Chereads / Kisah Mitos : Rasuk / Chapter 7 - 006

Chapter 7 - 006

"Ya, Mas, Mbak, ada yang bisa saya bantu?"

Tak lama, pria paruh baya yang tengah berjaga tersebut menyadari kedatangan kami. Meskipun wajahnya seperti orang galak, hanya keramahan yang bisa kurasakan darinya. Namun, entah mengapa rautnya sedikit cemas, kontras dengan sambutannya yang baik.

"Begini, Pak," mulaiku langsung, namun seketika aku ingat sesuatu. "Oh iya, sebelumnya, dengan Bapak siapa?"

"Saya Suryatno, Mas."

"Oh, Pak Suryatno, ya? Saya Sandi, Pak, dan ini Virya."

Virya sedikit menganggukkan kepala kepada Pak Suryatno, beliau juga membalas dengan anggukan.

"Ada apa ya, Mas?" ulangnya kembali.

"Begini, Pak. Selama Bapak jaga di sini, pernah lihat hal aneh enggak, ya?"

Rona wajah Pak Suryatno semakin memucat.

"A-Aneh bagaimana ya, Mas?"

"Ya misal penampakan atau orang asing yang buang sampah di sekitar sini begitu?"

Beliau menggeleng. "Saya enggak pernah lihat orang asing, Mas. Di sini juga bersih, tiap hari saya yang bersihkan."

"Kalau penampakan hantu, Pak?"

"Mungkin pernah, Mas. Tapi di daerah seperti ini, malam-malam juga, pasti paling enggak ada saja hal aneh yang terjadi. Ya bisa jadi cuma halusinasi saya saja, Mas."

Hmm, benar juga, sih. Meski begitu, Pak Suryatno punya gelagat yang sedikit aneh. Beliau seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Aku jadi ingin menekannya sedikit lagi.

"Bapak tahu kejadian yang menimpa Naffa, kan?"

"Mas Naffa, ya? Tahu, Mas. Saya juga khawatir sama Mas Naffa."

"Sama, Pak. Kalau bisa, saya ingin sekali bantu Naffa."

"Iya, Mas. Tapi saya cuma penjaga biasa, enggak paham yang begituan."

"Kira-kira Bapak tahu enggak penyebabnya apa?"

Sejenak, beliau terdiam. Kepalanya seolah tengah mengintip ke belakangku.

"Kalau menurut saya, sih, Mas. Itu karena—"

Pak Suryatno tidak melanjutkan kalimatnya. Kedua matanya sudah tak fokus lagi padaku, melainkan seperti berkeliaran ke segala arah. Hingga tidak lama, pandangannya terhenti pada suatu titik dan kucoba ikuti arahnya.

Pak Ananta tengah berdiri di sana.

Beliau memandangi serius kami bertiga dari kejauhan.

Hal itu membuat Pak Suryatno mulai enggan menjawabku. "Ma-Maaf, Mas. Pak Anan panggil saya barusan. Saya harus ke sana dulu." Dan meninggalkanku dengan Virya begitu saja.

Meskipun Pak Suryatno sudah berada di samping Pak Ananta, kepala keluarga itu masih saja memandangi kami berdua. Tak lama, beliau mengajak Pak Suryatno ke bagian rumah yang lain. Tampak bibirnya berbicara dengan pegawainya yang setengah membungkukkan badan, seperti orang yang tengah meminta maaf.

"Hmmm, kalau kata pepatah, ada udang di balik tekwan," komentarku seraya menyilangkan tangan di dada.

"Maksudnya?" sahut Virya.

"Kamu enggak lihat? Jelas sekali kalau Pak Suryatno tahu sesuatu. Aku jadi curiga juga dengan Pak Ananta."

"Kamu pikir Pak Ananta pelakunya? Kenapa beliau harus menyakiti anaknya sendiri?"

"Hmm, benar juga, sih," balasku kecewa. "Tapi aku yakin mereka tahu sesuatu."

"Kalau Naffa kelainan jiwa?"

"Hus! Jangan bicara gitu ah!"

"Bukannya kamu yang bilang kalau kami berhalusinasi saja? Kenapa jangan?"

"Ya karena semua cuma praduga sementara saja. Kita enggak boleh seenaknya klaim begitu saja soal kewarasan orang lain."

"Kamu yakin enggak lagi jilat ludah sendiri?"

Aku hanya bisa meringis masam.

"Walau begitu, aku setuju kalau Pak Ananta mencurigakan. Beliau enggak perlu segitunya mengawasi kita kalau enggak ada yang disembunyikan," lanjut Virya, sebelum kemudian tersenyum kecil padaku.

"Ada yang lucu?" komentarku.

"Enggak ada. Cuma… kamu memang benar-benar aneh. Cepat sadar sama hal sesamar itu."

Aku hendak membalasnya, namun Virya sudah mulai berjalan ke arah bangunan rumah besar itu. "Kamu suka banget ya ejek aku," keluhku gamblang.

Menoleh ke belakang, dia membalasku. "Sudah sore, ayo masuk!" ajaknya.

Aku hanya bisa menggaruk kepalaku yang sudah berminyak, sebelum kemudian mengikutinya ke dalam rumah.

"Sudahan nih cari benda santetnya?"

"Iya. Sebentar lagi gelap, percuma kita cari lagi. Kata Pak Suryatno juga enggak ada benda aneh. Beliau jaga bersih rumah ini."

"Lalu sekarang mau bagaimana?"

"Kita bicara dalam kamar saja."

Aku menelan ludah.

Virya berjalan masuk terlebih dahulu, lalu aku mengikutinya. Kututup pintu dan tak lupa memutar kuncinya. Masih dengan berdiri, aku memunggungi pintu seraya menatap Virya yang tengah duduk di kasur, memandangku balik.

"Kenapa dikunci?"

"Aku pikir kamu ajak aku ke kamar karena ingin rahasiakan ini dari yang lainnya?"

Dia tertawa kecil.

"Kurang lebih begitu," jawabnya. "Tapi bukan sesuatu yang perlu disembunyikan sebegitunya, sih."

Virya membuka tas ranselnya. Kedua tangan gadis itu mulai sibuk merogoh sesuatu yang ada di dalamnya. Layaknya kantong empat dimensi, perlahan dia keluarkan berbagai jenis benda seperti handuk, pakaian ganti, plastik-plastik, dan apapun hal yang seringkali hanya cewek ketahui. Aku jadi penasaran, apakah benda sihir itu ada dan tas Virya adalah salah satunya?

"Ketemu," celetuknya seraya mengangkat sesuatu berbentuk balok.

Sebuah buku.

Sampul coklat, gelap, dan tampak lusuh.

Cukup bisa membuat orang asing yang melihatnya akan mengira bahwa Viryalah yang mengguna-guna Naffa.

"Buku apa itu?" tanyaku tanpa sanggup menahan rasa penasaran.

"Ensiklopedi paranormal."

"Beneran ensiklopedi?"

"Kenapa? Kamu kira ini buku dukun?"

"Bu-Bukan begitu, sih! Cuma sampulnya kayak buku-buku keramat."

"Isinya juga, kok. Rata-rata informasi soal hal gaib dan mantra-mantra."

"Tunggu. Jangan-jangan kamu beneran dukun—"

"Tenang saja. Aku asli orang biasa kok. Kebetulan punya buku ini, dikasih teman."

"Kamu punya teman?"

"Aku anggapnya sih teman. Enggak tahu bagaimana mereka anggap aku."

"Kenapa terdengar tak acuh begitu? Apa kamu enggak mau punya teman?"

"Aku sudah merasa punya cukup teman, jadi enggak perlu tambah lebih banyak lagi."

"Heee, jadi kita enggak bisa jadi teman dong?"

"Tergantung kamu ingin kita jadi apa."

Itu membuatku terdiam.

Oke, aku bohong, sejenak aku kehabisan kata-kata karena tidak berekspetasi Virya akan menjawab demikian. Aku hanya berniat bercanda saja, tapi jawabannya seolah berkata sebaliknya. Aku dibuat diam karenanya. Dari awal, kenapa kita membicarakan tentang teman?

"Tapi ngomong-ngomong," mulaiku mengalihkan pembicaraan. "Apa yang mau kamu lakukan dengan buku itu?"

Virya menatapku, seperti mencermati, sebelum kemudian membalas. "Aku kepikiran sudah saatnya pembersihan."

"Pembersihan?"

"Ng… aku kurang tahu kata tepatnya. Tunggu, kurasa kamu akan familier kalau kuganti jadi 'pengusiran setan'?"

"Oh, pembersihan itu," responku paham. "Eh? Sebentar. Kamu bisa lakukan itu?"

"Kenapa tidak?"

"Maksudku, kamu bilang enggak punya kemampuan paranormal, kan? Bagaimana bisa kamu usir setan?"

"Aku enggak bisa usir setan, kok."

"Hah?"

Refleks aku menggaruk kepala, semakin bingung.

"Itu hanya pembahasaan saja," jelas Virya. "Intinya, aku akan usir sesuatu yang sedang mengganggu Naffa. Kebanyakan kasus gaib, pelakunya bukan setan, melainkan jin."

"Jin?"

"Iya, jin. Setan, jin, dan hantu itu punya definisi yang berbeda. Mungkin akan kujelaskan di lain waktu nanti, yang jelas, kita lagi berhadapan dengan jin."

Atau mungkin, halusinasi masal saja.

Tidak mengatakan itu, aku membalas. "Tapi kan tetap saja, kamu bukan paranormal. Kamu enggak punya kekuatan. Mau usir jin pakai apa kamu?"

"Pakai ini."

Virya mengeluarkan sepasang anting yang berwarna merah pada bandulnya. Bentuknya sederhana saja, seperti kristal bening yang entah kenapa terlihat mempunyai kekuatan. Atau mungkin persepsiku sedang terpengaruh saja karena buku yang dikeluarkan Virya, beserta segala penjelasannya tentang hal gaib.

"Bagaimana anting itu bisa bantu kamu?"

Tanpa membalasku, Virya memberesi tasnya dan langsung berjalan ke arahku.

"Mau ke mana?" tanyaku yang masih berdiri di depan pintu.

"Ayo kita panggil Bu Evi dan Naffa. Nanti akan kujelaskan sekalian di sana."

Aku menelan ludah. Sebuah ekspetasi terbesit dalam pikiranku. Jelas-jelas Virya tidak tampak seperti orang yang sedang bohong. Jangankan itu, dari awal dia bukanlah seorang pembual. Sejenak, aku merasa kalau bisa jadi semua kegaiban yang mereka bicarakan itu benar-benar ada. Karenanya—mungkin merupakan salah satu bentuk kepecundangan diriku—aku bertanya dengan harapan Virya akan mengubah pikirannya.

"Kamu serius?"

Dan seolah tak mampu mengetahui apa yang aku takuti, dia menjawab dengan yakin.

"Aku akan usir jin itu sekarang juga."