Dua orang dokter berbincang di meja administrasi rumah sakit. Seorang dokter perempuan berambut pendek membawa papan klip dengan beberapa lembar kertas dijepit di atasnya. Seorang lagi dokter laki-laki paruh baya yang sedang berbicara sambil menggerak-gerakkan tangannya. Sementara itu si dokter perempuan hanya mengangguk-angguk. Usai percakapan itu ia pergi menyusuri koridor rumah sakit yang didominasi warna putih. Ia berbelok dan masuk ke sebuah ruangan yang juga didominasi warna putih.
Pintu ruangan tertutup kembali usai dokter itu masuk. Seorang perempuan dengan rambut panjang terikat sedang duduk di sebuah kursi dalam ruangan. Ia tersenyum pada dokter yang baru saja masuk. Dokter iu meletakkan papan klip yang dibawanya di atas meja.
"Bagaimana? Sudah makan siang?" dokter itu bertanya sembari mengotak atik sebuah dividi di samping meja kerjanya. Perempuan itu hanya mengangguk tanpa kata-kata. Terdengar suara musik tak berlirik yang didominasi suara piano dan biola diputar dengan lirih.
"Oke, kalau gitu kita mulai konsultasinya," lagi-lagi perempuan itu hanya mengangguk tanpa suara. Perempuan itu bersandar pada kursi dan memejamkan matanya. Dokter memberi arahan pada perempuan itu untuk santai dan merasa senyaman mungkin. Suara musik tanpa lirik masih terdengar lirih. Perempuan itu mulai terbayang mimpi-mimpinya semalam.
"Apakah kamu masih mimpi hal yang sama dan melihat orang yang sama?" dokter mulai mengajukan pertanyaan.
"Sekarang pun saya bisa melihatnya Dok," perempuan itu mulai membuka suara.
"Bagaimana kisahnya? Bisa diceritakan?" tanya dokter lagi. Beberapa detik hening.
"Sama seperti cerita saya sebelumnya. Awalnya saya hanya duduk sendirian, di sebuah kursi, seperti di sebuah restoran atau kafe, pastinya saya tidak tahu," perempuan itu berhenti berbicara. Ia sedikit memiringkan kepalanya lalu melanjutkan ceritanya.
"Kemudian seseorang datang, saya tersenyum padanya, dia pun sama, saya tidak mengenalnya. Dia terlihat lebih dewasa dari saya, kira-kira usianya tigapuluh atau dua puluhan akhir. Dia duduk di kursi di depan saya. Di dalam mimpi itu saya begitu bahagia bertemu dengannya. Tapi laki-laki itu saya rasa biasa saja, dia sesekali menunduk lalu tersenyum pada saya. Saya merasakan saya begitu bahagia, tapi juga merasa canggung di saat yang sama," perempuan itu berhenti bercerita. Sayup-sayup masih terdengar alunan musik tanpa lirik. Dokter berambut pendek itu tak mengatakan apapun, ia menulis kisah perempuan itu pada kertas di papan klip.
"Kami makan bersama, saya bercerita tentang sebuah lagu yang saya suka. Laki-laki di depan saya hanya makan dan sesekali tersenyum. Dia sama sekali tak menanggapi cerita saya. Dalam mimpi itu saya bertanya, kenapa dia tidak menanggapi ceritaku? Apakah dia tidak tertarik? Apakah dia memikirkan hal lain? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu muncul dalam benak saya. .... Dok, itu hanya mimpi kan?" perempuan itu bertanya pada dokter dengan mata yang masih terpejam.
"Lanjutkan saja, nanti saya beri tanggapan di akhir," dokter itu sedikit mengeraskan volume musik tak berlirik itu. Beberapa detik berlalu tanpa kata-kata dari perempuan itu. Ia masih terbayang laki-laki di mimpinya semalam.
"Raut wajah laki-laki itu seperti bosan. Saya tidak melanjutkan cerita dan hanya makan. Tak ada percakapan hingga kami selesai makan. Kata-kata yang pertama kali dia ucapkan pada saya sejak datang adalah ijin ke kamar mandi. Ya, dia pergi ke kamar mandi. Saya sendirian lagi di meja itu. Saya melihat orang-orang di sekitar sedang tertawa dan berbincang. Mungkin tentang pekerjaan, tentang kesukaan, atau tentang sebuah hubungan. Itulah yang saya pikirkan saat dalam mimpi itu. Saya tidak tahu siapa laki-laki itu dok,"
"Saat dia baru kembali dari kamar mandi, dia menunduk cukup lama, lalu dia menatap saya begitu dalam dan terasa menyakitkan. Anehnya saya tersenyum, tapi ada sesuatu yang menyesakkan hingga saya sulit bernafas dok. Tak ada yang saya katakan dalam mimpi itu. Saya..." perempuan itu mulai tersedu dan menangis.
"Saya pun tidak tahu apa yang saya tangisi dok, kenapa saya menangis dalam mimpi itu, kenapa saya menangis sekarang pun saya tidak tahu," Perempuan itu menangis tersedu sedu. Suara tangisannya bercampur dengan suara musik tak berlirik yang lirih. Dokter perempuan berambut pendek itu terus menulis. Sesekali ia melihat ke arah perempuan yang sedang menangis itu.
"Laki-laki itu pergi dan meninggalkan saya sendirian, lagi." Perempuan itu menarik nafas dalam dan membuka matanya. Ia melihat dokter yang sedang menatapnya.
"Ini hanya mimpi kan dok? Bagaimana bisa mimpi yang sama muncul setiap hari dan terasa semenyakitkan ini?" musik tak berlirik itu masih terdengar samar.
"Apa masih ada lanjutan ceritanya?" tanya dokter
"Entahlah dok, itu saja yang terbayang di mimpi saya, mimpi ini terasa seperti sebuah kenangan dok, seperti sesuatu yang saya alami, tapi apa dan siapa saya tidak tau,"
"Bisa jadi ini hanya mimpi, tapi tidak menutup kemungkinan ada potongan-potongan memori yang hilang akibat kecelakaan yang kamu alami dua tahun lalu," kata dokter yang diiringi musik tanpa lirik yang masih terdengar.
"Ah, kalau ini memori yang hilang, apakah saya bisa mengingatnya kembali dok? Bagaimana caranya?"
"Kamu bisa bertemu dengan laki-laki dalam mimpi itu atau mengunjungi tempat yang menjadi latarnya," dokter itu beranjak dari tempat duduknya. Ia menuju dividi yang sedang memutar musik tanpa lirik. Lagu itu berhenti. Terdengar riuh lalu lalang orang di luar ruangan. Tercium bau obat-obatan. Perempuan itu menunduk mencari sebuah cara. Ia mengangkat kepalanya dan menatap ke arah dokter.
"Dok, bagaimana saya bisa bertemu orang yang tidak saya kenal dan mengunjungi tempat asing itu?"
"Pelan-pelan saja, jangan terlalu dipaksakan, ya?" perempuan itu hanya mengangguk tanpa suara.
"Kalau ada lanjutan kisahnya atau hal baru yang kamu ingat segera konsultasi ke saya ya," lagi-lagi perempuan itu hanya mengangguk. Ia mengucapkan terima kasih lalu pergi membuka pintu ruangan dan melangkah keluar.
Perempuan itu masih berdiri di depan pintu ruangan. Ia merasa tersiksa dengan mimpinya. Ia mencoba mengingat kenangan sebelum ia mengalami kecelakaan. Semua masih diingatnya kecuali mimpi itu dan laki-laki di dalamnya. Cukup lama ia menunduk, cukup lama hingga kembali menegakkan kepalanya dan menghela nafas panjang. Ia berjalan ke arah kanan menuju parkiran di ujung koridor. Ia memandang jauh ke arah depan. Matanya menatap seorang laki-laki berkemeja abu-abu dan berdasi. Matanya terbelalak melihat laki-laki itu.
Terbayang laki-laki yang sama sedang duduk di hadapannya. Laki-laki itu menunduk cukup lama hingga kepalanya terangkat dan menatapnya lekat.
"Kita akhiri saja hubungan ini, aku... aku tak punya alasan untuk dikatakan. Hanya... mari kita akhiri sampai di sini. Aku... juga tak punya alasan untuk kita putus, tapi adakah alasan untuk kita tetap bersama? Aku tak punya alasan itu. Terima kasih sudah menjadi bagian dari kenangan hidupku, maafkan aku," laki-laki di hadapannya beranjak lalu pergi.
Perempuan itu masih mematung di tempat ia duduk. Hingga airmata sudah membasahi wajah dan melunturkan riasannya. Perempuan itu bangkit dan berlari ke arah laki-laki yang pergi. Ia hanya melihat punggung laki-laki itu berdiri di tepi jalan. Laki-laki itu berhenti. Tak menoleh. Lalu ia berjalan lagi. Perempuan itu masih berlari untuk menggapai laki-laki yang pergi. Hilang, sosok laki-laki yang dikejarnya menjadi rabun dan samar. Ia terpejam.
Perempuan berambut panjang yang diikat itu masih berdiri mematung. Sementara itu laki-laki di ujung koridor rumah sakit semakin mendekat ke arahnya. Semakin jelas wajah dan senyumannya. Laki-laki itu tersenyum pada perempuan yang sedang mematung. Perempuan itu hanya berair mata.
"Hai, sudah lama ya? Apa kabar?" laki laki itu menyapa dengan penuh senyuman.
"Kamu... a..apa yang kamu lakukan di sini?" perempuan itu membuka suara dan masih berair mata.
"Aku ke sini mau jemput isteriku, lagi ngecek kandungannya, kamu sendiri?" laki laki itu masih tersenyum.
"Kenapa kamu tidak melihatku? Kenapa kamu tidak berbalik? Kenapa kamu pergi begitu saja?" perempuan itu mendongakkan kepalanya dan menatap laki-laki di hadapannya. Laki-laki itu kebingungan penuh tanda tanya.
"Gimana? Maksudnya apa? Selama dua tahun ini aku di luar kota, kita gak pernah ketemu lagi kan? Terus?" laki-laki itu mempertanyakan kejelasan yang dipertanyakan perempuan itu.
"Kamu pasti melupakan segalannya. Benar, melihatmu begitu bahagia aku... aku.." perempuan itu terisak antara tangis dan nafasnya yang berebut.
"Bagaimana bisa kamu baik-baik saja? Kenapa kamu tersenyum? Kenapa?!" perempuan itu berteriak, jatuh dan duduk di lantai. Ia terisak dalam tangisnya. Laki-laki itu hanya berdiri di hadapannya. Tak tahu apa yang terjadi pada perempuan itu. Ia pura-pura tak mengenang. Menarik nafas dalam lalu pergi. Perempuan itu masih menangis dalam duduknya. Ia berbalik menatap punggung laki-laki itu. Sama seperti dua tahun lalu saat ia berbaring di aspal. Tangisnya semakin mengharu. Bernafas pun terasa menyakitkan baginya. Beberapa orang menghampiri, ia tak peduli.