Beby kini sedang berjalan menuju kelas 11 MIPA 2 yang merupakan kelasnya Boby dan Gio.
Setelah berada di depan kelas tersebu, Beby mengetuk pintu tersebut yang kebetulan sedang tidak ada guru di dalamnya.
Beby segera menghampiri meja Gio yang kebetulan bersebelahan dengan meja Boby.
"Ngapain ke sini?" tanya Boby dengan ekspresi bingung.
"Mau ngomong sama Sergio, bisa?" tanya Beby yang diangguki oleh Boby.
Boby segera bilang kepada Gio bahwa Beby ingin bicara dengannya.
Beby membawa Gio keluar dari kelas 11 MIPA 2 agar mereka dapat berbincang dengan kondisi yang tidak berisik.
"Kenapa?" tanya Gio.
"Lo ... mau bantu gue nggak?" tanya Beby.
"Bantu apa?"
"Jadi pemeran utama di film gue, bisa?"
Gio mengerutkan keningnya heran. Setaunya, Beby sudah menawarkan hal tersebut kepada Devan.
"Bukannya lo udah nawarin Devan?"
Beby menggeleng.
"Gue nyerah, Devan terlalu dingin."
"Maksud lo?"
"Devan nggak bisa diajakin kerja sama," jelas Beby dan Gio mengangguk paham.
"Terus, lo ... minta gue buat ngegantiin Devan?" Beby mengangguk mantap.
"Mau, kan, lo?" Gio diam sejenak.
"Gue, pikir-pikir dulu," jawab Gio dan Beby segera tersenyum.
"Kabarin gue secepatnya ya!" Gio mengangguk.
Beby segera melangkahkan kakinya pergi dari kelas 11 MIPA 2 dan berjalan menuju ke kelasnya.
Saat berada di koridor anak kelas 11 IPS, tiba-tiba ada seseorang yang menarik tangan Beby dan membawanya ke sesuatu tempat.
Orang itu adalah Devan, pria itu menarik Beby dan membawanya memasuki lapangan basket indoor.
"Siapa yang nyuruh lo nyari orang lain?" tanya Devan dengan aura dingin yang sempat membuat Beby bergedik ngeri.
"Apa urusannya sama lo?" tanya Beby sinis.
"Batalin!"
"Ha?"
"Batalin! Budek lo?" sarkas Devan.
"Lah? Terserah gue, yang buat film gue, ya terserah dong gue mau ngajakin siapa buat jadi pemeran di film gue?" tanya Beby.
"Batalin!" Devan masih kukuh dengan pendiriannya.
"Nggak mau!"
"Batalin atau ekskul kesayangan lo bubar?" ancam Devan yang membuat nyali Beby menciut.
"Lo lupa kalau gue anak dari kepala yayasan di sini?"
Wajah Beby langsung memerah, ia lupa dengan fakta bahwa Devan adalah anak dari kepala yayasan di sekolahnya.
"Pikir baik-baik, Beby Emeraldi," bisik Devan kemudian meninggalkan Beby sendirian.
Belum sampai di dekat pintu, Devan kembali menghampiri Beby dan berkata.
"Gue udah bilang ke bokap gue, kalau bukan gue yang jadi pemerannya, ekskul kesayangan lo akan bubar."
"Jadi, lo harus jadi pacar gue supaya ekskul itu nggak bubar," lanjut Devan sembari tersenyum penuh kemenangan dan pergi meninggalkan Beby sendirian.
Beby mengeram kesal, Devan benar-benar brengsek menurutnya.
"Dasar robot! Tukang ngadu! Anak ayah!" umpat Beby sembari menghentakan kakinya kesal.
"Devan brengsek! Mati lo sialan!" umpatnya lagi yang sebenarnya didengar oleh Devan.
Devan hanya tersenyum sembari melanjutkan langkah kakinya dengan senyum yang tertahan di bibirnya.
Devan memasuki kelasnya dan mendapatkan tatapan-tatapan bingung dari ketiga temannya. Pasalnya, aura yang dipancarkan Devan benar-benar berbeda. Devan benar-benar terlihat seperti orang yang sedang bahagia.
"Kenapa lo?" tanya Ken dan Devan hanya menggeleng kemudian tertawa renyah.
"Kerasukan anjir!" pekik Alvin yang membuat kelas menjadi heboh.
Devan menatap tajam ke arah Alvin dan pria itu segera mengumpati mulutnya yang tidak pernah bisa direm.
"Hampura, Mang," ujar Alvin kemudian segera duduk di samping Ken.
"Kenapa lo?" kini Ray yang bertanya.
Devan hanya menggeleng. "Nggak tau, gue cuma ngerasa senang banget hari ini."
Sementara di sisi lain, Beby sedari tadi tidak berhenti mengumpati kata-kata kotor untuk menjelek-jelekan Devan.
"Dasar, robot brengsek!"