Cuaca diluar sangatlah cerah, liburan panjang telah dimulai. Namun bagi Alex semua itu tidaklah berguna, cuaca cerah ataupun mendung sama saja, sudah tidak ada lagi sosok wanita yang selama ini mendukungnya. Sudah dua tahun ia kehilangan istrinya, seberapa banyakpun uang tidak bisa menolong istrinya.
"Ayah!" panggil seorang anak remaja dibalik pintu ruangan kerja. Alex tersenyum.
"Please ijinin aku liburan sama temen-temen ya Ayah" Laura memasang wajah memohonya.
"Kemana?"
"Pantai" jawab Laura dengan senyum mengembang. Alex menggelengkan kepalanya.
"Udah dirumah aja. Kalo ada apa-apa dijalan gimana? atau kamu jalan-jalan sama Rina, belanja sepuasnya"
"Rina lagi, Rina lagi, Rina udah tua ayah. Dari kecil main sama Rina terus, aku gak punya temen" protes Laura. Semenjak mamahnya meninggal Ayahnya semakin mengekangnya, Laura jenuh, ia merasa dikurung.
"Karna cuma Rina yang ayah percaya buat jaga kamu. Kalo kamu tetep maksa mau liburan sama temen kamu bawa Rina sama Joko aja"
"Ayah! aku udah 17 tahun. Aku udah dewasa, udah bisa jaga diri aku sendiri. Apa kata temen-temen aku kalo cuma liburan harus bawa dua orang buat ngejagain aku?" Alex menarik nafasnya, mencoba menenangkan hatinya. Laura akhir-akhir ini mulai berani melawannya, membohonginya dan sekarang membentaknya.
"Kamu ini anak satu-satunya ayah. Wajar kalo ayah berlebihan sama kamu, cuma kamu yang ayah punya. Apa susahnya nurut kata ayah? ini juga buat kebaikan kamu" Laura mendecak kesal, tangannya ia lipat didada.
"Oke! kalo ini semua kemauan ayah, aku bakal turutin. Dirumah kaya penjara, ayah tau? disekolah aku cuma punya temen tiga, semuanya takut sama Joko, dia diem terus di gerbang, kalo istirahat suka ngejain dikantin, malu ayah" Alex melepas kacamatanya dan hendak bicara, namun Laura terus protes.
"Ayah juga tega nyuruh Joko mukulin pacar aku!"
"Dia gak baik buat kamu. Ayah liat pake mata kepala ayah sendiri dia jalan sama perempuan lain. Ayah juga udah nyelidikin dia, cuma anak geng jalanan yang suka bikin onar, masa depan dia gak ada, cuma bisa mabok, tawuran, ngerokok anak kaya gitu. Pantes kelakuan kamu jadi kaya gini. Kamu masih kelas dua SMA, belajar yang bener".
"Ayah kaya belum pernah muda aja. Apa-apa diliatnya masa depan, kerjaan, pergaulan. Semua orang bisa berubah ayah! lama-lama aku muak sama sikap ayah yang berlebihan. Aku gak pernah ngelarang ayah buat nikah lagi kan? gak pernah ngelarang kalo ayah pergi-pergian? semua ayah lakuin sendiri" Laura berjalan keluar dengan hati kesal.
"Justru ayah pernah muda, makannya ayah selalu ngelarang kamu ini itu. Anak manja kaya kamu bisa ngejaga diri gimana?" gumam Alex, menatap perginya Laura.
Laura menghempaskan badannya diatas kasur. Hatinya sangat kesal, ia ingin ayahnya mengerti sekali saja keinginannya. Ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungin Rio.
"Sayang, motor kamu masih dibengkel gak?"
"Bentar lagi beres, ini aku baru mau ambil kenapa?" jawab Rio malas.
"Bisa jemput aku gak? aku mau kabur aja dari sini, ayah makin banyak ngatur"
"Yakin yang?" tanya Rio ragu.
"Yakin sayang"
"Ya udah jam sembilanan aku jemput dibelakang rumah kamu. Baju dimasukin ke tas aja, gak usah bawa koper. Ribet"
"Iya, jangan sampe ketauan satpam"
"Sipp, oh iya bawa uang lima juta ya, kalo bisa lebih, bengkel belum dibayar sama buat makan kita sehari-hari. Udah dulu ya, motornya udah beres, mau ngumpul dulu sama anak-anak. Love you"
"Oke sayang" Laura mematikan panggilannya. Ia mulai sibuk memasukkan bajunya kedalam tas, tak lupa semua uang yang ada dilemarinya.
Tiga jam Laura habiskan dengan memainkan game diponselnya hingga sebuah pesan masuk.
'Yang, aku udah nyampe. Lemparin aja tasnya, nanti keluar rumah bilang ke satpam mau beli cemilan, gak usah dianter soalnya deket'
Laura langsung bergegas menuju halaman belakang, dilihatnya Rio sangat tampan hanya dengan menggunakan kaos hitam polos.
"Yang" panggil Laura. Rio yang tengah fokus pada ponselnya melirik dan langsung mendekati Laura.
"Lemparin tasnya"
"Gak bisa yang, berat terus tinggi banget" ucap Laura sambil menatap pagar yang lumayan tinggi.
"Lebay. Bentar, gue naik"
"Hati-hati"
"Yoi, mana tasnya" Rio yang sudah berada diatas pagar mengulurkan tangannya. Laura memberikan tasnya dengan cepat.
"Sekarang keluar lewat depan. Aku tunggu disini" Laura mengangguk dan segera pergi menuju halaman depan.
"Cewe manja kaya dia kalo disuruh manjat pasti ribet" gerutu Rio.
"Pak Amir, aku beli roti bakar yang didepan ya" ucap Laura pada satpam rumahnya.
"Aduh neng udah malem, bapak beliin aja ya"
"Aku sendiri aja. Lagi kesel dirumah, ayah gak ngijinin pergi ke pantai. Jadi jalan-jalan bentar lah kedepan"
"Mau dianterin neng?"
"Gak usah. Cuma kedepan, jangan ngikutin aku! Aku marah banget loh"
"Ya udah neng, hati-hati. kalo ada apa-apa hubungin mas Joko"
"Iya"
____
Alex menyibakkan selimutnya saat mendengar suara ketukan pintu kamar, memakai kacamata dan berjalan kearah pintu.
"Amir?" tanya Alex heran.
"Anu, maaf pak. itu neng Laura" Alex mengerutkan keningnya bingung melihat Amir gugup.
"Neng Laura kabur"
"Kabur? kenapa bisa?".
"Tadi bilangnya mau beli roti bakar, cuma udah satu jam gak balik lagi pak. waktu saya nanya ke satpam komplek, katanya neng Laura pergi sama cowo bawa tasnya. Joko juga lagi nyari pak"
"Udah telepon Joko gak usah dicari, biarin Laura pergi. Nanti juga pulang sendiri kalo udah tau kelakuan busuk pacarnya itu. Dia bilang bisa jaga dirinya sendiri" Alex menarik nafasnya panjang dan menutup kembali pintu kamarnya. Bukan sudah tidak perduli, ia ingin Laura menyadari kebodohannya. Sudah dinasehati berapa kali oleh Alex, bukannya diterima malah melawan. Biar dia merasakan sendiri kehidupan diluar sana tidak seindah yang dibayangkannya.
_______
Tiga bulan kemudian.
Amir masuk kedalam ruang kerja Alex yang terbuka dengan perlahan.
"Maaf pak. Dibawah ada neng Laura".
"Nanti saya kebawah. Kamu duluan"
"Baik pak" Alex memakai jaket hangatnya lalu turun kebawah, Dilihatnya Laura yang sedang menangis dikursi.
"Ayah" tangis Laura. Ia berjalan mendekati Alex.
"Udah ketauan busuknya pacar kamu itu gimana?" Alex mengerutkan keningnya saat Laura berlutut dihadapannya.
"Ayah maafin aku, maafin aku ayah" Laura memeluk kaki Alex sambil menangis kencang.
"Kenapa? bukannya ini yang kamu mau? bebas dari ayah. Gimana hidup sama pacar dan temen-temen kamu?"
"Ayah maafin aku. Aku bakalan nurutin semua perintah ayah mulai sekarang, aku mau dijaga Joko, aku mau main terus sama Rina" pelukan Laura dikaki Alex bertambah kencang.
"Bukannya ayah terlalu mengekang kamu? bukannya rumah ini kayak penjara buat kamu? tiga bulan kamu ninggalin ayah disini, tanpa kabar sedikitpun, sekolah kamu gak lanjutin. Dan sekarang kamu pingin kayak dulu lagi? kenapa Laura? kenapa?" sekarang Alex sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya.
"Ayah maafin Laura, Laura emang susah diatur, gak pantes jadi anak ayah. Tapi maafin aku ayah. Rio, Rio kabur, Rio buronan polisi. Dia pengedar narkoba ayah, dia juga ninggalin aku yang lagi.. ayah maafin aku"
Alex memegang bahu Laura, memaksanya untuk berdiri.
"Ninggalin kamu yang lagi apa? jawab Laura!" bentak Alex.
"A.. aku hamil, dua bulan. Tapi Rio udah janji mau tanggung jawab" lihir Laura.
"Baru janji aja kamu percaya? sekarang mana buktinya Laura? mana?. Dia bahkan pergi ninggalin kamu" Alex menggoyangkan bahu Laura dengan kencang.
"Mana janji kamu yang bisa ngejaga diri kamu sendiri? apa ini yang dimaksud kamu udah dewasa? ngecewain ayah?" Alex menjambak rambutnya sendiri dengan kasar, menarik nafasnya panjang.
"Ayah maafin aku. Aku gak akan ngelawan lagi"
"Bunuh bayi itu! atau ayah gak akan maafin kamu"
"Ayah" tangis Laura semakin kencang.
"Ayah, tapi bayi ini gak salah"
"Kalo kamu gak bunuh bayi itu, orang-orang bakal curiga. Kamu ini baru 17 tahun Laura. Gimana kalo ada rekan kerja ayah yang tau? Bukannya sekolah malah hamil kamu!"
"Aku janji ayah, aku gak akan keluar rumah. Aku janji gak akan ada orang yang tau" Laura memohon.
"Ya udah terserah kamu. Ayah udah gagal jadi orangtua" ucap Alex sambil berlalu, kembali menuju ruang kerjanya.
"Aku nyesel ayah" Lirih Laura.
______
11 Oktober 2001
(6 bulan kemudian)
"Buang anak itu Jo" Joko menatap Alex tak percaya.
"Tapi pak, bayi nya masih prematur"
"Saya gak peduli sama bayi itu. Buang bayi itu sekarang"
"Kondisi neng laura masih krisis pak, apa gak kasiah dipisahin sama anaknya?" ujar amir.
"Kalian tinggal turutin perintah saya. Laura biar saya yang urus. Saya mohon sama kalian rahasia kan bayi ini, ini demi masa depan Laura sendiri"
"Kalo neng Laura nanya anaknya kemana gimana pak?"
"Bilang aja bayi dia meninggal waktu kejadian siang tadi. Laura mau saya jodoh kan dengan anak Toni. Oh ya, jangan lupa bayar rumah sakit ini untuk merahasiakan kelahiran Laura. Saya pergi dulu"
"Baik pak" jawab Joko dan Amir. Alex menghentikan langkahnya dan berbalik menuju Joko.
"Sebentar, kalian beli keranjang bayi didepan dan ini kalung mendiang istri saya. Simpan dibawah bantal bayi itu"
"Baik pak"
Joko dan Amir mulai memasukan keranjang bayi dikursi belakang mobil.
"Mau dikemanain Mir" tanya Joko.
"Kita simpen diluar panti asuhan"
"Panti asuhan mana?"
"Yang pasti harus jauh dari sini"
"Ya udah kamu yang nyetir, saya dibelakang sama bayi ini"
Sudah satu jam mereka diperjalanan dan akhirnya menemukan sebuah panti asuhan yang lumayan besar. 'Panti Asuhan BUNDA'
"Disini?"
"Iya Jo. Udah sana masuk, simpen diteras"
"Kalo ada yang liat gimana?"
"Ya kamu harus cepet Jo. Pijit aja belnya tiga kali, biar ada yang buka. Kasian bayi ini kalo diluar sampe pagi"
"Ya udah kamu jangan ninggalin saya ya Mir"
"Iya, cepet sana"
______