"Jae!! Udah siap? Kita harus ke lokasi sekarang!" Erik memasuki apartemen Jaeta dan mengarah ke kamar artisnya itu.
"Iya bentar!!" terdengar balasan dari dalam kamar mandi.
"Astaga ini udah jam berapa?" Erik melihat jam tangannya kesal sambil mulai membersihkan beberapa pakaian yang berserakan di atas ranjang Jaeta.
"Iya ini juga udah siap!" Jaeta keluar terburu-buru dengan handuk terlampir dibahunya, ia sudah memakai celana namun belum memakai atasan. Jaeta membuka lemari mencari pakaian yang akan ia kenakan.
"Ini hoodie siapa?" tanya Erik merasa aneh dengan sebuah hoodie putih saat ia merapikan ranjang Jaeta.
"Kenapa memangnya?"
"Kenapa bau parfum perempuan? Kamu udah berani jalan dan bawa perempuan kesini?!"
Jaeta memutar bola matanya malas, Erik terlalu sensitif terkait perempuan yang ada disekitar dirinya.
"Punya Kak Talya," Jaeta malas menjelaskan sambil memakai baju kaos oblong berwarna putih dan bergerak ke depan cermin merapikan rambutnya.
"Mana pernah kakak kamu pakai yang seperti ini? Kakak kamu itu feminin banget, nggak mungkin dia makai yang modelannya begini," Erik terus mengintrogasi.
"Itu punya Anala,"
Erik terbelalak, "bagaimana bisa?"
"Udah ah ribet, ini udah jam berapa? Aku pergi duluan," Jaeta bergegas mengambil kunci motor miliknya.
"Apa maksudmu pergi duluan? Kamu pergi dengan mobil bersamaku, jangan pakai motor! Jika terjadi sesuatu bagaimana!? Aku bisa saja dibunuh produser! Jaeta!! Rujaeta!!" teriak Erik mengejar Jaeta yang sudah melangkah keluar dengan cepat.
"Aku mau bawa motor, kita ketemu disana saja, bai!" Jaeta berlari kabur tanpa ingin mendengar persetujuan sang manager terlebih dahulu.
Erik hanya bisa terperangah karena ditinggal begitu saja, lalu apa gunanya ia kesini!?
"Untung laris, kalau tidak aku sudah ganti artis dan aku jamin tidak akan ada yang mau mengurusnya," omel Erik berusaha menyabarkan dirinya menghadapi Jaeta yang merupakan sumber pendapatannya untuk bertahan hidup di dunia yang keras ini.
**
Jaeta meringis ngilu melihat hasil take video yang baru saja selesai, "semangat banget sih cha?" tanya pria itu melirik Echa yang tersenyum disampingnya masih menatap layar dengan fokus.
"Kapan lagi kan dapat kesempatan nampar kamu?" Echa tertawa senang melihat adegan tamparan yang ia lakukan pada Jaeta.
Jaeta mendengus sambil berjalan duduk di kursi disusul Echa.
"Adegan putusnya kupikir agak berlebihan," lanjut pria itu melepas kemeja yang ia kenakan dan hanya memakai baju kaos.
"Aku menyukainya, bahkan kita terlihat memerankannya dengan natural," balas wanita cantik yang duduk didepan Jaeta dan meminum air mineral.
"Apa itu pengalamanmu dengan mantan pacarmu, kamu terlihat hebat memerankannya,"
Echa menggeleng, "bahkan aku tidak sempat untuk pacaran,"
"Apa aku yang terakhir?" tanya Jaeta penasaran.
"Apa kamu pernah mendengar kabar lain memangnya? Kamu juga begitu kan?"
Jaeta mengangguk, "benar juga, pasti sulit sekali bagimu mencari orang yang lebih baik dariku,"
"Kamu juga pasti kesulitan mencari wanita yang lebih baik dariku,"
Jaeta terkekeh sambil mengusap keringat di dahinya, "bukan seperti itu, memiliki pasangan hanya akan menghancurkan karierku,"
Echa tersenyum simpul, "masih begitu, kamu mengorbankan apapun untuk musik dan keriermu."
"Kamu juga begitu bukan? Kamu salah satu orang paling ambisius yang pernah kukenal, tapi itu terbukti kamu bisa sukses di dunia hiburan juga," ujar Jaeta bersandar.
Echa menggeleng, "aku mulai paham prioritas, tidak hanya ambisi. Aku tidak berniat melanjutkan karierku dalam dunia hiburan, sepertinya ini yang terakhir, aku menyetujui ini hanya karena kamu meminta padaku langsung."
Jaeta kembali duduk dengan tegak menatap Echa, "kenapa!? Bukankah kariermu baik-baik saja?"
"Dunia entertain terlalu keras untukku, setelah resmi selesai dengan program pasca sarjana, aku akan fokus pada perusahaan papiku,"
"Perusahaan papimu? Dunia bisnis tidak kalah keras."
Echa menggeleng sambil menghela napas pendek, "setidaknya hidupku tidak akan dicampuri banyak orang, aku tidak ingin bertahan terlalu lama lagi."
Jaeta terdiam memperhatikan Echa yang tersenyum padanya, tidak hanya memperhatikan wanita berparas cantik itu, Jaeta juga terpikir kehidupannya sendiri.
"Kamu mungkin bisa menikmatinya, dari dulu kamu bersikeras ingin berkarya di dunia musik. Tanpa kamu sadari kamu juga orang yang ambisius," lanjut Echa pada pria yang sudah cukup lama ia kenal tidak hanya luarnya saja ini.
"Aku pikir semuanya baik-baik saja," akhirnya Jaeta menjawab.
"Aku harap begitu," Echa mengangguk sambil mengusap tengkuknya sekilas, "aku hanya ingin menata kehidupan yang sederhana dan normal. Tidak diusik orang lain, bekerja dengan tenang, memiliki pasangan, membangun keluarga kecil yang bahagia. Aku pikir itu yang kuinginkan sekarang, bukan lagi ambisi. Tapi sepertinya kamu masih dengan ambisimu."
"Aku sudah bahagia," jawab Jaeta pendek.
Echa tertawa kecil sambil membuang pandangannya sekilas dan tersenyum lagi, "mungkin memang sudah seharusnya aku tidak berharap lebih,"
"Maksudmu?" Jaeta bertanya bingung dengan apa maksud ucapan Echa.
"Ini agak memalukan, aku pikir masih ada sesuatu yang bisa diperjuangkan diantara kita. Tapi ternyata memang tidak, padahal sudah lama sekali.." gadis itu terkekeh kecil menunduk, "aku berhenti dan akan menjalani kehidupan normalku sendiri,"
"Cha, maksud kamu?" Jaeta ragu dengan maksud apa yang sebenarnya ada dalam ucapan wanita dihadapannya ini.
Bukannya menjawab, gadis itu berdiri sambil meregangkan tubuhnya, "aku masih ada beberapa adegan lagi, aku harus siap-siap. Bagianmu sudah habiskan? Banyaklah istirahat sebelum lagumu benar-benar rilis," dan dia pergi begitu saja.