"Jadi apa keperluanmu kesini? Dan mana managermu? Bukankah kita akan bertemu lusa?" Anala ingin tahu jelas angin apa yang membuat Jaeta bisa sampai didepan matanya tanpa diundang.
"Kenapa kamu sangat tidak ramah pada tamu? Memangnya tidak boleh jika aku berkunjung? Harusnya kamu senang, kapan lagi kamu didatangi seorang Rujaeta tanpa bayaran?"
"Aku sedang bekerja dan kamu menggangguku."
Jaeta diam sambil berpikir, "aku tidak akan mengganggumu, aku hanya akan melihatmu."
Anala memutar bola matanya lalu berusaha tidak peduli dan melanjutkan pekerjaannya, namun ia tidak bisa fokus karena ia merasa Jaeta terus mempelototi apapun yang ia lakukan.
"Aish!! Keberadaanmu menggangguku! Sebenarnya kamu mau ngapain sih??" kesal Anala dengan sikap Jaeta yang belum ia kenal dengan baik ini.
Jaeta beralih duduk di kursi meja kerja Anala dan memperhatikan berbagai kertas berisi desain diatasnya, "wah.., apa semua desain ini kamu yang gambar?"
"Memangnya kenapa? Memang kamu pikir siapa yang akan buat? Kucing tetangga?"
Jaeta melirik Anala tajam, "kenapa kamu jutek sekali?"
Anala tidak peduli, dia hanya membuang pandangannya malas sambil mendengus.
"Setelah dilihat-lihat gambarmu bagus, asal kamu tahu aku juga bisa menggambar."
"Oh ya? Lalu apa urusannya denganku?"
"Ya ampun, ini orang tiap pagi makan yang asem mulu kali ya? Nggak ramah sama sekali jadi cewek, ga bisa rada nyantai apa ya?"
Anala tidak menjawab, ia lebih memilih duduk di kursi yang agak jauh dari meja kerjanya yang sudah seenaknya dikuasai oleh Jaeta.
"Selamat untuk kesuksesan lagu barumu," tiba-tiba Anala bicara lagi yang membuat Jaeta kaget.
"Kamu mengetahuinya? Waah, apa kamu mendengarkannya? Kamu termasuk penggemarku?" sontak Jaeta antusias.
"Jangan kepedean, itu karena semua orang disini pada heboh. Hampir tiap hari mereka memutar lagumu dengan keras, rasanya lagumu sudah mendoktrin otakku," ringis Anala mengusap telinga dan kepalanya.
Jaeta tertawa, "kamu menyukai lagunya? Bagaimana menurutmu? Kamu suka laguku yang mana?"
Anala menggeleng, "tidak satupun, kupikir biasa saja."
Jaeta terdiam mendengar ujaran Anala.
"Hey? Kenapa wajahmu seperti itu?" Anala langsung merasa bersalah melihat respon Jaeta terhadap ucapannya, ia tidak bermaksud apa-apa, hanya sedang malas memuji Jaeta saja.
"Ternyata masih banyak orang yang belum merasa laguku bagus,"
"Bukan seperti itu, kenapa kamu sensitif sekali? Lagumu lumayan lah untuk di dengar," hibur Anala tidak tega juga melihat ekspresi Jaeta.
"Kamu hanya menghiburku bukan?" Jaeta tertawa kecil.
"Serius, aku suka lagumu yang judulnya 'Batas Dinding', liriknya bagus dan saat mendengarkannya aku merasa terhanyut," Anala tanpa sengaja memberi tahu lagu yang belakangan ini paling sering ia dengar.
Jaeta ternganga mendengar ucapan Anala, disisi lain ia juga tidak percaya, "serius? Itu bukan lagu utamaku, kamu mendengar dan menyukainya??"
"Hum.., sedikit,"
Wajah Jaeta langsung berubah lega, "itu lagu pertama yang aku sendiri ikut campur dalam proses produksi. Aku sangat senang mendengarnya kalau kamu menyukainya,"
"Hm...," Anala tidak tahu merespon apa selain mendehem.
"Ayo keluar! Aku akan mentraktirmu! Aku akan merayakan kesuksesan album ini bersamamu!" Jaeta berdiri dan langsung meraih tangan Anala untuk dibawa keluar.
"Hey!! Kamu kebiasaan sekali!"
*
"Nggak makan?" tanya Anala pada Jaeta yang duduk didepannya hanya memainkan kue pesanannya.
"Kamu sendiri?" Jaeta malah balas bertanya.
"Aku sudah bilang kalau aku masih kenyang, kamu aja yang asal bawa-bawa orang. Mana belum deket udah sok akrab banget," jawab Anala menyenderkan tubuhnya dengan wajah malas memperhatikan suasana tempat makan yang sepi ini. Mereka sengaja kesini dengan alasan agar tidak bertemu orang yang mengenali Jaeta dan alhasil rasa makanan dan minuman yang mereka dapat hanya sekadarnya.
Jaeta hanya diam melihat wajah kesal Anala, "kamu anak sulung ya? Terus kamu pasti punya adik laki-laki." Jaeta kini coba memastikan.
"Enggak, sok tahu banget sih?"
"Yakin?"
"Ya yakinlah! Yang punya sodara aku apa kamu memangnya?!"
"Benar juga," Jaeta mengangguk mengiyakan.
"Memangnya kenapa?" Anala penasaran apa dasar Jaeta menebak demikian.
"Ya kamu orangnya jutek banget kayak kakakku. Kupikir semua cewek jutek itu anak sulung terus punya adik cowok sepertiku."
"Kalau aku jadi kakakmu sudah pasti aku juga akan kesal punya adik sepertimu."
"Astaga, sebegitu buruknya pandanganmu padaku!?" Jaeta hanya bisa urut dada mendengar komentar Anala.
"Mau apa lagi hah? Aku mau balik, ini hanya menghabiskan waktuku." Anala gelisah dan hendak bergegas pergi.
"Ngapain sih buru-buru? Bawa asik aja kali."
"Kamu sebenarnya ngapain sih? Emang sekarang kamu nggak punya kesibukan?"
Baru saja Jaeta akan menjawab ponselnya sudah berdenting tanda pesan masuk, wajahnya seolah terkejut mendapatkan pesan itu. Disisi lain Anala berusaha tidak peduli.
"Ayo pergi sekarang!" suruh Jaeta sambil menyimpan ponselnya ke dalam saku dengan cepat.
"Apalagi sih!?" kesal Anala karena kini Jaeta sudah berdiri dengan tergesa-gesa.
"Aku lupa kalau sudah janji untuk bertemu dengan mamaku sejak lama. Kalau aku tidak datang sekarang dia akan mengamuk."
"Lalu apa urusannya denganku!?" Anala menjauhkan dirinya sebelum Jaeta menarik tangannya lagi.
"Ayo ikut kerumahku bertemu mama,"
"Ngapain!?" Anala terbelalak tidak paham dengan jalan pikiran sekaligus jalan kehidupan manusia tampan namun berotak tidak beres ini.
Jaeta terdiam memikirkan alasan apa yang membuatnya harus membawa Anala bersamanya.
"Entahlah, ikut saja," tidak mendapatkan alasan, Jaeta langsung menarik Anala untuk ikut bersamanya.
"Ya tuhaaaaan!!!!"