini cukup melelahkan, mata kuliah bu Anna dan pak Anjas sukses membuat kepalanya hampir meledak.
Mungkin sedikit berendam di bathtub akan menghilangkan penat diotaknya.
Baru saja Edrea ingin melangkah menuju kamar mandi tiba-tiba dia mendengar dering ponselnya berbunyi.
Senyumnya mengembang ketika membaca nama yang tertera dilayar ponsel.
Rafa is calling ...
"Halo, kenapa Raf?"
"Lo dimana?"
"Baru pulang ngampus."
"Mandi cepetan, kebiasaan!"
Edrea terkekeh kecil, "Mandiin dong."
Lelaki itu mendelik dari sebrang telepon. "Tipe cewek gue bukan lo, sorry nih ya."
"Sialan! udah gausah muter-muter, gue tau lo pasti ada maunya nelpon gue kaya gini."
"Hehe peka deh. Malem ini lo bisa keluar gak?"
"Kenapa?"
"Gue diundang ke party temen."
"Terus?"
"Ah ternyata lo kurang peka!"
"Makanya cari cewek!" Cetus Edrea tak mau kalah, "Acaranya gak sampe pagi kan?"
"Nggak kok, gimana lo bisa nemenin gue gak?"
"Kalo gue bisa lo mau ngasih apa?"
"Yaelah perhitungan banget sama sahabat."
"Mana ada yang gratis, kencing aja sekarang bayar."
"Iyaiya, gue beliin make up."
"Deal."
"Ck, dasar. Yaudah nanti malem jam tujuh gue samper ya."
"Oke."
Edrea menutup sambungan telepon lalu meletakkan kembali benda tipis itu diatas nakas.
Edrea dan Rafa sudah bersama sejak kecil, lahir ditanggal dan bulan yang sama. Kedua Orang tua mereka berteman baik dari SMA. Maka tidak heran jika Rafa sudah dianggap seperti anak sendiri oleh kedua orangtua Edrea, begitu juga sebaliknya. Edrea diperlakukan seperti ratu oleh Alena dan Aidan—orang tua Rafa. Maklum Alena ingin sekali memiliki anak perempuan, tetapi takdirnya malah mempunyai Gavin dan Rafa. Meski jarak rumah Rafa hanya terpaut lima langkah dari rumah Edrea hal itu tidak membuat alasan untuk Rafa tidak mengunjunginya setiap hari.
"Kamar lo bau banget sih, jorok!"
"Astaga lo gamalu celana dalem lo gue liat?"
"Beresin cepetan, males banget jadi cewek!"
"Seprainya ganti nih udah kotor."
"Ini juga kan didalem kamar lo ada tempat sampah, kenapa buang sampah masih dipojokan tempat tidur!"
Edrea menatap jengkel Rafa. "Yaudah gausah kesini, ribet!"
Persahabatan mereka terbilang unik, setelah lulus sekolah tahun lalu mereka berdua sepakat untuk membuat tiga peraturan yang tidak boleh dilanggar oleh keduanya. ralat, Rafa saja maksudnya.
1. Rafa harus antar-jemput Edrea kemana saja.
"Ck, lo jadiin gue tukang ojek ya!" Protes Rafa.
2. Jika Rafa sudah memiliki pacar tetap saja yang akan menjadi prioritas utamanya adalah Edrea.
3. Rafa wajib menuruti semua kemauan Edrea dan harus menjaga Edrea.
Tentu saja peraturan itu sepenuhnya dibuat oleh Edrea sendiri. Rafa juga tidak keberatan, selagi dia masih mampu melakukannya kenapa tidak? Baginya Edrea adalah segalanya.
•••
A/N
Halo! aku mau ngasitau, setiap chapter akan berisi 1200-1400 words, so aku sangat mengharapkan feedback kalian agar aku masih semangat melanjutkan cerita ini🙂
Gimana menurut kalian chapter 1 nya?