"Iva ngehubungi gue."
Iko yang paham ke mana arah pembicaraan kali ini mendadak diam menunggu cerita yang akan Bara sampaikan.
"Dia bakal ke sini besok. Lo tau, gue bahkan belum memperbaiki hubungan gue sama Cecil. Dan sekarang masalah baru datang lagi. Gue udah niat mau ketemu Cecil besok. Gue mau jelasin semuanya. Gue mau hubungan gue sama Cecil balik kayak dulu lagi."
Iko mengangguk paham dengan apa yang Bara ungkapkan. Iko tau persis siapa perempuan bernama Iva itu. Keberadaannya sungguh bukan hal yang harus disepelekan.
"Jadi lo punya rencana apa sekarang, Bang? Kalau saran gue sih, mending lo temui Kak Cecil hari ini. Biar besok lo urusin si Iva. Karena gue yakin kalau Iva sudah di sini, lo bakal kelimpungan."
Bara memijit pelipisnya. "Gue belum siap ketemu Cecil hari ini."
"Bang, gue yakin Kak Cecil bakal ngasih lo waktu buat bicara. Gue tau dia bukan perempuan egois seperti Iva. Dan percaya sama gue, lo lebih baik selesaikan masalah kalian secepat mungkin. Bisa aja kan Kak Cecil nungguin lo buat nyari dia. Perempuan memang kodratnya untuk dikejar, bukan mengejar. Dan laki-laki memang kodratnya mengalah demi perempuan yang dicintai. Kalau bisa lo nikahin Kak Cecil secepatnya. Agar Iva tidak menganggu hubungan kalian lagi."
Bara berdecak sambil geleng-geleng kepala. "Nggak heran julukan lo playboy di kantor ini. Kata-kata lo bahkan membuktikannya."
Iko mendengkus kesal, "kampret lo." Umpatnya membuat Bara tergelak.
***
Menghembuskan napas berkali-kali, Bara akhirnya memberanikan diri keluar dari mobil dan berjalan pelan tapi pasti memasuki perkarangan sebuah rumah minimalis. Langkahnya terayun ke depan pintu utama dan mengetuk dua kali. Tidak lama pintu di depannya terbuka, menampakkan sosok yang selama ini Bara rindukan hingga rasanya ingin gila.
"Kamu..."
Bara menarik perempuan di depannya dan mendekapnya dengan erat. Hanya sebuah pelukan seperti itu yang Bara inginkan. Rasanya beban berat di pundaknya diangkat secara paksa. Rasa lepas, ringan dan bahagia menjadi satu. Tidak ada yang bersuara. Keduanya hanyut dalam suasana tenang yang mereka ciptakan. Tidak ingin munafik, Cecil juga merindukan Bara. Merindukan kehangatan laki-laki itu. Menginginkan Bara untuk selalu ada setiap dia membutuhkan.
Bara yang pertama kali mengurai pelukan mereka. Tangannya masih berada dipinggang Cecil. Suasana canggung seketika menerpa keduanya. Bara menggaruk tengkuknya karena mendadak bingung ingin memulai pembicaraan dari mana.
"Siapa, Kak?"
Suara ibunya membuat Cecil meringis. "Masuk, Mas." Ucap Cecil pelan.
Bara menggeleng. "Aku mau bicara sama kamu. Tapi nggak di dalam, nanti Ibu dengar. Aku tau kamu nggak ngasih tau Ibu soal hubungan kita kan?"
Cecil menunduk memperhatikan ujung kakinya yang berjarak sedikit dengan ujung sepatu Bara. "Tapi aku nggak bisa ninggalin Ibu sendirian." Balasnya sambil menghela napas.
"Kita nggak ke mana-mana. Sebaiknya bicara di teras saja."
Akhirnya Cecil dan Bara duduk dikursi yang berada di teras rumah Cecil. "Mau minum apa?" tawar Cecil bersiap beranjak. Bara menggeleng sambil mencegal pergelangan tangan Cecil.
"Aku cuma butuh waktu kamu." Ucap Bara menarik Cecil agar kembali duduk di sampingnya.
"Mas mau ngomong apa?"
Bara menghembuskan napas dengan pelan dan membawa jemari Cecil ke atas pahanya. "Aku mau minta maaf."
"Udah aku maafin."
Bara menggeleng, "bukan maaf yang seperti itu." Tatapan Bara terlihat lembut menatap Cecil yang juga balas menatapnya.
"Aku mau kamu jadi milik aku lagi."