"Aku kelahiran 84. Aku dan Iqbal sepantaran," jawab Fatih meneguk minumannya. Sebelum melahap mie, mulut Fatih berkomat-kamit membaca doa akan makan.
Dian semakin terkesan dengan Fatih. Jaman sekarang sangat langka menemukan pemuda seperti Fatih. Udah ganteng, pintar, sopan dan agamanya bagus. Pria seperti Fatih ibarat mencari jarum dalam tumpukan jerami. Dari seribu pria di Indonesia hanya satu yang seperti Fatih. Dian pun berpikiran usil, bertemu cowok langka seperti Fatih harus dijaga dengan baik dan dilestarikan. Jika tidak akan punah.
"Aku kelahiran 89. Jadi aku manggil apa ini? Mas, uda, abang, kakak?"
"Terserah kamu aja. Senyamannya aja."
"Ok baik. Panggil kakak saja dech."
"Terserah aja. Kalo kamu panggil nama ntar dibilang enggak tahu kato nan ampek," celetuk Fatih berkelakar.
"Iya itu. Orang Minang kalo komunikasi terkesan keras gitu. Sebagai orang Sunda nich merasa ada jarak gitu etika bicara dalam Minang. Mungkin beda budaya beda kali ya."