Aku dan juga Gita berjalan beriringan ditengah-tengah kerumunan para peserta yang siap mengikuti ujian masuk.
Walau cukup padat, tapi tidak sampai saling berdesakan karena area milik Universitas ini sangatlah luas.
Butuh waktu beberapa menit untuk mencari aula yang dimaksud sebagai tempat ujian.
Yaitu sebuah bangunan besar dan megah dengan arsitektur peninggalan Belanda yang dominan dengan warna cat putih.
Beruntung bagiku dan juga Gita, karena pada undangan yang kami terima dari Organisasi Pengawas Roh sejak jauh hari, sudah terlampirkan denah yang cukup detail untuk menunjukkan lokasi bangunan yang telah ditentukan.
Undangan tersebut kami dapatkan setelah proses pendaftaran yang cukup ribet dan ketat prosedurnya, saat beberapa minggu yang lalu melalui jaringan rahasia Organisasi Pengawas Roh.
Dengan begitu tak akan ada orang awam yang secara tidak sengaja ikut terlibat nantinya.
Meski terbilang sangat dirahasiakan, ternyata peserta yang ikut serta tahun ini juga tak bisa dibilang sedikit.
Karena setelah kami memasuki sebuah aula dan menanti sampai jam batas untuk ikut serta ujian ditutup.
Yang mana aula tempat kami menunggu terhitung sangat luas, setara dengan ukuran 3 lapangan basket.
Dengan sebuah panggung untuk podium pada sisi berseberangan dari pintu masuk.
Peserta yang hadir tak kusangka bisa sebanyak ini.
Paling tidak yang ada di dalam ruangan memiliki peserta kurang lebih seratus orang.
Tapi jika aku perhatikan lagi, tingkat Kultivasi Roh mereka tidak terlalu tinggi.
Sebagian besar berada pada kisaran Tahap Dasar Roh Tingkat 2 sampai Tahap Dasar Roh Tingkat 3.
Kultivasi Roh Gita yang berada pada Tahap Dasar Roh Tingkat 4 terbilang cukup tinggi, meskipun ada juga yang sudah mencapai tingkat Kultivasi Roh yang sama.
Bahkan ada seorang peserta yang berada pada Tahap Dasar Roh Tingkat 5.
Kurasa mereka sama seperti Gita, yaitu salah satu dari anggota 4 Keluarga Bangsawan.
Sebenarnya tidak mudah untuk bisa menilai Tingkatan Roh orang lain seperti ini, jika tanpa bantuan Artifak Suci.
Gita saja membutuhkan sebuah Artifak Suci pada Tingkat Unik berbentuk cicin, yang ia gunakan untuk mengukur perbedaan Tingkatan Roh.
Itupun hanya efektif jika masih berada dalam Tahapan Roh yang setara atau yang dibawahnya.
Namun jika memiliki bakat dan menjalani latihan keras yang mumpuni, bukan berarti hal itu tidak mungkin dilakukan.
Aku sekarang bisa melakukannya tanpa bantuan Artifak Suci sama sekali, persis seperti Tuan Lasmana Paijo yang aku temui kembali pada tempo hari.
Aku jadi asyik menilai tingkatan Kultivasi Roh mereka.
Sampai batas waktu berkumpul peserta ujian yang sudah ditentukan habis.
Pintu masuk mulai ditutup oleh petugas, tak peduli ada yang terlambat atau tidak.
Ketika aku masih memperhatikan sekitar, tiba-tiba saja tangan milik Gita menggenggam telapak tanganku.
"Arya, apa kamu sedang khawatir? Sedari tadi kamu memperhatikan peserta lain. Tenang saja, kita pasti bisa."
"Kamu sudah tahu bukan jika orang-orang ini tak akan membuatku merasa khawatir sedikit pun."
"Huh... Kenapa aku bisa sampai tidak menyadarinya, aku bahkan masih belum sebanding denganmu hingga saat ini."
Gita tersenyum kecut, raut wajahnya menunjukkan bahwa dia sedang teringat kembali dengan kejadian yang lalu.
"Lalu kenapa kamu dari tadi mengamati para peserta lain?"
"Aku hanya memastikan tingkat Kultivasi Roh mereka, kurasa ada beberapa diantara mereka yang paling tidak memiliki kualitas."
"Uh... Bagaimana kamu bisa tahu tingkat Kultivasi Roh mereka? Kamu kan sedang tidak memakai Artifak Suci apapun? Jangan bilang jika kamu sudah menguasai-"
Tanpa mengatakan apapun, aku membalas Gita dengan sebuah senyum yang memperlihatkan rasa percaya diri.
"Huft... Terkadang aku merasa iri dengan bakat milikmu. Aku malah semakin tertinggal lagi sekarang."
Dia mulai tertekan lagi rasa percaya dirinya, tapi tidak seburuk yang lalu, hanya berupa keluhan kecil saja.
Terimakasih pada perkembangannya sekarang yang sudah meningkat pesat, jadi kepercayaan diri miliknya masih bisa berdiri tegak.
Untuk sedikit menghiburnya, aku mengelus-elus kepalanya.
"Aku percaya kamu tak akan tertinggal... Karena aku selalu memperhatikan dirimu dan semua potensi milikmu."
Pipinya pun mulai merah merona, senyum kecil mulai merekah dari wajahnya, sembari ia memejamkan mata.
"Terimakasih... Arya..."
Tak selang terlalu lama, sesosok pria tua berkumis putih dan berambut putih pendek yang tersisir kebelakang, mulai naik keatas podium.
Ditemani seorang wanita berkacamata dengan rambut bergaya kucir kuda turut menemani dibelakangnya, sembari membawa papan dengan beberapa lembar berkas yang agak tebal.
Penampilannya jelas menunjukkan dia seperti seorang Asisten kantoran, atau mungkin itu memang pekerjaannya yang merupakan seorang Asisten.
Tuk Tuk Tuk
Suara mikrofon yang sedang dites oleh pria tua itu, bergema ditengah keheningan yang disebabkan kedatangan dirinya.
Seusai mempersiapkan mental sesaat, pria tua tersebut mulai membuka mulutnya didekat mikrofon yang baru saja dia uji.
"Selamat pagi, wahai para calon anggota Organisasi Pengawas Roh. Terimakasih atas kehadirannya, semoga kalian semua saat ini berada dalam kondisi terbaik kalian. Agar dapat menjalani ujian ini dengan semaksimal mungkin. Sebelum kita menjalani ujian ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan..."
Ceramah yang diberikan pria tua itu berlangsung sekitar setengah jam.
Diawali dengan sejarah berdirinya akademi ini, dilanjutkan dengan aturan-aturan yang ditegakkan oleh akademi.
Kemudian ditutup oleh kalimat penyemangat bagi kami para peserta.
"... Dengan ini ujian secara resmi saya mulai."
Para peserta pun riuh dalam memberikan tepuk tangan padanya, yang merupakan salah satu Tetua dari Organisasi Pengawas Roh.
Aku mengetahui itu setelah perkenalan dirinya dalam awal pidatonya tadi.
Jabatannya bukanlah omong kosong belaka, karena aku bahkan tidak sanggup mengukur kekuatan dan tingkatan Kultivasi Rohnya sama sekali.
Tapi kepekaanku terhadap Energi Roh, membuatku tersadar bahwa dia jauh berada di tingkat yang berbeda, meski masih dibawah kekuatan Ananta.
Ketika aku masih mengamati kekuatannya, Tetua itu mengarahkan lirikan matanya menuju diriku, ditemani sebuah cengiran.
Dia sepertinya menyadari perbuatanku, aku sudah bertindak terlalu ceroboh.
Tetapi dia tak mengambil tindakan apapun sesudahnya, malahan dia melanjutkan instruksinya pada para peserta ujian seolah tak terjadi apapun.
"Para peserta sekalian, dimohon untuk menjauh dari area lantai yang memiliki keramik berwarna putih."
Semua peserta tanpa sungkan segera mengikuti arahan sang Tetua.
Sekarang aku jadi tersadar bahwa memang benar jika ada area lantai yang berwarna putih berbentuk lingkaran, berdiameter 10 meter dengan banyak garis-garis patahan keramik yang berpusat pada titik tengah, dan jarak antar patahan semakin lebar saat semakin jauh dari titik tengah.
JGLEEEK... JGLEEEK... JGLEEEK...
Suara keras itu muncul karena diakibatkan oleh keramik yang terpisah oleh patahan tersebut mulai bergerak turun dengan kedalaman yang berbeda.
Tak butuh waktu lama, keramik-keramik tersebut berhenti bergerak.
Siapa sangka jika pergerakan keramik di lantai tersebut justru membentuk sebuah tangga spiral yang mengarahkan pada ruang bawah tanah.
Keriuhan terjadi diantara para peserta yang saling mempertanyakan kejadian barusan.
Untunglah sang Tetua segera menenangkan para peserta ujian, lalu mengarahkan mereka turun mengikuti tangga spiral itu.
Semua bergerak mengikuti arahannya termasuk aku dan Gita.
Ketika kami akan menginjakkan kaki pada anak tangga, seorang pria berambut pendek berwarna merah gelap dengan berpakaian mirip seperti tuxedo menghampiri kami.
Dia adalah salah seorang diantara beberapa peserta ujian yang berada pada Tahap Dasar Roh Tingkat 4.
Tatapan matanya terfokus pada Gita dengan senyum yang bertujuan untuk menebarkan pesona.
Dia mengulurkan salah satu tangannya dengan tata krama ala para bangsawan, kepada Gita.
"Senang bisa bertemu dengan wanita cantik dan berbakat seperti anda. Jika anda bersedia, ijinkan saya untuk menemani dan membantu anda dalam ujian ini. Itu merupakan sebuah kehormatan bagi saya."
Gita tersenyum kecut dibuatnya, nampak jelas jika Gita jadi terganggu karena ajakannya.
"Maaf, tapi saya sudah bersama seseorang yang bersedia menemaniku. Mungkin anda bisa mencari orang lain yang lebih baik untuk ditemani."
"Tak usah terlalu malu nona. Jika bersama denganku, akan saya pastikan jika ujian yang akan anda jalani, bisa berjalan dengan mudah. Dengan bantuan saya yang merupakan salah satu penerus dari keluarga bangsawan."
Dia tetap bersikeras meski telah Gita tolak dan tanpa sungkan tangannya mencoba meraih tangan Gita, yang tengah melambai kecil didepan dada sebagai isyarat penolakan.
PLAAAAAKKK!!!
Tangan pria itu aku tampar dengan tangan kiriku.
Pria itu beserta Gita dan beberapa orang yang disekitar kami, kaget dan memfokuskan pandangan mereka padaku.
Setelah tangannya aku tampar, reaksi kesal mulai muncul dari pria tersebut.
"Beraninya kamu bertindak kasar terhadap salah seorang penerus dari keluarga bangsawan. Apa urusanmu hingga berani mengganggu kami?!"
Tanpa ragu, aku meraih Gita dengan pergelangan tanganku, lalu menjatuhkan tubuhnya pada dekapanku.
Sebagian wajahnya bersandar pada dadaku, sementara tangan kananku merangkul dari bahu hingga kepalanya.
Tatapan mata Gita terbuka lebar, bersamaan dengan wajah yang mulai memerah.
Pria tersebut dan para peserta yang ada disekitar kami, jadi keheranan karena tindakanku yang tak terduga.
"Sayangnya dia sudah menjadi milikku. Jadi jauhkan tangan kurang ajarmu itu dari dirinya."
"DASAR BRENGSEK!!! AKU AKAN-"
Sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, aku memberikan tatapan mata yang sangat dingin dan menusuk.
Aura intimidasi dengan hasrat membunuh aku pancarkan dengan sangat kuat.
Semua orang disekitarku langsung tertekan dan tak bisa bergerak, bahkan seluruh tubuh mereka jadi gemetaran.
Napas mereka semua jadi terasa berat, mereka jadi kesulitan dalam bernapas.
Kecuali bagi Gita yang bisa sedikit menahannya, karena telah berlatih mengatasi aura intimidasi yang pernah aku berikan.
Juga sang Tetua yang bisa mengatasi dengan baik aura intimidasiku yang memenuhi aula.
Beberapa petugas yang awalnya ikut tertekan, segera menguatkan diri dan mulai bergerak mengitariku dan para peserta ujian didekatku.
Dalam posisi siaga, mereka bersiap mengamankan diriku.
Aku hanya memberikan sebuah senyuman penuh percaya diri terhadap situasi ini, sambil mempertahankan tatapan mataku yang dingin.
Karena aku cukup menikmati reaksi takut dan tak berkutik dari pria yang mencoba merayu kekasihku.