Chereads / Be My Girl, I'm Yours Be Mine? / Chapter 4 - 4. Mendebarkan

Chapter 4 - 4. Mendebarkan

Molly seperti biasa datang ke sekolah dengan perasaan dag dig dug takut pagar sekolah telah ditutup. Ini sudah menjadi sesuatu yang biasa, anehnya tetap saja sangat menegangkan pada saat berada dekat di lokasi.

''Ini semua gara-gara Kak Azka, coba dia tidak menyembunyikan sepatuku dan jadi lupa sendiri menaruhnya di mana,'' gerutu Molly terus berlari dan saat pagar sekolah sudah di depan mata Molly.

Gleeeppp

Pagar terlihat ditutup rapat oleh Pak Santoso dan ia berjalan masuk ke dalam posnya. Tak ada gunanya merengek di hadapan Pak Santoso agar dibukakan pagar karena Ibu Talia yaitu guru fisika sekaligus anggota pendisiplinan murid akan berjaga di depan dan para murid yang terlambat akan berakhir di toliet, untuk membersihkannya.

Molly yang kebetulan belum terlalu dekat dengan pagar memutuskan berputar balik dan menghindari Ibu Talia. Lebih baik absen daripada harus berurusan dengan Ibu Talia, begitulah kira-kira pemikirannya dan beberapa murid lain yang sering terlambat. Katakan ini perilaku buruk, tetapi lebih baik begitu dibanding menyumpah serapah dalam hati.

Molly berjalan dengan malas, jika ia pulang ke rumah maka Azka yang kebetulan jadwal kuliahnya kosong pagi ini akan menanyainya dengan seribu pertanyaan beruntun dan ia tentu saja malas menjawabnya. Saat sampai di sebuah halte bus Molly terkejut oleh sosok Canon yang sedang duduk di halte bus itu.

''Kak Canon,'' seru Molly berdiri di hadapan Canon kini.

''Hai Molly, kau pasti terlambatkan?'' tebak Canon sambil tersenyum ramah.

''Jangan perdulikan Molly, tapi Kak Canon ... yah kita tahu kalau Kak Canon itu ketua osis.'' Molly menggesekkan sepatu kirinya ke tanah bingung harus bagaimana menyampaikan posisi Canon yang adalah ketua osis dan merupakan teladan, tetapi kini dilihatnya sedang duduk manis di halte bus seolah ini hari minggu ceria.

''Oh iya, tadi aku juga terlambat dan agak malas berurusan dan mendengar ceramah Ibu Talia nanti. Lagipula aku juga anak SMA seperti yang lainnya, mau memiliki kenangan terlambat yang suatu saat bisa dinostalgiakan,'' ucap Canon sambil tersenyum .

''Terus Kak Canon mau kemana?'' tanya Molly lalu mengutuk dirinya sendiri dalam hati berani menanyakan hal sepertu itu.

''Mau jalan-jalan?'' Canon malah mengajak Molly jalan-jalan dan tentu saja diiyakan oleh Molly.

Akhirnya mereka berdua menuju pantai menggunakan motor jenis sport berwarna hitam milik Canon. Udara pantai yang masih pagi dan angin sepoi-sepoi membuat Molly memejamkan matanya. Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaannya saat ini. Tenang, damai dan bahagia.

''Sudah lama aku tak ke pantai," gumam Molly sambil merentangkan kedua tangannya.

''Benarkah? Aku bisa membawamu ke sini lagi jika tidak sedang sibuk dengan kegiatan sekolah, rumah kita kan tidak terlalu jauh,'' ucap Canon menatap intens ke arah Molly.

''Hm, udara pagi memang sangat menyegarkan, makasih yah Kak Canon udah mau repot-repot ajak aku ke sini,'' ucap Molly menyengir dan Canon mendekat ke arahnya.

Ditatapnya Molly secara dalam. ''Aku senang direpotkan olehmu, semoga ke depannya kita....'' Canon menggantung kalimatnya ketika melihat jam tangannya.

''Apa?'' Molly terlihat bingung sekaligus menanti kata-kata yang akan diucapkan Canon selanjutnya, namun Canon memilih buru-buru naik ke atas motornya.

''Kau tak berniat absen sepenuhnya pada mata pelajaran hari ini bukan?'' tanya Canon dan Molly segera menaiki motor Canon juga setelah tersadar. Akhirnya mereka berdua sampai ke sekolah dengan kebohongan bahwa mereka terlambat ke sekolah karena menolong seseorang di jalan. Pagar pun dibukakan oleh Pak Santoso yang percaya begitu saja juga.

''Molly kenapa baru datang sekarang?'' tanya Sarah, teman sekelas Molly. Mereka berdua bertemu di depan kelas.

''Ada sedikit masalah.'' Molly langsung masuk ke kelas walaupun beberapa murid terlihat heran melihat kedatangannya. Lolita yang menyadari hal itu langsung mendorong Molly hingga hampir tersandung meja.

Molly mendengus kesal melihat Lolita yang hanya nyengir tidak jelas. ''Apa sesuatu telah terjadi?''

''Apa maksudmu?'' Molly balik bertanya lalu duduk dibangkunya.

''Maksudku aku tahu, kalau kau sering terlambat dan beberapa kali absen tanpa alasan, tetapi hadir pada jam pelajaran kedua? Belum. Pernah.'' Lolita menegaskan kata-kata terakhirnya.

''Aku tadi bersama Kak Canon, dia juga tidak masuk pelajaran pertama,'' ucapan Molly sukses membuat Lolita mulai berimajinasi.

''Cie ... Tapi, kau kan pacaran sama Kak Arga, tega banget selingkuh sama Kak Canon.'' Kini Lolita menyudutkan posisi Molly sambil menatapnya tajam.

''Selingkuh apanya? Aku kan tidak pernah menyetujui menjadi pacarnya,'' ucap Molly terlihat kesal dituduh sebagai orang tukang selingkuh.

''Ngomong-ngomong, Kak Arga belum ke sekolah, masih sakit.''

Molly menoleh ke arahnya sambil bertanya, ''Bagaimana kau bisa tahu?''

''Tadi aku tak sengaja menguping Kak Xero, kelihatannya sakit Kak Arga cukup parah.'' Kini Molly tak bisa menyembunyi ekspresi terkejutnya. Bukankah Arga sakit setelah mereka berdua berada dibawah guyuran hujan? Pemikiran itu terus merasuki otak Molly hingga tak fokus lagi mendengarkan guru sedang mengajar.

Tanpa banyak kata Molly langsung menuju rumah Arga sepulang sekolah yang alamatnya ia dapatkan setelah harus sabar mendengar godaan demi godaan yang keluar dari mulut Lolita. Entah mengapa Lolita hampir tahu segala hal.

Molly kini berdiri di sebuah pagar yang tinggi menjulang yang di dalamnya terlihat sebuah rumah megah dan mewah. Molly terasa ragu masuk, bagaimana ia kan menjelaskan hubungannya kepada orang tua Arga. Merekakan bukan teman yang biasa saling mengunjungi?

Cukup lama Molly berpikir hingga seseorang berjalan ke pagar.

''Sepertinya tak ada jalan, orang itu akan mengusirku karena aku berdiri seperti seorang pengemis,'' gumam Molly dan seorang satpam membuka pagar.

''Silahkan masuk dan ikuti saya,'' ucap orang yang memakai jas hitam tubuh tinggi atletis.

''Apa?''

Molly tak sempat berkata apapun lagi dan hanya berjalan mengikuti orang itu dan mereka mulai memasuki rumah yang mungkin tiga kali lebih besar dari rumah Molly.

''Silakan masuk.'' Orang itu membukakan Molly sebuah pintu yang diyakininya adalah sebuah kamar. Betapa terkejutnya Molly saat memasuki kamar yang begitu luas, ada ruang tamu tersendiri dengan furniture yang minimalis terkesan elegan. Namun, matanya teralihkan oleh sosok Arga yang terlihat memakai baju kaos dan celana pendek dengan rambut acak-acakkan sedang berdiri di depan sebuah pintu lainnya tanpa ekspresi dan membuat Molly menelan ludah.

''Duduklah,'' ucap Arga mulai duduk di ruang tamu kecil itu.

''Ini, aku bawakan buah, agar kau cepat sembuh,'' ucap Molly terlihat ragu meletakkan sekantung buah mulai apel, anggur, pir, pisang dan lainnnya. Buah yang dibelinya tadi di minimarket dekat kompleks perumahan Arga.

''Aku tidak tahu apa sesukaanmu jadi....'' Entah mengapa lidah Molly terasa begitu sulit berkata, apalagi Arga terus menatapnya.

''Makasih,'' ucap Arga tanpa ekspresi dan Molly hanya mengangguk pelan lalu tidak ada lagi percakapan beberapa menit.

''Aku baik-baik saja, jadi pulanglah. Kau tak usah merasa bersalah karena kejadian kemarin,'' ucap Arga seperti mengerti isi pikiran Molly.

Molly terdiam bingung harus menjawab apa. Ia memang merasa bersalah tetapi ada perasaan lain yang tak dimengertinya, seolah adrenalinnya terpacu. Arga kemudian bangkit dan berdiri di hadapannya.

''Aku akan mengantarmu keluar,'' ucap Arga dan mereka berdua berjalan menuruni tangga besar.

''Aku mau tahu sebenarnya kita ini apa?'' tanya Molly berani saat Arga hampir berada pada anak tangga paling bawah.

''Terserah, aku tak akan memaksamu lagi menjadi pacarku. Kurasa kau sudah menyukai pria lain,'' ucap Arga dan Molly menahan nafas, entah mengapa perkataan Arga cukup menusuk hatinya.

''Aku akan mencobanya,'' ucap Molly begitu saja, dan Arga berbalik menatapnya. Kali ini Arga cukup terperangah dengan apa yang diucapkan oleh Molly.

''Mencoba berteman baik denganmu.'' Perkataan Molly sukses membuat ekspresi Arga kembali menjadi datar dan berjalan menaiki tangga kembali lalu memegang tangan Molly.

''Kau terlalu lambat, ayo aku antar kau pulang.''

Pada akhirnya Arga mengantar Molly pulang ke rumahnya dengan memakai mobilnya.

''Seharusnya kau tak usah repot-repot, maksudku kau sedang sakit,'' ucap Molly terlihat cemas, walau gimana pun memikirkan seseorang yang sedang sakit menyetir sendiri pasti membuat semua orang cemas.

''Apa kau sudah pergi ke sekolah besok?'' tanya Molly saat mereka berdua berdiri di depan rumah Molly.

''Belum, kata dokter aku harus istirahat selama lima hari,'' jawab Arga menatap Molly.

''Oh begitu, kalau begitu berikan aku nomor ponselmu, aku akan mengunjungimu lagi dan aku harus tahu apa yang ingin kau makan atau inginkan sesuatu. Bagaimana pun aku manusia normal yang memiliki rasa tanggungjawab, '' ucap Molly dan Arga memberikan ponselnya.

''Tulis sendiri.''

''Oke, Mari kita berteman.'' Molly memberikan ponsel Arga kembali dan mengulurkan tangannya dan seketika Arga menjabat tangannya juga tetapi reaksi Arga berlebiham. Ditariknya tangan Molly lalu memeluknya.

''Aku senang kau datang,'' bisik Arga dan muka Molly memerah lalu terdengar seseorang menutup pintu mobil.

''Apa itu kau, Molly?'' suara Azka membuat Molly kaget dan menggigit bibir bawahnya.

Kali ini aku benar-benar akan mati, batin Molly.

Molly melepas pelukan Arga. ''Siapa dia?'' tanya Azka berdiri disamping Molly dan dihadapan Arga.

''Perkenalkan saya Arga Orion Pratama.'' Arga mengulurkan tangannya dan Azka menjabat tangan tersebut lalu beralih menatap Molly seolah meminta penjelasan.

''Hm, Teman.''

''Pacar.'' timpal Arga tanpa ragu.

''Pacar?'' Azka semakin menatap Molly.

Bagai petir disiang bolong, dengan susah payah Molly menelan ludah. ''Sebenarnya kami ini teman, mungkin juga pacar.'' Molly tak menemukan kata yang cocok dalam pendeskripsikan hubungannya dengan Arga. Namun pria yang mengaku sebagai pacar Molly tampak tenang-tenang saja.

''Oke, sejak kapan Molly?'' tanya Azka penasaran.

''Baru beberapa hari yang lalu,'' bukan Molly yang menjawab malah Arga, tentu saja dengan ekspresi tenang.

''Baiklah, ayo masuk dulu. Aku masih ingin menannyakan beberapa hal,'' ajak Azka dan Molly terasa ingin membenturkan kepalanya ke tembok saat itu juga.

Akhirnya terjadilah sesi introgasi. Azka menanyakan beberapa pertanyaan mendasar kepada Arga. Seperti, di mana kalian bertemu? Sejauh mana hubungan kalian? Dan apa yang membuatmu tertarik kepada Molly? Sedangkan Molly sendiri disuruh ke kamarnya oleh Azka.

Molly mondar-mandir di kamarnya, penasaran akan apa yang terjadi di luar. Beberapa bayangan tergambar dalam pikirannya, bagaimana jika Azka tak menyukai Arga? Apa mereka akan berkelahi? Tak tahan dengan pikiran yang menurut Molly sendiri gila pada akhirnya ia keluar dari kamar dan hanya menemukan sosok Azka sedang mengemil sambil menonton televisi.

''Mana Arga?'' tanya Molly bingung.

''Tentu saja sudah pulang."

''Kakak suka dia. Tak ada pecinta bola merupakan orang jahat,'' lanjut Azka. Dengan malas Molly ikut duduk disofa dekat Azka.

''Kak Azka belum tahu saja sifatnya,'' ujar Molly dengan sesekali menghela nafas.

''Emang dia apain kamu?'' tatap Azka curiga. Tiba-tiba saja Molly teringat pada adegan ciuman terpaksanya sehingga wajahnya terasa panas.

''Dia itu suka memerintah, yah walau dalam artian positif,'' Molly mengelak dengan harus memuji Arga.

''Oh ya, Kakak dan Arga sudah punya janji buat nonton bareng pertandingan El Classico, mau ikut?'' tawar Azka dan Molly memutar bola mata.

''Makasih sudah mengajak, tetapi tidak, aku tidak mau mendengar dua pria mengoceh tak henti tentang bola.'' Molly menolak lalu beranjak pergi dan masuk ke kamarnya.

***

Molly duduk di perpustakaan, ia tidak sedang mengerjakan tugas atau membaca buku tetapi asyik mendengarkan musik lewat earphone yang tersambung dari ponselnya. Berbeda dengan Lolita yang harus berkutat dengan laptop karena mulai hari ini telah resmi menjadi anggota baru mading sekolah.

''Akkhhh!'' teriak Lolita pusing harus mengerjakan puisi bertema langit.

''Kau ini aneh, kenapa tiba-tiba masuk menjadi anggota mading? Bukannya kau lebih tertarik basket?'' tanya Molly memandang datar Lolita dari depan.

''Basket adalah hobi. Aku mau mencoba hal-hal yang berhubungan dengan penulisan.'' Penjelasan Lolita membuat Molly takjub.

''Emang kau tidak punya ambisi atau keinginan gitu buat dilakuin?'' Lolita menatap serius Molly.

Diraihnya ponsel yang terletak dimeja lalu Molly mematikan musiknya. ''Well, aku sebenarnya tertarik pada dunia seni lukis.''

Pengakuan Molly membuat Lolita terperangah. "Kau? Melukis?''

''Ya. Aku juga suka piano karena dulu mama memaksaku les piano saat TK sampai SD. Lebih baik piano daripada balet,'' jujur Molly sambil menyengir.

''Berarti kau bisa ikut pentas seni akhir bulan ini?'' Tiba-tiba Canon muncul dibalik rak-rak buku dan duduk di samping Lolita.

''Aku?''

'''Dulu kamu bilang tak punya bakat apapun dalam dunia seni, tapi kurasa bermain piano cukup.''

''Tapi aku sudah lama tak memainkannya, dan--''

''Aku percaya kamu bisa melakukannya.'' Pernyataan Canon tentu membuat muka Molly memerah karena malu akan dukungan yang ditujukan padanya.

''Baiklah akan--" suara Red Velvet dengan lagu Lucky Girl sukses membuat ucapan Molly terhenti sesaat. Dengan malas ia menatap layar ponselnya dan sebuah panggilan tak dikenal muncul.

''Halo.''

"Kamu dimana sekarang?"

''Aku? Perpustakaan, kau siapa?'' Ekspresi Molly berubah menjadi tegang. Seperti mengenal suara si penelepon.

"Sama siapa?"

''Lolita.''

"Hanya berdua?"

''Tidak, aku juga bersama Kak Canon."

"Tunggu aku."

''Apa? Ke sini? Tidak per--''

Tut Tut Tut

Panggilan dimatikan secara sepihak oleh Arga yang tadi menelepon Molly. Tanpa perlu Molly tanyakan siapa maka jawabannya sudah jelas.

''Ada apa?'' tanya Lolita cemas melihat ekspresi terkejut Molly.

''Tadi telepon dari Arga, katanya mau ke sini. Kurasa dia hanya bercanda,'' Molly berusaha tenang dan tersenyum pada Canon.

''Tidak usah dipikirkan. Oh ya, Aku harus masuk pelajaran terakhir. Sampai jumpa,'' ujar Canon lalu beranjak pergi.

Lolita mulai membereskan barang-barangnya untuk bersiap masuk ke kelas juga. Pelajaran Bahasa Inggris telah menunggu Lolita dan Molly.

Line~

Ponsel Lolita berbunyi. Senyum langsung mengembang diwajahnya saat membaca pesan pada ponselnya.

''Pak Haris tidak masuk, istrinya sedang melahirkan. Anak-anak lain pasti sangat ricuh di kelas sekarang,'' ucap Lolita terlihat senang dan membuka kembali laptopnya. Memutuskan tidak kembali ke kelas walau jam pelajaran kosong.

''Aku punya banyak waktu mengerjakannya,'' gumam Lolita dan Molly hanya menguap. Suasana sepi dan udara dari jendela yang berada tak jauh dari meeka berdua membuat Molly mengantuk.

''Aku akan menemanimu, Pak Santoso tak akan membuka pagar walau kita katakan bahwa pelajaran terakhir dibatalkan.'' Molly menenggelamkan wajahnya pada kedua tangannya yang berada dibatas tepi meja. Alunan musik ditelinganya menenggelamkan suara ketikan Lolita dan mencoba memejamkan matanya.

Ternyata benar bahwa perpustakaan sunyi adalah tempat terbaik di sekolah untuk menenangkan diri.

Sekitar tiga puluh menit kemudian Molly mengubah posisinya dan memiringkan kepalanya lalu membuka perlahan kedua matanya. Betapa terkejutnya ia saat dua bola mata lain sedang menatapnya dalam. Baik Molly atau Arga tetap dalam posisi mereka berdua tanpa berkata apa-apa.

Secara perlahan jari Arga bergerak memegang poni Molly dan menyampingkannya agar dapat menatap kedua mata Molly tanpa terhalang.

''Lain kali jangan pernah bersama kali-laki lain saat aku tidak ada,'' ucap lemah Arga tanpa melepas tatapannya.

''Laki-laki apa. Dia kan Kak Canon,'' gumam Molly kembali memejamkan matanya dan sedetik kemudian bangkit dengan mata membulat. Ia sadar bahwa ini hal yang nyata, bukan halusinasinya.

''Apa kau memang nyata? Maksudku apa yang kau lakukan disini?'' Molly memegang pipi Arga dan baru akan melepasnya setelah sadar, namun Arga segara menahan tangan Molly.

''Apa kau berharap ini mimpi? Tidak bisakah sekali kau menyambut kedatanganku dengan sebuah senyuman?'' ucapan Arga membuat Molly terdiam. Bukan tak mau menyambut Arga dengan sebuah senyuman, tetapi rasa keterkejutan dan tidak percaya membuat Molly demikian. Baru pertama kali Molly bertemu dengan seorang pria yang rela datang ke perpustakaan untuk bertemu dengannya saat mengetahui ada pria lain di sampingnya.

Walaupun Molly masih menyukai Canon. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa perbuatan Arga membuatnya terbawa perasaan. Hal-hal klise seperti ini membuat ia cukup berada diambang batas kebimbangan. Antara menolak atau mendalami perasaannya.

''Kemarin kau bilang terserah, tidak akan memaksaku lagi menjadi pacarmu,'' ucap Molly sedikit kesal teringat 'janji manis' Arga.

''Aku hanya bergurau. Kau tidak akan pernah kuputuskan,'' ucap Arga datar, tak ada ekspresi bergurau sama sekali.

Putus? Jadian saja terkatung-katung, batin Molly.

''Tapi, bukannya kau masih sakit?'' kini pikiran Molly teralihkan oleh ingatannya kemarin.

''Kenapa? Mulai cemas?'' tanya Arga membuat wajah Molly kini seperti kepiting rebus. Mata Molly menangkap wajah seseorang yang tengah menahan tawa dan itu Lolita. Segera dilepaskan tangannya dari pipi Arga yang sudah sekian detik dipegangnya dan Lolita malah mengedipkan matanya.

''Oke, kalau begitu pulanglah. Maksudku istirahatlah,'' ucap Molly salah tingkah.

''Tidak tanpa dirimu.'' Entah mengapa setiap ucapan Arga kali ini membuat Molly tak bisa berkata-kata dan dadanya seperti lari maraton. Degup jantung yang tidak wajar.

''Pergilah, lagipula pelajaran terakhir dibatalkan bukan?'' ucap Lolita dengan tatapan menggoda Molly.

''Baguslah.'' Arga menggenggam tangan Molly berjalan menuju parkiran.Sebuah mobil alphard dilihat Molly dan seorang pria berumur sekitar tiga puluhan turun.

''Perkenalkan nama saya Firman, supir dari tuan Arga.'' Molly hanya tersenyum menanggapinya dan Firman membuka pintu mobil yang langsung dimasuki Arga.

''Supir?''

''Tuan Arga tidak sanggup menyetir namun memaksa ke sekolah.'' Ucapan Firman langsung membuat Molly seperti tertahan seolah ada sesuatu yang baru saja mengenai dadanya. Arga yang sedang sakit, bela-belain datang untuknya hanya untuk masalah sepele. Entah ini sebuah romantisme atau kebodohan berselimutkan roman picisan.

''Silakan masuk.'' Molly duduk di samping Arga yang menengadahkan kepalanya ke atas dan keringat tampak bercucuran.

''Kau kenapa?'' tanya Molly khawatir melihat kondiri Arga.

''Seperti tuan Arga terlalu memaksakan diri,'' komentar Firman.

''Kalau begitu ke rumah sakit saja,'' usul Molly tak tenang.

''Tidak, aku mau pulang saja ke rumah,'' sahut Arga lemah dan menjatuhkan kepalanya ke bahu Molly.

''Tapi kamu sedang sakit, bagaimana jika bertambah parah? Dokter perlu memeri--''

''Diamlah, aku mau tidur.'' Ucapan Arga hanya dibalas anggukan kecil dari Molly. Beberapa saat kemudian terdengar napas beraturan Arga yang menandakan dirinya telah tertidur dan Molly tersenyum menatap Arga dari kaca spion depan.

***